Jumat, Maret 29, 2024

Maraknya Kekerasan Seksual dan Desakan Pengesahan RUU PKS

Daffa Alifiansyah
Daffa Alifiansyah
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nasional (UNAS)

Menurut Data yang dihimpun oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa bidang kependudukan (UNFPA), Satu dari tiga perempuan Indonesia berumur 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual. Tingkat kekerasan seksual yang terjadi di negara ini, terutama terhadap perempuan bisa dikatakan sangat memprihatinkan. Tercatat di Komnas Perempuan bahwa kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat hingga 8 kali lipat dalam 12 tahun terakhir. Tentunya sangat jelas dibutuhkan Payung hukum yang berpihak pada korban kekerasan seksual.

Komnas Perempuan mengeluarkan Catatan Akhir Tahun pada kuartal pertama tahun 2020 melaporkan bahwa jumlah kekerasan seksual yang terjadi selama tahun 2019 mencapai 432.471 kasus yang sebagian besar bersumber dari data kasus/perkara yang ditangani Pengadilan Agama. Di sini, Komnas Perempuan membuktikan bahwa kasus kekerasan seksual meningkat sebanyak 792 persen selama 12 tahun terakhir.

Lembaga Bantuan Hukum Asosisasi Perempuan Untuk Keadilan (LBH Apik) mencatat adanya 97 kasus kekerasan seksual sepanjang Maret-April 2020, dengan bentuk terbanyak kekerasan dalam rumah tangga (33 kasus), kemudian kekerasan gender berbasis daring (30 kasus), pelecehan seksual (8 kasus) dan kekerasan dalam hubungan pacaran (7 kasus).

Kasus kejahatan siber, seperti intimidasi penyebaran foto dan video porno korban pun meningkat menjadi 281 kasus, dari tahun 2018 sebanyak 97 kasus. Kenaikan juga terjadi pada kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas, sebanyak 47% dibandingkan tahun sebelumnya.

Anak perempuan merupakan korban kekerasan seksual yang paling banyak. Pada tahun 2018, Komnas Perempuan mencatat adanya peningkatan kasus kekerasan seksual yang sangat signifikan terhadap anak perempuan yang dimana kasus kekerasan tipe ini berjumlah 1417 kasus. Dan di tahun 2019 lalu, jumlahnya mencapai 2341 kasus atau mengalami kenaikan 65%, dengan bentuk kekerasan yang paling banyak adalah incest (770 kasus), dan diikuti dengan pelecehan seksual (571 kasus). Pengertian incest adalah kekerasan seksual di dalam rumah yaitu dengan pelaku yang memiliki hubungan darah (keluarga).

Ini membuktikan kasus inses dan pelecehan seksual masih dominan terhadap anak perempuan dan menunjukkan bahwa sejak usia anak sekalipun perempuan telah berada di dalam situasi yang tidak aman bagi dirinya, bahkan dari orang terdekat di dalam kehidupannya. Disinilah paying hukum bagi mereka yang mengalami kekerasan seksual dibutuhkan.

Berdasarkan data tersebut, Indonesia tampaknya tengah mengalami darurat kekerasan bagi wanita dan anak-anak. Sejumlah kasus kekerasan, terutama kekerasan seksual terkuak dalam beberapa bulan terakhir. Sungguh memprihatinkan, pelaku kekerasan seksual seringkali merupakan sosok yang seharusnya bertanggungjawab melindungi para korban.

Desakan Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)

Dalam beberapa pekan terakhir topik kasus pelecehan dan seksual tengah menjadi pembahasan yang hangat di tengah masyarakat. Hal ini terjadi setelah sejumlah korban yang mengalami kekerasan seksual atau pihak dari korban yang mengklaim mengetahui peristiwa yang terjadi buka suara ke publik melalui berbagai platform media sosial.

Inilah yang membuat Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah menilai bahwa Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi hal yang urgensi untuk dibahas melihat maraknya berbagai kasus dugaan pelecehan serta kekerasan seksual yang terjadi ditengah masyarakat.

Ancaman atau bahkan kekerasan untuk membungkam kesaksian mereka merupakan permasalahan utama yang sering dialami oleh keluarga korban atau saksi kunci korban kekerasan seksual. Di sinilah tujuan dari RUU PKS yang tidak hanya melindungi korban kekerasan langsung, tetapi juga memberikan perlindungan bagi keluarga korban dan saksi yang ingin memberikan kesaksian mereka selama proses hukum sedang berjalan.

Hal penting yang perlu didukung dari RUU ini juga ialah adanya keberadaan unsur rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual. Seperti di bunyi Pasal 88 ayat (3), RUU PKS tidak hanya melindungi para korban pelecehan seksual, tapi RUU ini juga memberikan rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual. Fungsi dan tujuan dari rehabilitasi ini adalah mencegah agar tindakan kekerasan seksual tidak terjadi lagi.

Tapi hingga saat ini, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) belum disahkan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) berlalasan, tak kunjung disahkannya RUU PKS lantaran pembahasannya yang alot. Padahal sejumlah masalah terkait kekerasan seksual masih kian marak terjadi. Regulasi yang belum memayungi membuat para korban kekerasan seksual sulit mendapat perlindungan yang sempurna, sedangkan pelaku bisa jadi lepas dari hukuman.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ada dua hal dari kekerasan seksual yang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana yaitu pemerkosaan dan pelecehan seksual atau pencabulan.

Sementara di dalam RUU PKS, kekerasan seksual diklasifikasikan menjadi sembilan jenis, yaitu: (1) pelecehan seksual, (2) eksploitasi seksual, (3) pemaksaan kontrasepsi, (4) pemaksaan aborsi, (5) perkosaan, (6) pemaksaan perkawinan, (7) pemaksaan pelacuran, (8) perbudakan seksual, dan (9) penyiksaan seksual.

Situasi penegakan hukum di Indonesia saat ini hanya berlandaskan pada KUHP. Hukum acara pidana bisa dibilang minim pada jaminan perlindungan dan dukungan bagi korban kekerasan seksual. Ironisnya, jenis kekerasan seksual seperti pemerkosaan, pencabulan, dan lainnya hanya dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Kasus tersebut kerap direkatkan dengan moralitas korban seperti stigma aib. Hal itu membuat korban sulit melapor dan terhambat untuk pulih karena stigma dan budaya yang lebih menyalahkan korban dan menyangkal terjadi kekerasan seksual.

Molornya pembahasan RUU PKS ke daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020 menimbulkan kekecewaan dari kalangan masyarakat sipil, termasuk aktivis perempuan.

Salah satu organisasi profesi advokat, Indonesian Feminist Lawyers Club (IFLC) mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). IFLC menilai RUU PKS dapat mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang tidak seluruhnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tak hanya itu, RUU PKS juga dinilai merumuskan jenis-jenis pemidanaan sebagai pidana pokok maupun pidana tambahan yang berbeda dengan KUHP. Oleh karena itu Indonesian Feminist Lawyer Clubmeminta kepada DPR RI untuk mengkaji kembali serta memberikan ruang untuk masuk ke prolegnas dan mengesahkan menjadi sebuah UU yang kelak akan sangat bermanfaat dan membantu bagi masyarakat Indonesia, khususnya para korban perempuan dan korban anak serta korban kaum disabilitas.

Terdapat sebuah ungkapan dalam bahasa Belanda Het Recht Hinkt Achter De Feiten Aan, yang berarti hukum itu selalu tertinggal dari peristiwanya. RUU PKS sangat diharapkan mampu untuk menjadi jawaban atas kondisi dan situasi hari ini secara komprehensif, tidak lain hanya untuk kepentingan nasional, yaitu untuk masyarakat, bangsa dan negara Indonesialebih sejahtera lagi.

Daffa Alifiansyah
Daffa Alifiansyah
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nasional (UNAS)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.