Sabtu, April 20, 2024

Masyarakat Adat dan Upaya Inklusi Sosial

Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah
Advokat dan Peneliti Hukum I Tertarik menggunakan pendekatan multidisplin & interdisplin (Socio-Legal) untuk telaah hukum.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebutkan 2.332 komunitas adat di Indonesia yang memiliki kekhasan identitas sosial berdasarkan tradisi, yang menjadi basis cara pandang dan cara hidup (world view) masyarakat adat.

Kekhasan identitas sosial masyarakat adat yang paling banyak disebut adalah ketergantungannya dengan sumber daya alam dan pola pengelolaan sumber daya alam yang komunal. Identitas ini membentuk tata nilai, religiositas dan budaya masyarakat adat. Selain itu, jamaknya populasi masyarakat adat hidup pada wilayah terpencil menjadi faktor penguat eksklusifitas masyarakat adat dalam relasinya dengan kelompok sosial lain.

Akar Eksklusi Sosial 

Cara hidup yang khas dan keterpencilan geografis menjadi faktor utama terjadinya eksklusi sosial terhadap masyarakat adat. Banyak kasus menunjukan stigma terhadap masyarakat adat yang lahir dari prasangka atas kondisi masyarakat adat tersebut, misalnya julukan silelek kaulu dengan konotasi udik atau bodoh untuk komunitas adat terpencil yang hidup di hulu-hulu Sungai di Kabupaten Mentawai Sumatera Barat.

Identitas sosial masyarakat adat erat hubungannya dengan alam, yang terbentuk secara organis (alamiah). Ikatan masyarakat adat dengan alam tersebut berada pada setiap kondisi ekologis, bisa itu di kawasan pertanian-perladangan, hutan maupun pesisir dan laut.

Ikatan masyarakat dengan alam ini membentuk pola pengelolaan sumber daya yang khas pada masing-masing komunitas adat berdasarkan kondisi sosial-ekologisnya, seperti ada yang masih melaksanakan berburu-meramu, bertani ladang hutan, dan nelayan.

Pada umumnya, pengelolaan sumber daya alam oleh sebagian besar masyarakat adat terletak pada wilayah terpencil dan kawasan hutan. Ikatan erat masyarakat adat dengan alam ini banyak dipersepsikan dengan label-label negatif berbasis prasangka, seperti primitif, kelompok keras kepala, kelompok malas berubah, anti pembangunan dan sebagainya.

Selanjutnya, ikatan masyarakat adat dengan alam dalam dimensi yang lebih luas meliputi aspek magis-religius. Aspek magis-religius ini sering dimaknai sebagai kearifan lokal, yang secara khusus pada sisi religiusnya disebut juga dengan kepercayaan lokal.

Persoalan eksklusi sosial muncul akibat posisi kepercayaan lokal yang inferior dari kebudayaan besar agama-agama mainstream. Oleh sebab itu, perspektif masyarakat dominan terhadap kepercayaan lokal masih dalam kerangka “penyimpangan” dari agama yang mainstream, sehingga sering terstigma sebagai kelompok menyimpang.

Dalam konteks ini, eksklusi sosial terhadap masyarakat adat adalah situasi penolakan dan ostracism pada kelompok-kelompok ini. Penolakan terhadap masyarakat adat, baik secara individu maupun kelompok muncul karena identitas sosial masyarakat tidak diinginkan oleh masyarakat luas.

Sedangkan dalam konteks ostracism adalah pengabaian dalam relasi sosial terhadap individu dan kelompok masyarakat adat yang dianggap sebagai suatu penyimpangan budaya dominan. Artinya, eksklusi sosial terhadap masyarakat adat juga terkait dengan ketimpangan relasi sosial.

Soal Akses dan Kontrol 

Banyak kasus menunjukan bahwa masyarakat adat mengalami keterbatasan akses atas sumber daya dan layanan dasar akibat kondisi eksklusi sosial. Keterbatasan ini terkait dengan minimnya akses mereka pada proses politik dan administratif di tingkat lokal. Walhasil adalah minimnya akses terhadap hak.

Selaras dengan itu, eksklusi sosial beriringan dengan stigma sosial atas masyarakat adat yang menyebabkan isolasi masyarakat adat atas sumber daya politik dan sosial. Isolasi sosial dan politik ini meminggirkan mereka dari setiap proses politik dan kebijakan, terutama di daerah.

Di sisi lain, kerangka legal kita masih mempersyaratkan pengakuan masyarakat adat sebagai subjek hukum, yang dalam kerangka legal ditentukan oleh otoritas Pemerintah Daerah melalui proses politik pembentukan aturan daerah. Pengakuan sebagai subjek hukum adalah prasyarat legal bagi masyarakat adat untuk mengakses dan menguasai sumber daya alamnya.

Dengan kata lain, kondisi inferioritas masyarakat adat dan kerangka legal yang ada tentang pengakuan hak masyarakat adalah bentuk pembatasan akses dan kontrol masyarakat adat untuk memiliki sumber daya alamnya.

Sedangkan pada sisi layanan dasar, hambatan legal tidak serumit seperti halnya pengakuan masyarakat adat di bidang sumber daya alam. Bidang-bidang layanan dasar seperti Pendidikan, kesehatan dan identitas legal tidak mempersyaratkan pengakuan subjek hukum masyarakat adat terlebih dahulu.

Namun, cara hidup dan identitas budaya yang khas acapkali menjadi alasan pengabaian pelaksanaan layanan dasar, misalnya masih banyak masyarakat adat yang hidup secara nomaden atau semi nomaden tak terjangkau layanan identitas legal, baik itu akta kelahiran, kartu tanda penduduk dan sebagainya karena perangkat dan mekanisme pencatatan identitas legal bertumpu pada masyarakat menetap.

Dari kasus diatas, bisa disebutkan bahwa persoalan eksklusi sosial terhadap masyarakat adat bersifat sosial sekaligus struktural. Sifat struktural terkait dengan muatan kebijakan dan implementasi beserta prosedur-prosedurnya yang potensial melahirkan deskriminasi, pelanggaran dan pengabaian hak oleh negara. Sedangkan sifatnya yang sosial adalah pengisolasian secara sosial masyarakat adat dalam relasinya dengan masyarakat luas.

Mendorong Inklusi Sosial 

Inklusi sosial adalah kondisi sebaliknya dari eksklusi sosial. Inklusi sosial adalah mengenai perubahan sosial dalam masyarakat atau komunitas dan bagaimana mengakomodasi perbedaan-perbedaan yang ada di tengah masyarakat dengan menghilangkan semua rintangan bersifat deskriminatif.

Inklusi sosial adalah proses untuk memastikan semua kelompok masyarakat yang terpinggirkan bisa terlibat sepenuhnya di dalam proses pembangunan. Konsep tersebut mengupayakan pemberian hak.

Secara sederhana, inklusi sosial adalah situasi dan proses demokratis dengan partisipasi penuh setiap kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat untuk menghindari eksklusi sosial. Inklusi sosial dalam konteks masyarakat adat adalah bagaimana mendorong proses demokratis yang mampu membuka peluang sebesar-besarnya bagi partisipasi masyarakat adat, baik pada ranah politik maupun sosial.

Pada ranah politik, kebijakan deskriminatif terhadap masyarakat adat selayaknya dikaji ulang, misalnya kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang membatasi hak masyarakat adat. Di sisi lain, kebijakan affirmatif (affirmative action) negara untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus masyarakat adat semestinya dilahirkan, khususnya di bidang layanan dasar maupun perlindungan hak.

Dalam konteks ini, RUU Masyarakat Adat yang sedang digodok Pemerintah dan DPR RI sangat relevan untuk diterbitkan untuk memastikan perangkat hukum komprehensif dan khusus tentang perlindungan hak masyarakat adat, yang bersifat affirmatif dan menjamin partisipasi masyarakat adat.

Sedangkan pada ranah sosial, pemahaman atas keberagaman mesti melembaga, terutama melalui jalur Pendidikan dan kebudayaan dalam rangka memperbaiki interaksi dan penerimaan sosial antar kelompok masyarakat. Dengan hal ini, maka diharapkan identitas adat ke depan bukan lagi dipandang sebagai pembeda dalam kehidupan bermasyarakat, namun sebagai mozaik kekayaan bangsa.

Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah
Advokat dan Peneliti Hukum I Tertarik menggunakan pendekatan multidisplin & interdisplin (Socio-Legal) untuk telaah hukum.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.