Rabu, 23 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo mengumumkan susunan kabinet baru yang diberi nama Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara. Sebagai seorang guru, tentu saya sangat menantikan siapa sosok Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) untuk lima tahun ke depan. Saya dan beberapa rekan guru sampai menggelar nonton bareng pengumuman kabinet lewat streaming Youtube di jeda tugas mengajar.
Melihat Bapak Muhadjir yang tampak di layar kaca, kami semua berkeyakinan beliau akan kembali menjabat sebagai Mendikbud. Ternyata dugaan kami keliru, mantan CEO Gojek, “Mas” Nadiem Makariem, yang justru menjadi nahkoda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Bagi kami hal itu cukup mengejutkan, pasalnya dia tidak pernah memiliki background dan pengalaman di bidang pendidikan.
Maka tidak terlalu mengherankan, jika Ketum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Ramli Rahim merasa sangsi atas terpilihnya Nadiem menjadi Mendikbud. Tetapi, saya tetap percaya bahwa setiap hal bisa dipelajari. Dan kata “belajar” itu yang memang ditekankan oleh Nadiem dalam pidato pertamanya sebagai Mendikbud. Nadiem mengatakan, dirinya menjabat bukan untuk menjadi guru, tetapi menjadi murid yang belajar dari nol.
Oleh karenanya, program 100 hari kerja Nadiem fokus untuk menyerap aspirasi dari berbagai pihak. Nadiem ingin “mendengarkan” pemikiran para pakar pendidikan yang telah berdampak pada kualitas pendidikan. Saya kira itu langkah yang tepat, meskipun juga harus lebih komprehensif. Misalnya, dengan turut mendengarkan input dari para pelaku pendidikan secara langsung, seperti perwakilan organisasi profesi guru.
Nasib Pendidikan Karater
Dalam jagat media sosial, banyak netizen yang antusias menyambut Nadiem sebagai Mendikbud. Tidak terkecuali para guru, yang membayangkan bagaimana masa depan pendidikan nasional dipegang oleh tokoh yang lama berkecimpung di industri digital. Wacana-wacana dominan yang berkembang adalah seputar digitalisasi pendidikan, pendidikan revolusi industri 4.0, dan integrasi teknologi dalam pendidikan.
Namun, ada isu krusial yang luput dari perhatian, yaitu penguatan pendidikan karakter. Pendidikan karakter masih menjadi tantangan besar dalam pendidikan kita. Pemerintah telah mengeluarkan Permendikbud No. 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Tetapi praksis di lapangan, masih banyak terjadi tragedi kekerasan, tindakan indisipliner, dan sikap ammoral dalam dunia pendidikan.
Seperti dua kasus yang tengah viral beberapa hari sebelum Nadiem dilatik. Pertama, kasus guru yang menampar 13 murid di Kota Pasuruhan untuk memberikan teguran. Kedua, giliran kasus penikaman murid kepada guru di Kota Manado hingga meninggal sebab kecewa ditegur. Hal itu menunjukkan, masih ada insan pendidikan yang belum memahami nilai-nilai karakter humanis dan profetik dalam pendidikan.
Malah jika direnungkan, perkembangan era digital sekarang inilah yang menjadi salah satu faktor determinan dalam mempengaruhi karakter anak-anak. Arus informasi yang sangat besar diserap anak, sering tidak mampu diimbangi oleh orang tua dan guru yang seharusnya melakukan digital parenting. Alhasil, interaksi anak-anak dengan gawainya tidak terkontrol dan berpotensi menjadi semacam candu yang merusak karakter.
Karakter sebagai Fondasi
Jika kita melihat isi pasal 31 ayat 3 UUD 1945, tujuan pendidikan nasional yang utama adalah meningkatkan ketakwaan dan akhlak mulia. Selanjutnya, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga menjelaskan, bahwa tujuan dari pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia beriman, bertakwa, berakhlak mulia—baru kemudian—berilmu, kreatif, dan mandiri.
Dari landasan ideal normatif tersebut, kita bisa menyimpulkan, bahwa pendidikan karakter harus tetap diletakkan sebagai fondasi utama dari semua inovasi kebijakan pendidikan ke depan. Thomas Lickona dalam buku Educating fo Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility (1991) juga menyadarkan, pentingnya pendidikan karakter sebagai proses sepanjang hayat (never ending process).
Lebih lanjut, Lickona menjelaskan, bahwa pendidikan karakter ideal dibangun dari tiga unsur, yaitu moral knowing (pengetahuan moral), moral feeling (perasaan moral), dan moral behavior (perilaku moral). Ketiga unsur tersebut dapat menjadi rujukan dalam implementasi pendidikan karakter bangsa tanpa menegasikan lima nilai karakter prioritas PPK yang religius, nasionalis, integritas, mandiri, dan gotong royong.
Terakhir, jika pendidikan karakter menjadi dasar (contour), maka wacana digitalisasi pendidikan bisa menjadi isi (content) yang mendukung karakter bangsa. Di masa depan, peserta didik harus lebih difasilitasi untuk membuat tugas proyek berbasis sosial-digital guna menyelesaikan berbagai persoalan di masyarakat. Hal tersebut akan menjadi tata laku (conduct) positif dari integrasi keluhuran Imtaq dan perkembangan Iptek.
Pemisahan PKN dan PMP
Peluang munculnya berbagai proyek berbasis sosial-digital semakin besar jika inisiasi Mendikbud sebelumnya—Bapak Muhadjir—yang ingin memisahkan Mapel Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) didukung. Alasan dari pemisahan itu karena PMP yang difusikan dengan PKn dalam Mapel PPKn hanya lebih menekankan pada bobot pengetahuan saja, bukan pengalaman langsung.
Hal tersebut juga saya amini sebagai guru PPKn. Dalam proses belajar mengajar, salah satu tantangan yang saya alami adalah ketika hendak mengarahkan pembelajaran pada pendidikan karakter berbasis proyek sosial, tetapi muaranya harus tetap mengevaluasi dengan asesmen ujian tertulis. Maka, muatan pendidikan karakter dan moral Pancasila yang terkandung di PPKn menjadi kurang terinternalisasi dalam diri peserta didik.
Sebaliknya, yang membekas di benak mereka adalah hafalan-hafalan materi tentang pendidikan kewarganegaraan. Berbagai penugasan (PR) yang diberikan oleh guru juga hanya berkisar pada pengerjaan latihan soal atau uji kompetensi. Hal itu tidak terlepas dari tuntuan asesmen akhir yang berbasis ujian tulis dan menonjolkan aspek kognitif (pengetahuan), daripada aspek afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan).
Tentu akan berbeda cerita ketika PMP berdiri sendiri. Meskipun tidak harus menjadi Mapel, tetapi dapat menjadi program pendidikan di luar ruang kelas. Contohnya sudah pernah diutarakan Presiden Joko Widodo saat membuka Rapat Koordinasi Pimpinan Nasional Tahun 2017 PGRI, yaitu ikut kerja bakti atau kerja sosial lain. Pada tataran yang lebih besar dan aktual, hal itu dapat berwujud proyek sosial-digital.