Jumat, Maret 29, 2024

[Masih Soal] Perppu Ormas dan Masalah Pembatasan HAM – Bagian 1

M. Rasyid Ridha S.
M. Rasyid Ridha S.
Pengacara Publik YLBHI-LBH Jakarta

Saya berasumsi, perumus draft Perppu Ormas 2017 atas nama kegentingan (?!), kondisi darurat (?!?!), dan kekosongan hukum (?!?1?!) ini, sepertinya sudah mengantisipasi bilamana ia akan diserang oleh sebagian aktivis karena dianggap memberangus iklim kebebasan dan hak asasi manusia di Indonesia,

Asumsi ini tercermin pada pembacaan saya terhadap isi bagian penjelasan Perppu, dimana disebutkan didalamnya bahwa pemberlakuan hak asasi manusia di Indonesia tidaklah bersifat universal dan absolut –yang karenanya bersifat relatif-. Dengan begitu, si pembuat Perppu Ormas hendak menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia dapat dibatasi oleh rezim Pemerintah Negara.

Si perumus Perppu menuliskan lebih lanjut seraya mengutip alinea teks Deklarasi HAM Bangkok 1993, dimana pembatasan HAM dapat dimungkinkan karena hak asasi manusia (nilai kemanusiaan) yang eksis di Negara-negara Asia maupun ASEAN memiliki penerapan yang berbeda, dan pembatasan HAM tersebut juga mempertimbangkan ke-khas-an nilai budaya, identitas, dan agama di negara-negara Asia dan ASEAN.

Selanjutnya, si perumus Perppu terus melanjutkan argumennya soal pembatasan HAM pada Perppu Ormas 2017 dengan mengutip Pasal 4 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang pasal tersebut menjelaskan bilamana ada hal ihwal kegentingan memaksa yang dapat membahayakan bangsa dan negara, pembatasan HAM dapat dilakukan oleh Negara tersebut.

https://uploads3.wikiart.org/images/vela-zanetti/detail-of-mural-of-human-rights-dead-child-1953.jpg

Melalui sitasi sebagian teks regulasi internasional diatas, Pemerintah Indonesia hari ini hendak menyatakan bahwa pemberlakuan Perppu Ormas dengan melakukan pembatasan HAM, tidaklah melanggar HAM, karena aturan internasional mengenai HAM itu sendiri sudah menjamin bahwa pembatasan HAM atas alasan tertentu (kegentingan, darurat, dsb.) dapat dianggap pelaksanaan HAM itu sendiri secara lebih luas. Pada titik ini, saya skeptis dan tidak percaya pada argumentasi rezim perumus Perppu Ormas 2017 tersebut.

Pembatasan HAM Memiliki Syarat Yang Sangat Ketat

Sayangnya, dasar argumentasi dan kutipan yang disebutkan dalam bagian penjelasan Perppu Ormas 2017 justru dikutip secara serampangan. Selain itu, pengutipan norma dalam Pasal 4 ICCPR bahkan dapat dikatakan “semau gue”, dan menyembunyikan maksud dan tujuan pembatasan HAM Pasal 4 ICCPR yang sebenarnya itu sendiri.

Pada dasarnya, bila merujuk pada Komentar Umum 5 Pasal 4 Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) Komite Hak Asasi Manusia, pembatasan sebagaimana yang dimaksud Pasal 4 ICCPR harus didasari syarat formil berupa:

  • Adanya pengumuman resmi keadaan darurat beserta pembatasan hak apa saja yang diberlakukan;
  • Bahwa kebijakan pembatasan HAM sebagaimana Pasal 4 ICCPR bersama pengumuman keadaan daruratnya, harus diberitahu ke seluruh Negara-negara Pihak yang meratifikasi ICCPR, dengan memberikan informasi melalui Sekretaris Jenderal PBB mengenai pembatasan hak, alasan-alasan logis yang mendasari pembatasan, beserta jangka waktu pembatasan hak itu sendiri;
  • Pembatasan hak tidak bisa dikenakan pada hak-hak yang tak boleh ditangguhkan pada keadaan apa pun (non-derogable rights), dimana hak-hak tersebut antara lain: hak untuk hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak ditangkap sewenang-wenang, hak untuk tidak dipenjara karena tidak mampu melaksanakan prestasi dari sebuah perjanjian, hak untuk bebas dari pemidanaan yang bersifat retroaktif, hak untuk diakui sebagai subyek hukum, hingga hak untuk bebas berpikir, berkeyakinan, dan beragama.

Dengan begitu, bila syarat-syarat formil diatas terpenuhi, maka pembatasan hak asasi manusia bisa dikenakan pada hak asasi manusia yang antara lain: hak untuk bebas berekspresi, hak untuk bebas menyatakan pendapat, dan hak untuk berorganisasi/berkumpul. Dalam kondisi darurat, entah darurat  keamanan, perang, wabah, dan sebagainya, ketiga hak tersebut dapat dibatasi oleh Pemerintah Negara yang berwenang. [berlanjut ke bagian dua]

 

Sumber Pustaka:

International Covenant on Civil and Political Rights, Adopted and opened for signature, ratification and accession by General Assembly resolution 2200A (XXI) of 16 December 1966, entry into force 23 March 1976, in accordance with Article 49

Compilation of General Comments and General Recommendations Adopted by Human Rights Treaty Bodies U.N. Doc. HRI\GEN\1\Rev.1 at 5 (1994)

Siracusa Principles on the Limitation and Derogation of Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights, Annex, UN Doc E/CN.4/1984/4 (1984)

M. Rasyid Ridha S.
M. Rasyid Ridha S.
Pengacara Publik YLBHI-LBH Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.