1 Oktober 2019, bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila, kita mengingat kembali bagaimana ideologi Pancasila berhasil melewati ujian berat dan menaklukkan ideologi komunis yang mencoba mengambil alih posisinya bukan saja sebagai dasar negara yang sah, tapi juga sebagai identitas dan jiwa bangsa Indonesia.
Sejak Bung Karno untuk pertama kalinya mengemukakan konsep dan rumusan awal Pancasila dalam sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945, peristiwa mana kemudian diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila, ideologi ini berulang kali mengalami ujian demi ujian. Gerakan separatis di daerah-daerah yang menginginkan pendirian negara sendiri dengan ideologi berbeda, silih berganti mewarnai jalannya sejarah NKRI yang baru berdiri itu.
Peristiwa G30S/PKI seolah-olah menjadi puncak dari segala ujian dan cobaan yang harus dialami bangsa Indonesia dalam mempertahankan ideologi Pancasila. Sampai di titik ini boleh dikatakan Pancasila telah “lulus ujian” dan tetap kukuh tak tergantikan sebagai ideologi negara dan simbol kepribadian dan pandangan hidup bangsa.
Selama 20 tahun pertama dari usia Republik ini, Pancasila menunjukkan “kesaktian”-nya sebagai ideologi. Dan sekarang, setelah 54 tahun berlalu, bagaimana kabarnya Pancasila? Adakah ia masih sesakti dahulu?
Secara formal dan legal, tentu Pancasila hingga hari ini masih tetap sebagai “sumber dari segala sumber hukum” di Indonesia. Simbol Garuda Pancasila masih gagah terpampang menghiasi setiap dinding dalam gedung-gedung pemerintahan, instansi, sekolah, universitas, dan tempat-tempat lain yang oleh undang-undang memang diwajibkan memasangnya. Namun secara ruh dan batiniah, adakah Pancasila masih terpatri dalam sanubari manusia Indonesia?
Mari kita lihat faktanya satu per satu:
- Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila pertama ini mencakup antara lain sikap saling menghormati antar sesama pemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda-beda, atau toleransi. Apakah sikap ini masih dipegang oleh masyarakat Indonesia?
Faktanya, survey LSI pada tahun 2018 menunjukkan peningkatan intoleransi beragama di Indonesia sejak 2016.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Tercakup dalam penerapan sila ke-2 ini adalah penghargaan kepada harkat dan martabat manusia, serta menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Faktanya, data BPS menunjukkan angka kejahatan di Indonesia tergolong tinggi: satu tindak kejahatan terjadi di Indonesia setiap 1 menit 33 detik. Suatu indikasi bahwa sikap saling menghargai harkat dan martabat sesama manusia di Indonesia masih memprihatinkan.
3. Persatuan Indonesia.
Sila ke-3 ini mencakup sikap kecintaan kepada Bangsa dan Tanah Air (nasionalisme) dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa benar nasionalisme itu masih ada. Dukungan suporter Timnas Indonesia saat berlaga di lapangan sepak bola, cukup jelas menunjukkan hal itu. Sayang, ekspresi nasionalisme itu sering kebablasan, dilakukan dengan cara-cara destruktif dan di luar kewajaran, mencaci maki dan melempari kubu lawan. Harkat kemanusiaan mereka dari kubu lawan cenderung diinjak-injak, dan sikap ini justru mencemarkan nilai sila ke-2 Pancasila.
Nasionalisme yang dipraktekkan secara tidak wajar, justru mencemari hakekat nasionalisme itu sendiri.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Tercakup dalam sila ke-4 ini nilai-nilai kebersamaan yang mengakui persamaan kedudukan, hak dan kewajiban satu sama lain sebagai sesama warga negara Indonesia.
Demokrasi, sebagai salah satu pengejawantahan dari sila ke-4 ini, terlihat sangat jelas pada penyelenggaraan pilpres, pileg, dan pilkada, di mana keikutsertaan rakyat yang menggunakan hak suaranya sangat tinggi. Sekilas ini nampak seperti pertanda baik.
Namun patut disayangkan, euforia pesta demokrasi semacam itu sering dicemari pertikaian dan saling menjelekkan antar kubu-kubu yang berkompetisi, dan lebih nampak pada massa pendukung kubu masing-masing, sehingga berulang-ulang menyeret bangsa ini hingga ke pinggir jurang perpecahan.
Ditambah lagi, sering kali isu-isu agama disalahgunakan untuk meraup sebanyak-banyaknya dukungan dan sedapat-dapatnya menjatuhkan elektabilitas kubu lawan. Akibatnya, agama yang seyogyanya hadir sebagai pembawa kesejukan dan kerukunan, di tangan oknum-oknum tak bertanggung jawab ini menjelma menjadi instrumen pemecah-belah dan penghancur kebersamaan antar warga negara.
Demi menegakkan sila ke-4, nilai-nilai luhur sila pertama dan ke-2 justru dihempaskan ke tanah.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
“Keadilan sosial” di sini mencakup bagaimana bersikap adil dan seimbang terhadap sesama warga negara, serta menghormati hak-hak orang lain.
Faktanya, hal ini makin langka khususnya di daerah perkotaan, di mana egoisme sangat dominan mewarnai sikap warganya. Saling menyalip di jalan raya, menyabet hak pejalan kaki di trotoir, parkir sembarangan, cuma sekelumit contoh yang terlihat setiap hari.
Menurut data Ditlantas Polda Metro Jaya, angka pelanggaran lalu lintas dari tahun ke tahun terus meningkat. Indikasi kuat bahwa kesadaran tertib berlalu lintas, yang boleh dibilang adalah bentuk paling mudah dan sederhana dari pengamalan sila ke-5, masih sangat jauh dari memadai. Belum lagi pengamalannya dalam hal-hal lain yang lebih besar dan kompleks.
Dari peninjauan sila-sila Pancasila mulai dari yang pertama hingga yang terakhir, serta membandingkannya dengan realita yang kita lihat, jelaslah bahwa masih butuh usaha keras dan perjuangan yang amat panjang untuk menjadikan nilai-nilai luhur Pancasila itu mewujudnyata dalam tingkah laku dan keseharian anak-anak bangsa ini. Penulis meyakini bahwa Pancasila itu masih tetap “sakti”.
Namun “kesaktian” itu baru akan menjelma menjadi kenyataan pada saat nilai-nilai Pancasila itu telah mendarah daging sepenuhnya dalam kehidupan setiap anak bangsa, karena itulah yang akan menghantar bangsa dan Negara tercinta ini menjadi maju, terhormat, “sakti mandraguna” di mata bangsa-bangsa lain di dunia.