Menyambut Ramadan tahun 2023 atau 1444 hijriyah, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengunjungi makam-makam wali songo untuk berziarah. Aktivitas itu dalam bahasa Jawa dikenal dengan tradisi nyadran. Tak sendirian, Ganjar ditemani sang istri, Siti Atikoh.
Ada sebuah pesan menarik saat Ganjar berkunjung ke makam Sunan Drajat di Lamongan. Pesan itu merupakan ajaran Sunan Drajat yang termaktub di dinding cungkup makamnya. Ajaran dengan kalimat sederhana itu memiliki nilai yang penuh makna, serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Tujuh ajaran itu yakni memangun resep tyasing sasoma (selalu membuat senang hati orang lain), jroning suka kudu éling lan waspada (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada), laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan).
Kemudian Mèpèr Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu), Heneng-Hening-Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita-cita luhur), Mulya guna Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu).
Yang terakhir Menehono teken marang wong kang wuto. Menehono mangan marang wong kang luwe. Menehono busono marang wong kang wudo. Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Ajarkan ilmu pada orang yang tidak tahu. Berilah makan kepada orang yang lapar. Berilah baju kepada orang yang tidak punya baju. Serta beri perlindungan orang yang menderita).
Ajaran Sunan Drajat ini sangat mengimplementasikan unggah ungguh orang Jawa yakni nguwongke uwong atau memanusiakan manusia. Jangan tanya bagaimana Sunan Drajat mempraktikkan ajarannya itu, tapi coba tanya apakah kita sebagai generasi penerus bisa mencontoh atau memanifestasikannya.
Siapa saja tak memandang kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, harus memanifestasikan atau mewujudkan ajaran Sunan Drajat tersebut. Apalagi kalau kita seorang pejabat negara. Harusnya dengan segala akses yang dipunya tentu akan mudah mewujudkannya.
Lalu kalau saya gimana? Apakah sudah menerapkan ajaran Sunan Drajat? Wah untuk menjawab itu saya tak begitu yakin. Sebab dengan keterbatasan yang saya miliki, saya tak begitu merasa selalu mewujudkannya. Mungkin kadang iya, kadang juga tidak. Bahkan lebih banyak tidaknya.
Justru apa yang dikatakan Sunan Drajat itu saya melihatnya dalam diri orang lain. Ini hanya pendapat, boleh setuju boleh tidak. Sosok itu adalah Ganjar Pranowo. Saya tak tahu bagaimana dia dahulu, tapi saat menjadi Gubernur Jateng, orientasi Ganjar terlihat untuk nguwongke uwong.
Menurut saya, Ganjar telah berhasil memanifestasikan ajaran Sunan Drajat. Kunjungannya ke makam Sunan Drajat juga jadi bukti betapa dia sangat memegang teguh nilai-nilai yang dibawa pendahulunya.
Salah satu perwujudan Ganjar terhadap ajaran Sunan Drajat yakni memangun resep tyasing sasoma (selalu membuat senang hati orang lain). Seperti magnet, di mana pun Ganjar berada selalu menarik perhatian dan membuat orang lain suka cita menyambutnya. Hal itu berkat kepribadian Ganjar yang bisa berbaur dengan semua jenis orang.
Cara dia berkomunikasi pun mudah diterima dan selalu bisa membuat suasana cair. Komunikasi macam inilah yang membuat hati orang lain senang dengan Ganjar. Makanya Ganjar bernilai plus satu, yang kehadirannya selalu ditunggu dan diharapkan. Ini manifestasi pertama.
Selanjutnya Mèpèr Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu). Menjadi seorang pemimpin daerah atau pejabat, memiliki keistimewaan. Salah satunya sangat terbuka sekali ruang untuk melakukan praktik korupsi dan memperkaya diri. Tapi itu nggak berlaku buat Ganjar.
Gubernur berambut putih ini sejak awal sudah komitmen tak akan korupsi bahkan akan memberantas praktik kotor itu. Slogan mboten korupsi mboten ngapusi menjadi tumpuan utama Ganjar dalam menciptakan pemerintahan yang bersih. Ini merupakan manifestasi dari menekan gelora nafsu yang diajarkan Sunan Drajat.
Meski pernah diterpa isu terlibat dalam korupsi, Ganjar tak gentar. Nyatanya Ganjar berhasil membuktikan jika dia tak bersalah. Ganjar paham jika setiap perjalanan pasti memiliki rintangan. Tapi selama berada di jalan lurus dan benar, semua rintangan akan mudah terlewati.
Ini merupakan manifestasi dari ajaran Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan).
Selain itu, manifestasi lainnya sudah tertuang dalam beberapa program kerja yang digagas Ganjar Pranowo. Terkait ini, saya teringat dengan perkataan KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus. Gus Mus pernah mempopulerkan istilah kesalehan spiritual dan kesalehan sosial.
Kata Gus Mus, seorang ulama itu memiliki kesalehan spiritual, sementara umara memiliki kesalehan sosial. Kesalehan spiritual merujuk pada ibadah hablum minallah seperti salat, puasa, haji. Sementara kesalehan sosial merujuk pada aktivitas memenuhi dan menjaga hablum minannas.
Melansir dari situs NU Online, bahwa Gus Mus bukan bermaksud membenturkan dua jenis kesalehan ini. Karena Islam mengajarkan keduanya. Bahkan lebih hebat lagi, dalam kesalehan spiritual ada aspek kesalehan sosial. Misalnya salat berjamaah, pembayaran zakat, ataupun ibadah puasa, juga merangkum dimensi ritual dan sosial sekaligus.
Maka yang paling disukai atau bisa dibilang terbaik adalah kesalehan total. Tapi tentu itu diupayakan sesuai porsi dan posisi kita. Yang jelas kita harus mengupayakannya, sebab kalau tidak menjalankan keduanya, itu namanya kesalahan bukan kesalehan.
Saya tak tahu bagaimana kesalehan spiritual Ganjar Pranowo. Karena hal itu dapurnya Ganjar. Tapi soal kesalehan sosial, saya kira Ganjar memiliki hal itu yang terwujud dalam program-program kerjanya. Misal diantaranya sekolah gratis SMKN Jateng, Gubernur Mengajar, Kartu Jateng Sejahtera, renovasi RTLH, dan Tuku Lemah Oleh Omah.
Kesalehan sosial Ganjar itu merupakan manifestasi ajaran Sunan Drajat yakni Menehono teken marang wong kang wuto. Menehono mangan marang wong kang luwe. Menehono busono marang wong kang wudo. Menehono ngiyup marang wongkang kodanan. (Ajarkan ilmu pada orang yang tidak tahu. Berilah makan kepada orang yang lapar. Berilah baju kepada orang yang tidak punya baju. Serta beri perlindungan orang yang menderita).
Ganjar dan manifestasi ajaran Sunan Drajat ini bukan sekadar kebetulan belaka. Ganjar yang lahir dari pegunungan Karanganyar Jawa Tengah, memahami betul bagaimana ajaran sang pendahulunya. Ajaran yang tak pernah lekang oleh zaman dan bisa diterima semua kalangan. Ajaran itulah yang menjadikan Ganjar memiliki kesalehan sosial lewat programnya, dan efeknya pun sudah dirasakan masyarakat luas.