Jumat, Maret 29, 2024

Mas Mansur dan Bakat Amien Rais yang “Sia-Sia”

Fikry Fachrurrizal
Fikry Fachrurrizal
Jurnalis Lepas

Amien Rais kembali bermanuver. Setelah pernyataan kontroversialnya soal partai Allah dan partai setan, kali ini Amien mengajak umat Islam mendobrak ketabuan berbicara politik di dalam masjid. Riuh-rendah respon dituai Amien, beragam cuit muncul di media sosial, sampai-sampai lahir gerakan menolak politisasi masjid.

Sedikit memberi penilaian, tak ada yang salah sebetulnya dengan berbicara politik di masjid. Masjid adalah tempat yang layak, bahkan boleh jadi harus, untuk membicarakan politik selama bahasannya berada pada level diskursus atau politik kebangsaan/keumatan, yang dalam bahasa Amien sendiri disebut high politics.

Namun haram hukumnya menjadikan masjid gaduh oleh pembicaraan politik partisan atau low politics, karena dengan demikian masjid justru menjadi tuan rumah perpecahan politik di tubuh masyarakat. Ironis bukan?

Keputusan Amien untuk berkubang di dunia low politics dua dekade lalu berpengaruh besar pada karir intelektalnya. Di satu sisi, putra kelahiran Solo tersebut menemukan arena politik praktis cocok dengan DNA perjuangannya. Ranah kultural yang diambil Muhammadiyah seperti jalur lambat bagi Amien yang gemar kebut-kebutan. Di sisi lain, terjunnya Amien ke dunia politik turut “menyia-nyiakan bakatnya” sebagai calon pemikir muslim modernis ketika itu.

Like Mas Mansur, Like Amien

Jika ada satu tokoh yang suratan takdirnya segaris dengan Amien, ialah KH Mas Mansur. Mas Mansur adalah pendahulu Amien sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah (ketika itu Hoofdbestuur Muhammadiyah).

Dalam Kyai Haji Mas Mansur: Kumpulan Karangan Tersebar, Ahmad Syafii Maarif menilai ulama asal Surabaya tersebut sebagai orang yang waktunya tersita oleh kesibukan praktis ber-Muhammadiyah dan berpolitik. Sehingga tidak ada sisa waktu baginya untuk berpikir kontemplatif melahirkan pemikiran Islam yang utuh dan genial. Padahal ia punya kans dan modal untuk itu. Buya Syafii menulis:

Sebenarnya bila dilihat dari latar belakang pendidikan dan pengalamannya, Mas Mansur punya kemampuan untuk menjelaskan posisi pemikirannya terhadap seluruh sistem Islam secara lebih formulatif hingga generasi berikutnya akan punya pegangan yang lebih kokoh untuk meneruskannya.

Seperti pada umumnya anak kiai, Mansur muda termasuk anak yang dikirim ke Mekkah untuk pergi haji setelah mendapat pelajaran agama dari ayahnya, Kiai Mas Marzuqi dari keluarga Pesantren Sidoresmo Surabaya. Pasca haji ia melanjutkan pengembaraan intelektualnya dengan pergi ke Mesir untuk sekolah di Al-Azhar, serta mengunjungi Tripoli, Libya untuk tujuan yang sama.

Sepulangnya dari Timur-Tengah, Mas Mansur mendapatkan pelajaran Tafsir Al-Quran langsung dari KH Ahmad Dahlan. Dirinya terkagum-kagum dengan pengajaran tafsir Kiai Dahlan, utamanya surat Al-Ma’un, yang dikajinya dengan teliti per kalimat serta yang terpenting menjadikan ayat-ayat tersebut landasan nilai dan ide untuk membuat gerakan.

Latar belakang pendidikan agamanya dilengkapi dengan pengalamannya di dunia pergerakan. Persinggungan dengan sesama elite umat Islam dalam perjuangan politik turut memperluas pikiran dan pergaulan Mas Mansur. Tercatat ia pernah menjadi ketua Mu’tamar al-‘Alam al-Islam Far’ul Hindis asy-Syarkiyah (MAIFSH), bersama H. Agus Salim sebagai sekretaris, Ketua Haji Organisasi Hindia (HOH), dan terkenal sebagai pendiri Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 1937.

Aktivitasnya dalam perjuangan politik mencapai titik kulminasinya pada masa pendudukan Jepang. Ia menjadi salah satu dari empat pemimpin gerakan rakyat yang direstui Jepang, PUTERA, sebagai representasi dari pemimpin gerakan Islam. Sukarno dan Hatta dipandang representasi pemimpin gerakan politik, sedangkan Ki Hajar Dewantara pemimpin gerakan pendidikan. Gerakan yang justru dijadikan oleh keempatnya sebagai tempat konsolidasi kekuatan rakyat untuk kepentingan perjuangan bangsa.

Kiprahnya dalam dunia praksis perjuangan politik bangsa menenggelamkan potensi Mas Mansur untuk menjadi intelektual yang murni mengkaji dan melahirkan pemikiran keislaman yang utuh dan genial. Bagaimana bisa, waktunya untuk berpikir dan menuangkan gagasannya sudah tersita. Tapi untuk ukuran seorang pejuang praksis, Mas Mansur cukup meninggalkan banyak tulisan-tulisan.

Empat dekade setelah kepergian Mas Mansur harapan itu berada pada anak muda yang baru saja pulang menyelesaikan doktoralnya dari Chicago, Amien Rais. Harapan itu pada mulanya berjalan mulus melihat pemuda tersebut kembali ke kampusnya di Bulaksumur untuk mengajar, dan mendirikan Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK), sebuah lembaga tangki pemikiran di bidang kajian kebijakan publik.

Bahkan, dalam sebuah kesempatan diskusi dengan Direktur Suara Muhammadiyah (SM) Deni Asy’ari, tulisan-tulisan Amien di majalah SM pada masa itu lebih banyak membahas tema-tema pemikiran keagamaan. Hal yang sama dapat ditelusuri arsipnya pada media massa lainnya ketika itu.

Memasuki medio 90-an, kritisisme Amien mulai diseret masuk untuk menembak kekuasaan. Meski demikian, pemikiran keislaman masih menjadi langgam yang dominan pada gagasan-gagasannya. Seperti pada gagasan zakat profesi bagi orang-orang super tajir untuk mengurangi kesenjangan ekonomi, atau gagasan tauhid sosial yang menyaratkan bahwa ketauhidan memberi dampak pada perbaikan sosial.

Kondisi ini masih bisa menoleransi Amien sebagai pemikir muslim. Bahkan usahanya mengawinkan antara doktrin keislaman dengan realitas sosial keindonesiaan pada saat itu, seperti pada gagasan zakat profesi dan tauhdi sosial, bisa menjadi embrio pemikiran Amien yang utuh dan genial.

Namun sayang, semuanya berputar haluan 180 derajat pasca Amien terjun bebas ke gelanggang politik. Lontaran-lontaran pikirannya lebih didominasi oleh kepentingan politik praktis. Bahkan lebih pantas disebut sebagai manuver politik dibanding sebagai lontaran pemikiran. Pernah satu kali ia menulis sebuah buku berjudul Agenda Mendesak Bangsa. Namun rupanya karya tersebut hanyalah upaya untuk mendongkrak popularitas menjelang pemilihan presiden.

Apakah keputusan Amien Rais hingga hari ini adalah sebuah kesalahan? Tidak. Hanya saja ia mesti membayar mahal keputusan tersebut dengan “sia-sianya” bakat yang ia memiliki untuk menjadi pemikir muslim modernis level dewa. Gelar yang justru kini disematkan pada karibyam Syafii Maarif. Bisa jadi, ketika itu Amien sendiri sadar ia tengah mengebiri satu bakatnya, demi menumbuhkembangkan bakatnya yang lain. Kita semua tahu.

Fikry Fachrurrizal
Fikry Fachrurrizal
Jurnalis Lepas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.