Jumat, Maret 29, 2024

[Masih Soal] Perppu Ormas dan Problem Kesewenang-wenangan Hukum

M. Rasyid Ridha S.
M. Rasyid Ridha S.
Pengacara Publik YLBHI-LBH Jakarta

Kita semua mafhum, jika demokrasi pasca reformasi 1998 selain menghasilkan iklim kebebasan sipil yang ekspresif, juga menghasilkan pertumbuhan jamur politik identitas yang begitu banyaknya. Hal terakhir inilah, yang kemudian justru menjadikan demokrasi pasca reformasi 1998 sebagai medium bagi berkembangnya “paham dan gerakan radikalisme sektarian”.

Atas nama kebebasan dan demokrasi, sebuah gerakan radikal sektarian dapat eksis dan memiliki kehendak leluasa untuk memberangus yang lainnya, yang berbeda paham, identitas dan golongan. Pemahaman demokrasi dan kebebasan seperti ini, yang justru dangkal dan bercorak vandalis, karena tidak mensandarkan dirinya pada nilai-nilai hak asasi manusia. Hal ini menghasilkan tantangan berikutnya: bahwa dengan pertarungan antar faksi sipil di alam demokrasi, apakah demokrasi dapat menjadikan kita sebagai masyarakat sipil semakin dewasa dan beradab, atau justru sebaliknya?

Di satu sisi yang lain, Negara pun memiliki kepentingan sendiri dalam menghadapi situasi demokrasi tersebut. Negara dengan seabrek agenda nasionalnya, berupaya mendamaikan berbagai kepentingan politik-ekonomi masyarakat sipil. Namun apa daya, Negara sendiri sebenarnya adalah organisme hasil pertarungan kelas politik yang tak akan pernah terdamaikan. Negara tak melulu mewakili kepentingan seluruh rakyat, akan tetapi justru sebaliknya, Negara menjadi alat politik bagi kelas masyarakat yang berkuasa dan memiliki modal.

Maka tepat pada posisi inilah, dalam konteks demokrasi, supremasi hukum menjadi sangat penting. Pada pokok alaminya, hukum adalah alat kompromi untuk mendamaikan berbagai pihak yang berkepentingan –selain ia juga bisa menjadi alat legitimasi penguasa untuk menindas rakyatnya-. Untuk mempertemukan berbagai kepentingan agar saling berkompromi, maka hukum akan menguji validasi kebenaran masing-masing pihak yang berkepentingan.

Mekanisme penegakan hukum di dunia modern, pengujian masalah hukum tersebut dilakukan pada ranah pengadilan. Agar pengujian tersebut dapat absah, pengadilan menghadirkan prosedur-prosedur pengujian berdasarkan sifat masing-masing jenis perkara yang dibawa dan diuji di pengadilan. Prosedur (hukum formil) ini penting, karena untuk membentengi kepentingan materiil hukum yang agar lebih terukur dan valid.

Salah satu unsur pengujian suatu kepentingan hukum masing-masing para pihak, adalah unsur pembuktian. Masing-masing pihak yang berperkara –atau berkepentingan atas perkara-, harus membuktikan bahwa ia benar atas diri dan tindakannya. Dari situ, hakim akan menilai dan menafsirkan pembuktian pihak terkait/berkepentingan, apakah pihak tersebut telah melakukan tindakan yang sah secara hukum atau tidak.

Dalam konteks permasalahan Perppu Ormas 2017, supremasi hukum seperti inilah –yakni penegakan hukum yang berkeadilan melalui lembaga yudikatif (pengadilan)- yang justru dihapuskan. Ini terlihat bagaimana Perppu Ormas 2017 menghapus seluruh ketentuan yang ada pada Pasal 68 hingga Pasal 78 Undang-undang No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas 2013).

Ketentuan Pasal 68 hingga Pasal 78 UU Ormas 2013, adalah ketentuan bagaimana mekanisme pembubaran suatu ormas hanya dapat dilakukan pertama-tama melalui proses pengadilan, untuk selanjutnya dilakukan pengesahan-pencabutan status badan hukum oleh Pemerintah.

Dalam mekanisme pembubaran ormas melalui pengadilan tersebut, tertera dengan jelas bagaimana upaya pembubaran ormas tidak dapat semerta-merta dilakukan secara sepihak oleh Pemerintah (Lembaga Eksekutif). Ketika upaya pembubaran itu sedang diproses dalam acara persidangan di pengadilan, bahkan Ormas terkait memiliki hak untuk membela dirinya di hadapan hakim pengadilan.

Ini menunjukkan bahwa mekanisme pembubaran ormas melalui pengadilan sebenarnya justru menghadirkan ruang diskursus-perdebatan dan pengujian validitas kebenaran: apakah suatu ormas tersebut bermasalah dari segi hukum dan mengancam hak asasi manusia lainnya atau tidak.

Hasil pengujian di ruang pengadilan inilah (yakni putusan pengadilan berkekuatan tetap), yang kemudian menjadi dasar legitimasi apakah pemerintah akan melakukan tindakan pembubaran terhadap suatu ormas atau tidak. Dengan begitu, Pemerintah melakukan tindakan berdasarkan suatu hasil pengujian yang absah dari segi hukum, dari lembaga kekuasaan lainnya (yudikatif) yang independen.

https://i.pinimg.com/736x/6c/3b/d4/6c3bd413d939bf0f89ccf980fde1e0c4–lady-justice-the-justice.jpg

Penegakan hukum melalui lembaga yudikatif (pengadilan) ini, sejalan dengan prinsip kekuasaan kehakiman sebagaimana tertera pada Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Artinya, pengadilan untuk mengadili suatu perkara, harus bebas dari kepentingan kekuasaan tertentu, harus obyektif, demi menegakkan hukum dan keadilan.

Inilah mengapa, pengadilan dalam konteks mengadili ormas yang bermasalah dari segi hukum dan kemasyarakatan, harus obyektif dan jeli melihat masalah hukum di dalamnya. Pengadilan tidak memiliki kepentingan subyektif atas ormas tersebut, tapi harus mampu menyerap dan mengkompromikan rasa keadilan bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Hal ini untuk mengantisipasi putusan yang jauh dari cita-rasa keadilan.

Maka dengan begitu, sesungguhnya alasan Pemerintah menerbitkan Perppu Ormas 2017 dengan menghapus mekanisme peradilan di dalamnya, yang menyatakan bahwa ada kekosongan hukum adalah satu alasan yang dibuat-buat. Justru sebaliknya, aturan hukum mengenai Ormas sudah cukup lengkap diatur pada UU Ormas 2013. Yang ada adalah: bahwa sejak 2013 hingga kini justru tidak ada tindakan penegakan hukum berdasarkan UU Ormas 2013 terhadap ormas-ormas yang bermasalah di masyarakat.

Kita semua mafhum, banyak dari ormas-ormas yang bermasalah dan bekerja dengan mereproduksi kebencian serta kekerasan. Sebagian kalangan menyatakan, bila ormas-ormas bermasalah ini ditindak melalui mekanisme peradilan, akan memakan waktu yang lama dan memboroskan anggaran uang negara.

Alasan tersebut justru bodoh, karena pada dasarnya semua hal yang hendak dicapai –termasuk cita-cita demokrasi dan keadilan-, memerlukan pengorbanan. Namun pengorbanan tersebut haruslah fair dan sesuai dengan semangat hak asasi manusia. Apalagi bagi masyarakat modern, tentu mengerti bahwa semua hal memerlukan proses waktu dan biaya.

Pengadilan dalam konteks negara hukum dan demokrasi, memiliki fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah (Lembaga Eksekutif). Pengawasan ini bertujuan agar Pemerintah, tidak melakukan tindakan sewenang-wenang yang justru bertentangan dengan hukum dan demokrasi.

Dengan mengebiri mekanisme peradilan dalam UU Ormas 2013, pada dasarnya Pemerintah (lembaga eksekutif) hendak mengekspresikan tabiat jahatnya untuk melakukan tindakan yang sewenang-wenang terhadap masyarakat sipil, sebagaimana yang dilakukan oleh rezim Orde Baru melalui UU Ormas 1985. Pada titik ini, rakyat atau masyarakat sipil dipandang Pemerintah bukan sebagai tuan, tapi sebagai budak dan musuh yang harus diwaspadai –atau kalau perlu, diberangus-. []

M. Rasyid Ridha S.
M. Rasyid Ridha S.
Pengacara Publik YLBHI-LBH Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.