Setiap tahun ajaran baru, ribuan mahasiswa dari berbagai daerah datang ke kota-kota besar untuk menempuh pendidikan tinggi. Salah satu kota yang menjadi tujuan favorit adalah Surabaya, dengan banyak perguruan tinggi negeri maupun swasta yang tersebar di sana. Semangat merantau dan memulai hidup baru tentu membawa antusiasme yang tinggi. Namun, di balik semangat itu, ada tantangan besar yang sering luput dari perhatian dalam mencari tempat tinggal.
Proses mencari kos seharusnya menjadi bagian menyenangkan dari awal perjalanan kuliah. Sayangnya, kenyataan di lapangan tidak selalu begitu. Fenomena penipuan kos-kosan marak terjadi, khususnya pada mahasiswa baru yang masih awam dengan lingkungan perantauan. Para pelaku memanfaatkan media sosial, aplikasi pencarian kos, hingga pamflet palsu untuk menjerat korban. Dengan berbagai modus yang terkesan meyakinkan, mereka berhasil membuat mahasiswa baru terjebak dalam janji manis yang akhirnya hanya berujung kerugian.
Salah satu modus yang umum dilakukan adalah menawarkan harga sewa lebih murah jika penyewa langsung membayar dalam jangka waktu panjang, misalnya 3–6 bulan. Mereka sengaja menekan calon korban dengan kalimat persuasif seperti: “Kalau ambil sebulan harganya Rp1,3 juta, tapi kalau langsung 3 bulan dapat Rp1,1 juta perbulan. Kalau 6 bulan malah dapat gratis sebulan!”. Rayuan ini membuat calon penyewa tergoda karena merasa mendapat keuntungan besar.
Namun, di balik tawaran itu, ada jebakan yang sudah dipersiapkan dengan rapi. Selain itu, pelaku biasanya memanfaatkan rasa panik mahasiswa baru. Mereka menakut-nakuti bahwa kos akan segera penuh karena banyak peminat, sehingga calon korban merasa harus cepat mengambil keputusan. Di sinilah strategi “tidak boleh DP, harus full payment”. digunakan untuk mempercepat transaksi.
Saya sendiri pernah mengalami hal serupa. Karena masa pengenalan kehidupan kampus (PKKMB) sudah dekat, saya terburu-buru mencari kos. Saat itu, saya dan kakak menemukan penawaran menarik di media sosial. Pelaku menyarankan agar langsung membayar 3 bulan dengan alasan lebih hemat. Kakak sempat menyarankan untuk mencoba dulu 3 bulan, supaya tidak terjebak terlalu lama jika ternyata kosnya tidak cocok. Tanpa pikir panjang, akhirnya kami menyetujui dan mentransfer uang sebesar Rp3,8 juta.
Setelah pembayaran dilakukan, pelaku mengirimkan kuitansi online sebagai bukti. Namun, janji untuk bisa menempati kos “besok atau lusa” tak kunjung ditepati. Tanggal 10 Agustus 2025 pun tiba, kos tetap tidak bisa ditempati. Saat itulah saya sadar bahwa semua hanya tipuan. Uang hilang, waktu terbuang, dan rasa aman pun terganggu.
Kasus ini bukan hanya sekadar soal kehilangan uang. Dampaknya jauh lebih luas:
Mahasiswa baru kehilangan rasa aman, merasa cemas, dan kesulitan mencari kos baru di tengah jadwal kuliah yang padat.
Orang tua ikut merasakan kerugian finansial dan beban psikologis karena khawatir dengan keselamatan anaknya di perantauan.
Masyarakat sekitar juga ikut terdampak, karena kasus ini menurunkan rasa percaya terhadap iklan kos, bahkan pada penyedia yang benar-benar jujur.
Tidak jarang, kasus penipuan seperti ini juga mengganggu proses adaptasi mahasiswa baru di kampus. Alih-alih fokus mengenal lingkungan akademik, mereka justru disibukkan dengan urusan mencari kos pengganti dan melaporkan kasus penipuan.
Dari pengalaman pahit ini, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan agar tidak menjadi korban seperti saya:
1. Survei langsung lokasi kos. Jangan hanya mengandalkan foto atau testimoni online.
2. Gunakan platform resmi atau jasa terpercaya. Banyak aplikasi yang kini menyediakan sistem verifikasi pemilik kos.
3. Hindari pembayaran full tanpa kontrak. Pastikan ada bukti tertulis dan perjanjian yang jelas.
4. Jangan tergiur harga murah berlebihan. Jika harga terlalu bagus untuk jadi kenyataan, kemungkinan besar itu jebakan.
5. Tanya pengalaman senior. Mahasiswa lama biasanya punya rekomendasi kos yang lebih aman dan terpercaya.
Selain upaya individu, peran kampus dan pemerintah setempat juga sangat penting. Kampus dapat mengadakan sosialisasi atau seminar edukasi digital bagi mahasiswa baru agar lebih waspada terhadap modus penipuan online. Pemerintah kota juga perlu memperketat regulasi iklan kos-kosan, misalnya dengan mewajibkan verifikasi identitas pemilik dan menindak tegas pihak yang terbukti melakukan penipuan.
Kasus penipuan kos adalah isu sosial yang nyata dan terus berulang setiap tahun ajaran baru. Jangan sampai semangat mahasiswa baru untuk merantau dan belajar hilang hanya karena ulah oknum yang memanfaatkan ketidaktahuan mereka. Pengalaman ini menjadi peringatan keras bagi kita semua: hati-hati dalam memilih kos, jangan mudah percaya pada janji manis, dan selalu utamakan keamanan.
Dengan kewaspadaan bersama dan dukungan dari berbagai pihak, kita bisa meminimalisir risiko penipuan kos, sehingga mahasiswa baru bisa memulai perjalanannya di perantauan dengan lebih tenang dan aman.
