Di akhir abad-20, kaum Marxis dibuat geram dengan munculnya pasca-modernisme.
Konsep subjek emansipatoris yang dalam kitab suci Marxis adalah kelas pekerja,
dicibir habis-habisan oleh kaum pasca-modernisme. Kalangan pemikir pasca-modernisme, atau lebih sering disebut posmodern, menyatakan bahwa subjek sosial-historis dan politis emansipatoris itu tidak ada. Tak lagi relevan dalam kondisi masyarakat kontemporer, ia hanya fatamorgana di padang tandus.
Pernyataan kaum pascamodernis itu berdasarkan atas fenomena kegagalan Marxisme dalam sejarah di akhir abad 20. Rubuhnya tembok Berlin dan Uni Soviet pada 1989 dianggap sebagai musibah besar bagi kalangan kelas pekerja dan menjadi fakta tak terbantahkan bahwa Marxisme telah tamat. Kemudian suksesnya AS dalam Perang Dingin hingga munculnya Francis Fukuyama dengan mantra-mantra tengilnya mengenai “akhir sejarah”.
Dalam kondisi seperti itulah, beberapa “mujtahid kiri” mulai meninggalkan Marxisme dan beralih haluan pada suatu bentuk pemikiran lain tentang subjek, yang selama ini dikenal dengan istilah pasca-modernisme. Namun, sebagian besar kalangan Marxis pun tak tinggal
diam saat keyakinannya dihantam habis-habisan. “Ulama-ulama” Marxis mulai bertafakur dan bahkan ziarah kubur ke makam-makam angker pendahulunya untuk menyangkal segala sihir kaum intelektual pascamodernis. Mereka percaya bahwa semua yang diucapkan oleh para kalangan pemikir pasca-modernisme merupakan tipu muslihat belaka.
Walaupun ada pula beberapa para pemikir Marxis yang menyatakan bahwa kenyataannya memang sulit jika membayangkan kelas pekerja sebagai subjek utama perubahan dalam sejarah, terutama dalam konteks pasca-Fordisme. Pemikir Marxis yang berpendapat demikian tak jarang dianggap sebagai pelaku bid’ah oleh kalangan Marxis ortodoks. Menariknya, tak semua kaum Marxis yang menolak secara total dalil posmodern terebut.
Ada yang menolaknya secara total. Ada pula yang menolaknya sebagian, dan ada yang menerimanya sebagian. Tapi, ada pula yang menerimanya secara total untuk mengoreksi dan melampauinya. Akibatnya, muncul berbagai mazhab dalam tubuh Marxisme, di antaranya empat mazhab utama yang dibahas oleh Dani Filc dan Uri Ram. Meski sebelumnya sempat dilakukan oleh Pauline Rosenau. Rosenau mengkelompokan reaksi intelektual Marxis atas pasca-modernisme ke dalam tiga mazhab. Pertama, Marxisme Ortodoks, yang menolak pasca-modernisme. Kedua, Neo-Marxis, yang mempertahankan identitas esensial dan afiliasi utama mereka dengan suatu bentuk Hegelian dan Marxisme, tetapi memandang sebagai inspirasi untuk menguatkan dan menghidupkan kembali, serta memperluas Marxisme dan keengganan untuk melepaskan analisis kelas. Ketiga, adalah Post-Marxis yang menyesuaikan perspektif Marxis mereka sehingga ia selarasa dengan kerangka referensi posmodern.
Menurut Dani Filc dan Uri Ram, salah seorang intelektual dari Universitas Ben-Gurion, mengatakan bahwa di samping kontribusi Rosenau untuk memperjelas pertemuan-pertemuan antara Marxisme dan pasca-modernisme, tetapi masih tetap bermasalah. Karena pemahamannya atas neo-marxis sebagai Marxisme Hegelian kurang mencakup keluasan neo-marxisme, membuatnya melupakan fakta bahwa banyak intelektual neo-marxis yang menolak pasca-modernisme.
Dalam syarah Filc dan Urim, Marixsm After Postmodernism: Rethingking The Emancipatory Political Subject, berupaya mengkategorikan secara jernih para intelektual Marxis
yang menolak atau menerima dalil-dalil pamungkas pasca-modernisme dalam empat pendirian atau mazhab, yakni;
Marxisme Anti-Pascamodernisme
Menurut Flic dan Ram, para ulama Marxis yang menolak sihir pascamodernis, seperti Samir
Amin, Leo Panitch, Eric Olin Wright, atau Ellen Wood, merupakan perwakilan dari kalangan ulama Marxisme anti-posmodernisme. Mereka menolak posmodernisme karena ia menggunakan suatu perspektif idealis untuk mengantikan konsep inti dari Marxisme atau dasar-dasar materialis Marxis.
Mereka menyatakan bahwa para posmodernis seperti penyair yang mabuk, yang hanya berurusan dengan kata-kata, representasi-representasi, wacana, dan seni, dan mengaburkan tingkat kenyataan sosial-ekonomi atau kelas yang utama ini dengan kenyataan simbolis sekunder. Posmodernis bersalah karena memutarbalikkan pemahaman yang paling mendasar atas hukum sebab-akibat Marxisme—ditentukannya superstruktur (ideologi, kebudayaan, seni, dll) oleh infrastruktur material (ekonomi).
Pasca-modernisme Marxisme
Para ulama Marxis ini adalah ulama yang menolak posmodernisme secara sebagian. Contoh yang dapat diamati dari posisi ini adalah ulama besar Marxis, yakni Frederic Jameson dan David Harvey. Menolak “sebagian” berarti bahwa mereka menolak dalil-dalil pascamodernis tentang pasca-modernisme sebagai suatu sumber ilmu pengetahuan (epistemologi) atau filsafat baru, namun menerimanya sebagai suatu gambaran dari fitur-fitur utama kebudayaan dan kesadaran dari kapitalisme kontemporer. Dengan kata lain, mereka melihat beberapa fitur sosial kontemporer bersifat posmodern, tetapi tidak melihat
posmodernisme sebagai suatu teori penjelas bagi fitur-fitur ini.
Pasca-modernisme tidak mengakui objektivitas, tetapi para ulama Marxis dari aliran ini
menganggap pasca-moderinsme sendiri sebagai suatu ekspresi objektif dari kapitalisme hari ini. Dengan cara ini, bukan hanya mereka tidak menyangkal faktor yang paling menentukan (determinisme) basis eknomi pada suprastruktur dengan menyetujui eksistensi postmodernisme, tetapi melihat posmodernisme menegaskan kembali dan memberikan relevansi yang baru bagi analisis Marxis atas kapitalisme. Bagi Jameson, pasca-modernisme adalah “logika budaya dari kapitalisme akhir”. Sementara bagi Harvey, kapitalisme akhir adalah “kondisi” pascamodernitas.
Pascamodernisme Marxis Sintetis
Mazhab ketiga dari tanggapan Marxis terhadap posmodernitas yang dicirikan di sini adalah para Marxis yang menerima dan memilih “sebagian” dalil-dalil posmodernisme untuk menghasilkan apa yang Flic dan Ram sebut pascamodernis Marxis sintetis. Contoh utamanya adalah Nancy Fraser. Para ulama ini mengambil “perspektif ganda” yang mengakui bekerjanya sekaligus dua rantai hierarki yang secara heuristik terpisah, yaitu hierarki kelas-kelas dan hierarki identitas-identitas. Yang pertama, menciptakan penguasaan (eksploitasi) material dan ketimpangan; yang kedua, peremehan atau pengacuhan simbolis. Poin utamanya adalah bahwa ketimpangan material dan kultural tidak bisa direduksi satu sama lain, bahkan dalam situasi kehidupan nyata keduanya selalu
berkelindan.
Pasca-Marxisme
Akhirnya, kebalikan dari Marxisme anti-pascamodern adalah Pasca-Marxisme, yang diwakili oleh para ulama besar Marxis yang menerima dalil-dalil utama dari pasca-modernisme. Di antara nama-nama yang dikenal luas di sini adalah Baudrillard awal, Ernesto Laclau, Chantal Mouffe, dan Jacques Ranciere. Terlepas dari adu ilmu yang mendalam di antara mereka, semuanya memiliki kesamaan dalam kritik mereka atas Marxis sebagai sesuatu yang dalam sosiologis anakronistik (salah waktu) dan secara filosofis dogmatik.
Mereka menyerukan suatu revisi komprehensif dan mendalam atas Marxisme, yang faktanya melampaui secara keseluruhan. Dari perspektif ini, padangan Marxisme atas sejarah dan masyarakat terlalu fungsionalis dan teleologis, dalam semangat naturalis-evolusionis. Tiada tempat yang tersisa di dalamnya bagi kontingensi historis dan agensi masyarakat, serta, Marxisme dan liberalisme dipandang sebagai saudara kembar modernis.
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui cara-cara yang digunakan oleh para intelektual besar Marxis dalam menghadapi tantangan kaum posmodernis cenderung berbeda-beda mengenai subjek emansipasi, dalam memadukan proses soiologis dan perkembangan ilmu Marxis yang terkait dengan arus pemikiran pasca-modernisme. Meski pada akhirnya, di antara keempat mazhab itu, masih saja terdapat kelemahan untuk menjawab tantangan tersebut: tidak ada satu pun yang dapat mengatasi kontradiksi-kontradiksi dan keterbasatan internalnya. Untuk poin terakhir ini membutuhkan pembahasan yang berbeda dan cukup sulit.
Akhirul kalam, jika mendaku sebagai seorang kiri, saya kira, perlunya memahami mazhab-mazhab tersebut sekaligus perlunya memeluk mazhab di atas adalah suatu kewajiban agar
kamerad kiri tidaklah terjerumus ke dalam budaya kafir bosjuis.