Rabu, Oktober 16, 2024

Manifestasi Nilai Inklusivitas dalam Konsep Ahli Kitab

Abu Dzar Al Ghifari
Abu Dzar Al Ghifari
Individu yang kebetulan sedang mengenyam pendidikan S1 di Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta, beliau juga memiliki minat terhadap studi agama, filsafat, serta sejarah. Memiliki hobi membaca, menulis, dan berdiskusi.

Kerukunan antar umat beragama merupakan basic demand dari bangsa Indonesia, tuntutan tersebut muncul tak lain dan tak bukan kecuali dari masyarakatnya yang beragam, yang terdiri dari pelbagai ras dan agama. Keberagaman ini adalah keniscayaan yang tak dapat terelakan, sebagai interpretasi dari pada kasih Tuhan bagi bangsa Indonesia. Banyaknya agama yang terdapat di Indonesia merupakan indikator kemajemukan bangsa Indonesia, bagi masyarakat Indonesia Agama merupakan hal fundamental yang menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat Indonesia.

Kenyataan sosial beragama yang demikian itu telah dipahami oleh para pendiri bangsa, bahwasanya beragama merupakan hak bagi semua penduduk Indonesia, dan hak ini dijamin oleh Negara. Hak ini diatur dalam undang-undang Dasar 1945 yang terdapat pada Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan bahwasanya “Negara berdasar Tuhan Yang Maha Esa” Negara menjamin kemerdekan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat berdasarkan kepercayaan itu.

Masyarakat menjalin hubungan yang erat dengan agama yang mana nilai-nilai dari agama diimplementasikan dalam kehidupan sosial masyarakat. Max Weber mengungkapkan beberapa fungsi agama, yaitu untuk memandu perilaku manusia, mengajarkan makna hidup, menciptakan solidaritas antar manusia. Keadaan realitas sosial masyarakat Indonesia yang cenderung seimbang secara apriori dapat dikaitkan dengan masyarakat Indonesia yang mayoritasnya adalah pemeluk agama.

Implementasi keagamaan terlihat dari sikap sosial pemeluknya, Leonardo Boff seorang teolog ternama menyatakan bahwa tanda bekerjanya suatu agama dalam diri individu, menjadikan individu tersebut menjadi penyabar, tanggung jawab, memiliki kepeduliaan dengan sesamanya dan mewujudkan nilai-nilai kebaikan terhadap sesamanya.

Indonesia merupakan negara yang majemuk, dengan kata lain pluralisme beragama merupakan realitas bagi bangsa ini. Agama sebagaimana budaya dapat ditawarkan juga dapat diperjualbelikan kepada orang sehingga pluralisme agama merupakan tantangan khusus yang dihadapi banyak negara dunia, tak terkecuali Indonesia dewasa ini.

Kemajemukan bangsa Indonesia memiliki daya tariknya tersendiri meskipun terdapat aspek negatif yang tak dapat dipungkiri, khususnya dalam aspek religion diversity mengingat setiap agama memiliki ekslusivitas dogmanya masing-masing, dengan kata lain keberagaman ini secara tidak langsung merupakan salah satu faktor disintegras bangsa Indonesia, jika dilihat dari sisi lain.

Harmonisasi merupakan jawaban dari masalah-masalah yang kerap menghantui keragaman Indonesia, perbedaan tidaklah menjadi halangan sama sekali bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesadaran beragama haruslah bersifat dinamis nan humanis sehingga dapat ditransformasikan oleh berbagai lapisan masyarakat. Agama Hindu sebagai agama yang pertama masuk ke Indonesia memiliki konsep kebersamaan dan kesatuan yang dituangkan dalam ajaran wasudewa kuntumbakam yang artinya semua mahluk bersaudara, lalu bagaimana dengan agama-agama yang lainnya?

Islam sebagai Agama Mayoritas dan Peranannya

Merupakan hal yang lumrah diketahui bahwasanya Islam adalah agama dengan pemeluk mayoritas yang terdapat di Indonesia, Berdasarkan laporan The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) yang bertajuk The Muslim 500: The World’s 500 Most Influential Muslims 2024, Indonesia merupakan negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia. RISSC mencatat, jumlah populasi muslim di Indonesia mencapai 240,62 juta jiwa pada 2023. Islam sendiri mulai masuk ke Indonesia pada awal abad ke-13, proses Islamisasi di Indonesia telah berlangsung selama berabad-abad hingga saat ini.

Islam merupakan salah satu identitas daripada roh sejarah di Indonesia, roh yang membawa bangsa ini dari gelapnya penindasan dan cerahnya kemerdekaan, Islam juga menjadi kekuatan internasional. Peran agama Islam sebagai ajaran mayoritas di Indonesia tak lekang oleh waktu, sebagai buktinya Islam turut serta pada setiap fase yang terjadi di Indonesia, mulai dari pra-kolonialisme sampai dengan hari ini.

Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Islam juga ditunjukan dengan banyaknya pergolakan pemikiran serta tipologi gerakan-gerakan yang ada di Indonesia, serta keikutsertaannya yang turut mewarnai dinamika perpolitikan di Indonesia. Eksistensi agama Islam sebagai ajaran mayoritas seharusnya dapat dijadikan peluang untuk menjadikannya pioner utama dalam mewujudkan harmonisasi yang konon katanya didambakan dalam rangka menjaga integritas bangsa dan melindunginya dari aspek negatif keberagaman.

Islam sendiri memiliki konsep elegan yang bahkan filsuf sekelas Bertrand Rusell mengakui konsep ini sebagai doktrin yang spesial, karena tidak dimiliki oleh ajaran-ajaran lain di dunia. Benar saja apabila agama Hindu memiliki konsep keberagaman yang dapat diimplementasikan pengikutnya akan tetapi umat Islam memiliki urgensi yang berlebih untuk menciptakan masyarakat yang rukun dan harmonis berdasarkan realitas sosial sebagai agama mayoritas di Indonesia.

Moderasi Tradisional ala Islam

Konsep ahli kitab merupakan doktrin yang ada dalam agama Islam untuk menghadapi keadaan sosial yang heterogen, sebagaimana keadaan yang terjadi di Indonesia. Keadaan sosial yang heterogen juga pernah dihadapi oleh Rasulullah saat ia berada di kota Madinah (kala itu bernama Yatsrib) yang pada saat itu Rasulullah berusaha untuk bersikap toleran, dikarenakan penduduk asli kota tersebut terdiri atas Nasrani dan juga Yahudi, bahkan sebagian kaum musyrikun. Hal tersebut menunjukan bahwasanya agama Islam merupakan agama yang inklusif lagi toleran.

Konsep ahlul kitab ialah konsep yang memberi pengakuan tertentu terhadap penganut agama yang memiliki kitab suci, yang bukan berarti mengakui kebenaran agama tersebut, akan tetapi memberi hak masing-masing hanya sebatas untuk saling bereksistensi. Para ahli mengakui keunikan konsep ini bahkan Cyril Glasse mengatakan “the fact that one Revelation should name others as authentic is an extraordinary event in the history of religions” kenyataan  bahwa sebuah wahyu Islam mengakui keabsahan wahyu-wahyu lain adalah kejadian luar biasa dalam sejarah agama-agama.

Konsep ini juga menjadi faktor yang amat menentukan bagi kemajuan peradaban Islam, sebagai hasil kosmopolitisme berdasarkan tata masyarakat yang terbuka lagi toleran. Perwujudaan nilai kosmopolit dalam konsep ini terjadi sebagaimana yang dialami oleh tentara Muslim dibawah komando Thariq bin Ziyad saat menaklukan Spanyol pada tahun 711. Pembebasan tersebut (fath) juga mengakhiri kezaliman keagamaan yang sudah berlangsung satu abad lebih.

Kaum Muslimin menjadi poros inklusifitas keagamaan pada masa itu, yang kurang lebih 500 tahun lamanya. Kaum Muslimin menciptakan tatanan sosial yang kosmopolit, inklusif, dan toleran melalui konsep ahlul kitabnya. Semua kelompok beragama khususnya Islam bersama Kristen dan Yahudi, mendukung dan menyertai peradaban yang berkembang dengan gemilang.

Kenyataan sosial di atas menunjukan bahwasanya Islam dengan konsepnya dapat menjadi poros inklusifitas serta menjadi jawaban atas ancama disintegritas bangsa yang disebabkan oleh keadaan sosial yang plural.

Abu Dzar Al Ghifari
Abu Dzar Al Ghifari
Individu yang kebetulan sedang mengenyam pendidikan S1 di Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta, beliau juga memiliki minat terhadap studi agama, filsafat, serta sejarah. Memiliki hobi membaca, menulis, dan berdiskusi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.