Beberapa hari yang lalu, kita disuguhkan perdebatan hukum yang menarik pada Sidang MK, terkhusus sesi mendengar keterangan para ahli. Walaupun kita mengenal asas ius curia novit atau hakim dianggap tahu semua hukum, namun tetap saja ahli-ahli hukum dipanggil menjadi saksi ahli di dalam setiap persidangan.
Dalam sidang keterangan para ahli kemarin, ada perdebatan antara pemohon dan pihak terkait tentang kompetensi dan batasan luasnya kewenangan hakim. Memang, permohonan pemohon mempunyai substansi permohonan yang cukup banyak dan diluar kebiasaan, bahkan ada yang tidak berkaitan dengan perselisihan hasil Pemilu.
Sementara itu, MK, seperti yang disebutkan oleh Yusril Ihza Mahendra, kuasa hukum pihak terkait, hanyalah ‘Mahkamah Kalkulator’, yang hanya bertugas dalam perselisihan perolehan suara, bersandar ada UUD 1945 NRI Pasal 24C ayat (1).
Di lain sisi, ada preseden penting yang memperlihatkan MK juga dapat menyatakan bahwa kecurangan bukan hanya perkara perselisihan suara, seperti pada perkara Pilkada Kabupaten Konawe Selatan. Oleh karenanya, kegamangan muncul di MK, apakah harus secara kaku mengikuti peraturan, atau ada kebijaksanaan untuk keluar dari pakem, keduanya tetap berdasar.
Ada satu pernyataan menarik di sidang MK kemarin, ketika Denny Indrayana, kuasa hukum pemohon, memberikan suatu analogi dengan perkara Marbury v. Madison, yang menjadi kasus terkenal dan dicatan dalam sejarah hukum. Lalu seperti apa perkara Marbury v. Madison dan apa perannya bagi pengembangan paradigma hukum dunia ?
Mendobrak Tatanan Konservatisme Hukum
Perkara Marbury V. Madison diawali dari kekalahan Presiden Petahana Amerika Serikat, John Adams. Presiden Adams yang menyadari kekalahannya, kemudian di hari akhir masa jabatannya mengangkat William Marbury menjadi Justice of Peace. Namun esok hari ketika Presiden baru, Thomas Jefferson dilantik, surat pengangkatannya belum juga tiba. Sekretaris Negara saat Presiden Jefferson, James Madison, menolak mengirimkan surat tersebut dengan alasan tidak atas perintah presiden yang menjabat. Marbury akhirnya memohon kepada Mahkamah Agung untuk memaksa James Madison mengantarkan surat tersebut.
Mahkamah Agung yang diketuai John Marshall, kemudian menyidangkan perkara ini. Putusannya, pemerintahan Presiden John Quincy Adams sudah memenuhi syarat yuridis atas pengangkatan Marbury sebagai Justice of Peace dan menyatakan Madison bersalah.
Meskipun demikian, Mahkamah Agung menyatakan tidak punya wewenang memaksa Madison selaku sekretaris negara. Permintaan pemohon agar pemerintah mengeluarkan writ of mandamus sebagaimana ditentukan UU Peradilan Amerika Serikat (Judiciary Act) 1789 tidak dapat dibenarkan karena UU Peradilan itu sendiri bertentangan dengan Artikel III Seksi 2 Konstitusi Amerika Serikat.
Dalil yang dipakai Mahkamah Agung untuk mengadili dan memutus perkara Marbury vs Madison adalah konstitusi, bukan UU Peradilan 1989. Dari kasus ini kemudian berkembang pemikiran bahwa Mahkamah Agung adalah penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) dan menjadi patokan utama adanya pengujian materiil.
Marbury v. Madison, meletakkan banyak hal dalam perkembangan hukum dunia. Judicial review merupakan salah satunya, hakim dalam perkara ini menyatakan bahwa Judiciary Act 1789 tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan Artikel III Seksi 2 Konstitusi Amerika Serikat. Hakim menyatakan suatu peraturan bertentangan dengan konstitusi sehingga hakim menjadi negative legislator.
Perkara ini juga memperlihatkan kepada kita, dobrakan hakim terhadap pendekatan tekstual dalam membaca hukum. Sikap konservatif ini, ditembus batasnya oleh John Marshall, lantaran meskipun tidak ada ketentuan judicial review dalam Konstitusi Amerika Serikat, Mahkamah Agung kemudian membuat sebuah putusan yang membatalkan Judiciary Act 1789 lantaran bertentangan dengan konstitusi.
Menariknya, di Amerika Serikat sendiri, terjadi pembelahan golongan hakim, antara yang konservatif dan liberal. Sama dengan konstelasi politik di Negeri Paman sam itu. Hakim konservatif cenderung lebih bersifat judicial restraint. Artinya, mereka lebih menahan diri dan memegang teguh aturan dan proses yang ada.
Tidak masuk kewilayah lain dan secraa kaku, membagi mana wilayah hakim dan wilayah yang tidak perlu dimasuki hakim. Bisa dikatakan bermazhab Kelsenian. Sementara, ada hakim yang lebih liberal dan melakukan judicial activism. Hakim yang cenderung liberal biasanya lebih bisa keluar dari batasan-batasan aturan dalam penafsiran yang tekstual (Mochtar,2019).
Mereka cenderung bisa mengembangkan metode penemuan hukum. Misalkan dengan penafsiran historis, telelogis, sistematis, komparatis, juga futuristis. Selain metode penafsiran, judicial activism juga melihat metode konstruksi hukum dan logika berpikir, misalkan dengan argumentum a contrario. Ini kemudian bermuara pada progresivisme hukum.
Pengembangan Pemikiran Hukum Indonesia
Perdebatan yang disuguhkan pada saat sidang MK beberapa waktu lalu, bisa menjadi ajang pengembangan peradaban hukum Indonesia. Pasalnya, penafsiran hukum yang dilakukan hari ini masih terlalu kaku dan tidak mampu mengikuti perkembangan zaman. Hukum perlu penyesuaian diri dan mampu menjawab ketiga pilarnya; keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
Ada adagium hukum yang berbunyi, “het recht hink achter de feiten aan”, yang berarti kurang lebih, hukum senantiasa terseok-seok berjalan dibelakang zaman. Padahal hukum merupakan elemen penting dalam masyarakat, ia sebagai social engineering-nya masyarakat dan sebagai pranata sosial dari masyarakat. Harusnya ia tidak hanya terpaku pada penafsiran undang-undang secara letterlijk.
Oleh karenanya, muncullah gagasan hukum progresif oleh Satjipto Raharjo. Gagasan ini mendobrak kekolotan tatanan hukum kuno khas eropa kontinental yang diwariskan Belanda. Hukum progresif merupakan suatu sintesis antara hukum positif dan kondisi ideopoleksosbud, antara das sollen dan das sein. Ia menolak gagasan Hans Kelsen yang mengatakan ilmu hukum berdiri sendiri tanpa penopang, yang menjadikannya mono-disipliner, lewat Pure Theory of Law-nya Kelsen.
Padahal, dalam penerapan hukum, selain harus ada legal reasoning, juga harus dipertimbangkan common sense atau the golden role agar publik dapat menerimanya (Alkostar,2014). Common sense ini diambil dari faktor-faktor non-hukum, seperti opini publik, praduga, politik, kepentingan, pertimbangan filosofis, kebermanfaatan, lingkungan, budaya, dan sebagainya. Oleh karenanya, hakim perlu melihat hukum dari tanggapan terhadap kompleksitas fakta daripada sekedar menjadi corong undang-undang (Tamanaha,2010).
Dari penjabaran diatas, perkara Marbury v. Madison bisa menjadi pelajaran bahwa hukum harus bergerak dinamis. Menjadikannya selalu menjadi “law as a process”. hukum akan selalu tampak bergerak dan mengikuti dinamika kehidupan manusia (Raharjo,2005). Tatanan hukum kita tidak terjebak dalam ritme “kepastian hukum” dan bisa berorientasi pada kemanusian dan keadilan.