Pemilihan Presiden (Pilpres) bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif yang akan berlangsung pada 2019 sudah di depan mata. Perhatian seluruh rakyat Indonesia tertuju ke sana entah di media sosial ataupun di warung-warung kopi. Di satu sisi, fenomena ini begitu menjenuhkan. Di sisi lain, kita bisa melihat secara kasatmata bagaimana partisipasi politik masyarakat terus tumbuh.
Pada Pilpres 2014, misalnya, masyarakat tidak sekadar datang ke bilik suara tapi juga begitu aktif terlibat mengampanyekan setiap pasangan calon yang bersaing. Hal ini ditandai dengan maraknya pembentukan tim sukses yang terdiri dari berbagai kalangan. Di antaranya, seniman, orang kantoran, dan bahkan ibu-ibu rumah tangga. Semuanya turut meramaikan.
Data Centre for Strategic and International Studies (2014) menunjukkan bahwa sejak era Orde Baru, tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilu semakin meningkat. Tingkat partisipasi pemilih mencapai 75,2 persen.
Sedangkan, tingkat yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 24,2 persen. Dibanding Pemilu sebelumnya, tentu ini merupakan hal positif. Meski demikian, kita tidak mungkin menyangkal adanya ketegangan di masyarakat bawah yang disebabkan kampanye hitam dan semacamnya. Namun, secara umum pesta demokrasi kita berlangsung dengan sangat baik.
Karena faktor itu, Indonesia berhasil menjadi perhatian dunia. Media-media asing turut mengelu-elukan Indonesia sebagai negara yang sukses dengan demokrasi. Menurut Joe Cochrane (2014), pemilihan Presiden 2014 merupakan pemilihan kompetitif dalam sejarah politik Indonesia yang berakhir dengan damai.
Hal ini, di antaranya, karena Indonesia berhasil melarang peran militer dalam politik yang mana negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Thailand masih bermasalah dalam hal tersebut. Di samping itu, partai-partai politik bisa menerima hasil Pemilu dengan lapang dada.
Sejak era Reformasi, keran demokrasi di Indonesia menjadi terbuka dan semakin hari semakin demokratis. Meski demikian, ada celah-celah demokrasi yang diakui masih harus ditutupi seperti diskriminasi terhadap kaum minoritas dan semacamnya.
Tapi, secara umum ia optimis melihat perkembangan demokrasi di Indonesia meskipun tidak menafikan adanya pelintiran kebencian berbasis agama yang sangat sengit. Sebab, Pilpres pada tahun itu merupakan pesta demokrasi yang menyenangkan. Setiap elemen masyarakat bahkan rela terlibat dalam mengawal penghitungan suara di tempat masing-masing.
Sepertinya apa yang ditulis Cochrane tidak berbanding lurus dengan apa yang terjadi dalam perpolitikan kita, terutama di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Tiga tahun setelah Pilpres 2014, tampaknya perjalanan demokrasi di negara ini semakin menggelisahkan. Munculnya perselingkuhan antara para politisi oportunis dan gerakan-gerakan Islamisme yang semakin hari semakin kuat menjadi faktor utamanya.
Dalam bukunya, Pelintiran Kebencian, yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, Cherian George (2017) menyampaikan bahwa fenomena isu SARA, khususnya agama, di tahun-tahun politik merupakan ancaman nyata bagi demokrasi. Fokus penelitian George pada tiga negara besar di dunia: India, Indonesia, dan Amerika Serikat.
George menyoroti bagaimana pelintiran kebencian dalam politik SARA beroperasi dan bagaimana demokrasi perlu mengatasinya. Di Indonesia khususnya,Islam konservatif dan para politisi oportunis, semuanya melibatkan agen pelintiran kebencian yang memodifikasi metode-metode atau cara-cara kampanye mereka supaya sesuai dengan lingkunganhukum dan sosial masing-masing.
Ia menunjukkan bagaimana praktisi pemelintir kebencian atau pelaku kampanye isu SARA menggunakan kebebasan dan toleransi yang dijamin oleh demokrasi guna mendukung agenda yang menggerogoti nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Kadang-kadang, mereka dengan menegaskan eksistensi diri mereka di ruang publik, mengklaim diri sebagai korban dan menuntut kehormatan.
Di Pilkada DKI 2017, misalnya, kita bisa melihat bagaimana kebencian sengaja dipelihara demi memenuhi hasrat politik kekuasaan. Isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjadi begitu tampak dan menakutkan. Dengan demikian, apa yang ditulis Cochrane tidak sejalan dengan apa yang berkembang dalam demokrasi kita. Sebaliknya, Benedict Rogers (2017), seorang aktivis HAM, menulis kritik pedas terhadap perkembangan demokrasi Indonesia di mana keberagaman semakin terancam. Rogers menyatakan bahwa demokrasi Indonesia tercoreng. Sebab, Pilkada DKI yang telah berlangsung begitu brutal di mana isu agama atau politik identitas menjadi teror.
Berkaca dari suhu politik sekarang, apakah Indonesia masih bisa menjadi contoh (role model) di Asia Tenggara atau mungkin sebaliknya?
Sebagai negara demokrasi terbesar setelah Amerika dan India, tentunya pesta lima tahunan bukanlah hal gampang dilakukan di mana status negara ini sebagai negara yang memiliki pemilihan terbesar dalam satu hari di dunia (the biggest one day election in the world)—berdasarkan data pemilih sebanyak 187 juta (2014). Tentunya, akan ada banyak tantangan di depan. Di antaranya, pengelolaan sistem pemilu yang akuntabel dan transparan serta tingginya kompleksitas pemilihan karena faktor luasnya wilayah, geografi, dan penyelenggara pemilihan (Anggraini, 2018).
Karena itu, yang meragukan Indonesia sebagai negara demokrasi terbaik di Asia Tenggara hanya emosional karena kekecewaan semata di mana politik kebencian begitu subur. Namun, secara umum Indonesia dibanding negara-negara Asia Tenggara lain masih menjadi model terbaik di mana demokrasi masih berjalan di atas treknya. Ditambah lagi, peran lembaga-lembaga nonpemerintah atau swadaya masyarakat sebagai perwakilan dari masyarakat umum mendapatkan tempat untuk bersuara.
Meski demikian, momentum Pilpres (2019) ini merupakan pertaruhan besar apakah kita dapat meningkatkan prestasi kita dalam demokrasi atau malah mundur beberapa langkah ke belakang.