Rabu, April 24, 2024

Masihkah Belajar Sepanjang Hayat?

Rony K. Pratama
Rony K. Pratama
Peneliti Pendidikan Literasi Yogyakarta

Jamak orang mereduksi serampangan antara ontologi pendidikan dan pengajaran dengan cakupan institusi formal. Keduanya jelas berbeda secara semantik karena memiliki beban makna partikular.

Pendidikan melingkupi segala aktivitas substantif-edukatif yang tak terpenjara dinding kelas, sedangkan pengajaran menitikberatkan pada kegiatan belajar di sekolah formal. Dari definisi singkat ini jelas kedua hal itu memiliki konsekuensi logis yang berlainan, baik di ranah teori maupun praktis.

Aktivitas pengajaran di sekolah bisa bernilai didaktik bila memenuhi kriteria yang bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan juga konstruksi pengetahuan berikut aplikasi di lapangan. Dua keterampilan tersebut acap dikenal sebagai soft-skill dan hard-skill. Terlepas dari aspek apa saja yang mesti diajarkan di sana, pengajaran, dengan kata lain, mesti direlasikan secara inheren dengan epistemologi pendidikan.

Sekolah memiliki limitasi temporal yang hanya dimanifestasikan secara periodik dan berjenjang. Sistem pendidikan di Indonesia telah mengenal komposisi itu meliputi pendidikan dasar, menengah, dan lanjut. Ketiganya dipartisi atas preferensi kondisi psikologi perkembangan manusia sehingga ia disesuaikan pula dengan materi belajar selama sekolah berlangsung. Sistem berlapis demikian memudahkan pengajar (guru) untuk melakukan kegiatan pengajaran yang sesuai cetak biru kurikulum nasional.

Ketika durasi sekolah dinyatakan usai, khalayak kerap diberi pengertian imperatif, bahwa ia tak berarti final untuk eksplorasi ilmu. Di sini arti belajar sepanjang hayat digalakan terus-menerus tiap generasi sebagai upaya peringatan kepada pembelajar agar tak menyudahi aktivitas belajar. Meskipun sekolah dikatakan tamat, ijazah telah dikantongi, belajar harus dikontinuasikan sampai titik nadir usia manusia. Persoalannya, seberapa besar niat itu diejawantahkan dalam laku sehari-hari umat manusia modern?

Dampak Struktural

Terdapat pemeo arkais yang akrab di telinga masyarakat Indonesia akan kecenderungan tak total dan militan dalam pola belajar mereka. Implikasinya, manusia Indonesia dianggap setengah-setengah ketika berurusan dengan keahlian tertentu. Mereka dikatakan mampu menguasai analekta pengetahuan umum, namun sedikit sekali yang menjadi ahli karena keengganan mendalami secara tuntas. Problem ini menjadi cambuk sekaligus rapor merah bagi praktik pendidikan formal.

Persoalan simplikatif dari gejala umum perihal absennya keahlian itu ditengarai karena kurikulum pendidikan Indonesia bersifat general dan kurang subur bagi pembentukan bakat personal. Kenyataan demikian mudah ditelisik dari apa yang diajarkan di sekolah formal dewasa ini.

Sekolah cenderung mengajarkan materi yang terlalu banyak dan universal ketimbang memfokuskan pada keahlian tertentu atas pertimbangan bakat personal. Belum lagi segi ahistoris dalam praktik pembelajaran di lapangan: apa yang diajarkan dan apa yang dialami peserta didik jauh bertolak belakang.

Simtom derivatif antinomi praktik pendidikan formal itu berakibat signifikan terhadap kering-kerontangnya motivasi siswa untuk melanjutkan spirit belajar setelah tamat sekolah. Posisi tersebut ditambah dengan paradigma belajar untuk “mencari kerja” lebih dominan daripada belajar sebagai proses pertumbuhan intelektual dan karakter. Sekali lagi, mereka menjadi korban struktural atas kekeliruan yang telah dilazimkan oleh komunitas belajar teknokratis.

Model Belajar

Suara-suara pesimis mengenai problem pendidikan mesti dibarengi dengan optimisme bangkit agar tak terlalu lama terjebak pada situasi inferior. Titik tolak kebangkitan itu tentu didasarkan atas amanat konstitusi ihwal “pencerdasan kehidupan bangsa” yang selama ini dikuasai segelintir politikus yang bermain di belakang bidak catur bernama kebijakan pendidikan. Ia harus dikembalikan kepada kedaulatan masing-masing orang agar belajar menjadi milik pribadi dan diwacanakan sepanjang hidup.

Era Revolusi Industri 4.0. sebetulnya telah membuka lebar peluang belajar yang tak terikat ruang dan waktu. Pada zaman itu, segala hal mengenai demokratisasi infomasi, kini menjadi milik publik dan bebas diselebrasikan selama lentera kesadaran dijaga.

Kesadaran belajar sepanjang hayat inilah yang seyogianya menjadi motor penggerak diri untuk konsisten melakukan penerokaan pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Dua lingkup itu tersedia gratis di mahadata yang hari ini digadang-gadang menjadi aset peradaban hari depan.

Buku, jurnal, media massa daring, dan sumber-sumber pengetahuan bergelimang di depan. Semua itu memungkinkan diakses umat manusia tanpa pandang strata sosial, ekonomi, ras, agama, dan identitas-identitas padat lain.

Untuk itu, kunci utama belajar sepanjang hayat dalam rangka mengeksplorasi referensi digital adalah kecakapan literasi media. Keterampilan literasi media ini dapat dipelajari dan dikembangkan selama terdapat keinginan untuk belajar. Sekolah, dengan demikian, harus merespons kondisi itu melalui kurikulum literasi media—setidaknya dalam bentuk materi pembelajaran yang relevan dan kontekstual.

Pendek kata, model belajar sepanjang hayat di era disrupsi tak jauh dari realitas siber karena ia kini menjadi ranah strategis di berbagai bidang kehidupan modern. Realitas tersebut akan bertahan dan berkembang, setidaknya, sepuluh hingga tiga puluh tahun mendatang. Gelombang keempat, karenanya, menjadi kata kunci dan kotak pandora  pola belajar sepanjang hayat.

Rony K. Pratama
Rony K. Pratama
Peneliti Pendidikan Literasi Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.