Hingga saat ini, pengakuan identitas dan kemampuan menentukan jalan hidupnya sendiri (determinasi diri) merupakan dua kebutuhan mendasar bagi masyarakat adat. Di Indonesia, sekitar 50–70 juta jiwa masyarakat adat tersebar di seluruh pelosok negeri dan sebagian besar proporsi penghidupan mereka masih bergantung pada ketersediaan sumber daya alam di lingkungan sekitarnya. Akan tetapi, perubahan iklim berpotensi menimbulkan tekanan tersendiri bagi kelangsungan hidup dan kemampuan determinasi diri masyarakat adat.
Salah satu contoh yang mewakili kondisi tersebut adalah kondisi Orang Rimba di Provinsi Jambi, Indonesia. Mewarisi kepercayaan leluhurnya, mereka terbiasa bertahan hidup dengan cara berpindah-pindah tempat (nomaden) di kedalaman hutan. Namun titik balik kehidupan Orang Rimba ini dimulai ketika pembukaan lahan hutan untuk perusahaan kelapa sawit berlangsung sejak beberapa tahun lalu. Upaya Orang Rimba untuk bertahan hidup di tengah-tengah situasi krisis juga tergambar pada bencana kemarau panjang dan gelombang panas ekstrem yang melanda Jambi tahun 2015 lalu.
Observasi yang dilakukan BBC Indonesia tahun 2017 menemukan fakta bahwa, ‘kebakaran yang terjadi dua tahun lalu menghabiskan hutan dan kawasan gambut seluas 21.000 kilometer persegi (setara dengan 30 kali luas Singapura).’ Dalam posisi yang kian terdesak karena luas hutan tempat tinggalnya terus menyusut, beberapa Orang Rimba pada akhirnya terpaksa menganut agama Islam dan tinggal di permukiman yang disediakan pemerintah semata-mata untuk bertahan hidup.
Status kewarganegaraan dan kepercayaan Orang Rimba terhadap roh para leluhur memang belum diakui negara; oleh karena itu akses mereka terhadap pendidikan, kesehatan, dan layanan dasar lainnya juga begitu terbatas. Permasalahan yang dihadapi Orang Rimba ini menjadi cerminan kerugian fisik (misalnya merosotnya kualitas dan daya dukung hutan) maupun non-fisik (misalnya rusaknya tatanan sosiokultural dan cara hidup) yang sangat mungkin dialami oleh kelompok masyarakat adat lainnya di berbagai penjuru dunia.
Permasalahan Orang Rimba serta kearifan lokal
Dampak perubahan iklim begitu nyata di mata masyarakat adat. Kondisi mereka yang seringkali didiskriminasi dan diabaikan keberadaannya justru semakin memperkeruh kondisi ini. Minimnya pengetahuan dan keterampilan masyarakat adat untuk merespons perubahan lingkungan yang mereka alami kadangkala menimbulkan bentuk adaptasi yang tidak efektif (maladaptive). Maka dari itu, tidak berlebihan apabila masyarakat adat dikategorikan sebagai salah satu kelompok paling rentan terkena dampak perubahan iklim.
Studi yang dilakukan pada tahun 2007 oleh UNPFII juga menyimpulkan bahwa, ‘masyarakat adat merupakan pihak yang pertama kali mendapatkan dampak langsung perubahan iklim meskipun kontribusi mereka terhadap emisi gas rumah kaca kecil.’ Di Indonesia, penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar diperkirakan berasal dari kegiatan penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan. Pada kasus Orang Rimba, perubahan penggunaan lahan untuk aktivitas perusahaan kelapa sawit menyebabkan mereka terusir dari rumahnya sendiri.
Operasionalisasi perusahaan kelapa sawit meningkatkan emisi gas rumah kaca serta potensi perubahan iklim di wilayah Jambi, sehingga hutan-hutan tempat tinggal Orang Rimba kerap dilanda bencana kemarau panjang dan kebakaran. Tidak hanya kehilangan sumber penghidupan, meninggalkan cara hidup dan tradisi mereka; kompleksitas masalah yang dihadapi Orang Rimba ini juga menguji kapasitas mereka untuk mendeterminasikan nasib dan jalan hidupnya sendiri.
Kerentanan Orang Rimba terhadap perubahan iklim mengharuskan mereka untuk menentukan keputusan yang amat berat dan tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka sebelumnya. Keputusan untuk menanggalkan tradisi leluhur dan kepercayaan yang telah dianutnya sejak lama. Isian kolom agama pada kartu tanda penduduk tidak mencantumkan kepercayaan Orang Rimba sebagai agama yang diakui negara. Guna mendapatkan status kewarganegaraan dan melanjutkan penghidupannya, Orang Rimba terpaksa memeluk satu agama yang diakui di Indonesia.
Sungguh ironis melihat bagaimana degradasi lingkungan, kerentanan terhadap perubahan iklim, serta kebutuhan untuk bertahan hidup pada akhirnya merubah cara hidup masyarakat adat. Misalnya saja keberadaan permukiman permanen yang dibangun oleh pemerintah secara tidak langsung memaksa Orang Rimba untuk hidup menetap di satu lokasi. Upaya adaptasi perubahan iklim dan lingkungan yang ditujukan bagi Orang Rimba tersebut ternyata tidak sesuai harapan. Banyak rumah-rumah di permukiman tersebut yang ditinggalkan oleh mereka karena mereka kembali ke hutan.
Meskipun perwakilan masyarakat adat telah terlibat dalam negosiasi perubahan iklim internasional sejak tahun 2008, di titik ini kita mengetahui bahwa dampak nyata perubahan iklim masih mengancam kehidupan masyarakat adat di seluruh dunia. Kasus-kasus serupa yang menimpa Orang Rimba bisa saja terjadi. Selain meningkatan sensitifitas kita terhadap informasi aktual yang menyinggung nasib masyarakat adat dalam kondisi iklim yang berubah, upaya negosiasi pendanaan iklim global juga dapat dilakukan dengan mengefisienkan dana untuk kepentingan adaptasi perubahan iklim masyarakat adat.
Kearifan lokal masyarakat adat juga dapat memberikan peluang strategis bagi pengembangan model adaptasi perubahan iklim yang lebih efektif. Kearifan lokal ini terdiri atas nilai dan wawasan lokal yang senantiasa terjaga serta menjadi penghubung manajemen risiko bencana yang tengah dikembangkan saat ini. Kombinasi antara kearifan lokal dan adaptasi perubahan iklim diharapkan menjadi masukan bagi strategi adaptasi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat adat saat ini serta mampu memperbaiki kondisi resiliensi masyarakat adat secara berkelanjutan.
Referensi
BBC Indonesia. Diakses pada 12 Desember 2017 dari http://www.bbc.com/indonesia/majalah-41937911?ocid=socialflow_twitter.
UNPFII. Diakses pada 12 Desember 2017 dari http://www.un.org/esa/socdev/unpfii/documents/backgrounder%20climate%20change_FINAL.pdf