Dalam perspektif Foucaultian, makna tentang “ada” merupakan sesuatu yang melulu dibicarakan. Sementara wacana adalah pernyataan yang mengusung pengetahuan. Karena bagi Foucault pengetahuan adalah kekuasaan, maka di balik pernyataan menyusup wajah kekuasaan.
Persis di situ bahasa menjalankan fungsi bukan lagi semata-mata sebagai medium/perantara untuk berkomunikasi, melainkan arsitek yang mengonstruksi “realitas”: realitas bahasa.
Dalam konteks itu obrolan sensitif perihal adanya PKI akhir-akhir ini dapat dibaca bukan karena PKI memang benar-benar “ada, nyata dan konkret”, bukan. Melainkan ke-“ada”-an ini berada di level perbincangan. Ia bukan “ada” dalam wujudnya sebagai sosok individu atau institusi sebagaimana kerangka berpikir umum memahaminya, melainkan “ada” di wilayah bahasa, mengendap di benak kolektif di mana ritual tahunan menjelang peringatan tragedi 30 September membuatnya terus-menerus dihidupi.
Dalam situasi semacam itu, media sosial menyediakan surga sekaligus neraka bagi dunia wicara melalui kehadiran teks dan visual yang mewakili otak. Baik otak individu, maupun otak institusi.
Sementara ruang publik bergeser tempat ke dunia digital, masyarakat beralih rupa jadi warganet. Siapa saja dapat memperbincangkan tentang apa saja, kapan saja dan dimana saja. Siapa saja dapat berperan menjadi apa saja, termasuk dengan mengenakan topeng-topeng anonim yang tak bertanggung jawab (seperti kasus Saracen yang kini sedang diminta pertanggungjawabannya).
Di ranah digital, hukum ruang dan waktu yang berlaku tidak selinear di dunia riil. Dunia digital bersifat kontekstual. Ia dibatasi bukan dengan ruang dan waktu, melainkan dengan konteks. Dengan sambungan wifi dan paket data. Ini yang membedakan bagaimana cara membaca isu di dunia riil dan di dunia digital. Ingatan manusia pendek, tapi tak demikian dengan ingatan digital. Ia merekam jejak yang ditinggalkan oleh pengguna media sosial, seremeh apapun itu. Sehingga ketika suatu kali sebuah topik pembicaraan muncul ke permukaan, tambahan informasi yang mengekor di belakangnya bisa datang dari segala arah, dan membuat topik yang semula dibicarakan pun menjauh dari titik awal. Misalnya, kericuhan di LBH Jakarta dan perbincangan PKI akhir-akhir ini yang berujung ke soal Aidit dan rokok. Atau usul Fahri Hamzah yang dengan brilian mengajukan Kaesang jadi sutradara Film PKI versi generasi milenial – yang barangkali dimaksudkannya sebagai tanggapan atas pernyataan bapaknya yang mengatakan perlunya membuat Film G-30 S/PKI versi baru agar dapat diterima oleh generasi milenial. Karena versi milenial, lalu warganet menanggapi. Kali ini bukan lagi soal Aidit dan rokok, tapi gambar meme tokoh Aidit sedang ngevape. Di sampingnya, ada gelas kopi starbucks dan macbook.
Bila menggunakan perspektif paska-strukturalis (dimana realitas diandaikan layaknya hamparan teks dan keberadaan suatu makna ditentukan oleh permainan tanda tanpa batas yang struktur pemaknaannya bergantung pada pihak yang dominan), persoalannya bukan lagi terletak di “ada” atau “tidak ada” PKI. Karena dalam wilayah bahasa, PKI jelas-jelas ada. Ia di-“ada”-kan melalui perbincangan, dihidupkan, ditekstualisasikan, dijadikan stempel berwujud stigma dan setelah itu “dibinasakan” lewat kericuhan nyata.
Absurd? Ya, itulah proyeksi absurdnya psiko-sosial. Itu kenapa poin persoalannya bukan lagi di perdebatan ada atau tidak ada PKI. Karena ketimbang meributkan soal ada dan tidak ada PKI, akan jauh lebih relevan jika perbincangan diarahkan pada bagaimana “efek diskursif” – dampak sosial yang diakibatkan dari pembicaraan terus-menerus tentang PKI.
Kerusuhan? Sudah jelas terjadi. Ada daftar panjang tentang aksi yang menyita akal sehat karena perbincangan itu. Membuka ruang perdebatan yang difasilitasi stasiun televisi nasional? Iya juga. Melahirkan pakar dadakan yang (seolah) punya otoritas bicara karena pengetahuan yang ia miliki telah mengobyektifikasi dirinya untuk berbicara? Jelas. Melancarkan proses reproduksi berita (karena sifat berita mengemban dualisme nilai, informasi sekaligus ekonomi)? Sopasti. Jangankan itu, bahkan pembicaraan tentang PKI juga telah melahirkan banyak karya sastra yang beberapa dianugerahi penghargaan sastra-sastra terbaik di negeri ini.
Lalu, apa yang menjadi soal?
Yang menjadi soal adalah siapa yang diuntungkan dari adanya perbincangan itu dan siapa yang dirugikan dengan efek domino darinya? Ini adalah “ekonomi konflik”. Seturut model supply dan demand, konflik akan bertahan selama ia dibutuhkan dan menguntungkan. Konflik memang menjadi salah-satu metode untuk mencapai perubahan, tetapi konflik juga dapat menjadi sebab timbulnya perpecahan. Dan terlepas dari hal itu, pertanyaan yang bisa diajukan selanjutnya barangkali adalah, dorongan apa yang menyebabkan wacana PKI selalu menjadi “isu ekonomis” tahunan bagi industri media dan “isu strategis” bagi industri politik?
Persoalan yang lebih mendasar adalah, di balik “kriukknya” obrolan tentang PKI, ada “korban”. Siapa itu korban? Dengan mencoba mengenali wajah “korban”, sebetulnya kita sedang beranjak keluar dari labirin perbincangan PKI. Baru beranjak, yang berarti belum benar-benar keluar.
Di tengah reproduksi kebohongan, kita semua adalah korban dari rezim pengetahuan. Generasi masa kini adalah “the lost generation”, kalau kata Saut Situmorang dalam diskusi Kekerasan Budaya Paska 65. Generasi yang limbung karena rantai naratif sejarah dipotong puluhan tahun. Maka tidak heran jika kemudian yang jamak dijadikan perbincangan setiap tahun berkutat pada soal pro dan kontra tentang kebenaran peristiwa 65. Dan dengan masuk ke perbincangan tahunan soal pro dan kontra itu, berarti kita sedang menjerumuskan diri pada pengukuhan dikotomi. Mendaur-ulang pertentangan lama. Memasuki logika oposisi-biner yang memperlawankan versi-versi kebenaran. Berebut tentang siapa yang paling benar. Yang justru kian menajamkan potensi konflik dan luput bahwa yang mesti dibangun adalah sebuah jembatan.