Penyebaran Covid-19 semakin hari semakin meningkat, mulai dari jumlah orang yang ternfeksi, sampai jumlah kematian yang dampaknya memengaruhi segala sektor dan mengakibatkan perubahan yang signifikan pada segala aspek kehidupan masyarakat. Berbagai kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah untuk menghentikan penyebaran virus ini, seperti pemberlakuan lockdown, physical distancing, dan penerapan protokol kesehatan di berbagai tempat.
Adanya kebijakan tersebut, tentunya menimbulkan beberapa perubahan. Dapat dilihat pada sebagian besar orang tua yang menjalani working from home (WFH) dan working from office (WHO). Selain itu, pelajar juga menjalani pembelajaran jarak jauh (PJJ), walaupun sebagian kecil sudah ada yang kembali ke pondok pesantren atau sekolah bagi yang berada di zona hijau atau tingkat penyebaran virus Covid-19 tergolong rendah. Namun, tetap mematuhi protokol kesehatan yang berlaku.
Kebijakan pemerintah dalam mengatasi berbagai permasalahan aspek kehidupan masyarakat di masa pandemi ini sangat membantu mengurangi rantai penyebaran virus Covid-19. Tidak hanya pemerintah, tenaga kesehatan pun selalu berjuang dan bahkan rela mengorbankan dirinya sendiri untuk memberikan pertolongan, pengobatan, dan perawatan yang memadai untuk semua pasien yang terkena virus Covid-19.
Kita sebagai masyarakat sudah seharusnya mematuhi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan para ahli tenaga kesehatan. Kebijakan-kebijakan tersebut tidak akan membawa perubahan positif, jika tidak ada kolaborasi yang baik dengan masyarakatnya. Namun, apabila kebijakan tersebut tidak dikelola dengan baik, maka dapat beresiko terhadap kesahatan yang salah satunya dapat memicu stress.
Apa itu stress? Stress adalah proses interaksi yang sifatnya berkelanjutan antara individu dan lingkungannya. Stress terjadi apabila terdapat ketidaksesuaian antara tuntutan yang dihadapi dan kemampuan individu untuk menghadapi tuntutan tersebut (Lazarus & Folkman, 1984; Lovallo, 2005; Trumbull & Appley, 1986; dalam Sarafino, 2008).
Hasil survey yang dilakukan oleh Iskandarsyah dan Yudiana (2020), menunjukan bahwa 78% partisipan merasa cemas dengan penyebaran covid-19 dan 23% merasa tidak bahagia atau dalam kondisi tertekan. Kondisi-kondisi tersebut merupakan hal yang umum di tengah wabah penyakit tidak menentu ini. Perubahan emosi seperti khawatir, cemas dan stress itu hal yang wajar terjadi selama tidak mengganggu kondisi psikologis individu tersebut dan tidak membahayakan orang lain di sekitarnya.
Jika dilihat dari mayoritas stressnya, ruang lingkup stress di masa pandemi Covid-19 sebagai berikut.
1. Stres akademik
Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) berdampak di bidang pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Mereka harus menempuh kegiatan akademiknya secara daring, tentunya hal ini membutuhkan informasi dalam proses belajarnya. Proses pembelajaran seperti ini dirasa lebih melelahkan dan membosankan karena tidak dapat berinteraksi langsung baik dengan guru ataupun teman. Di sisi lain, ada beberapa anak yang kesulitan mengakses internet, bahkan tidak memiliki gadget yang canggih untuk melakukan pembelajaran secara daring sehingga menyebabkan proses pembelajaran menjadi tidak lancar. Jika hal ini berlanjut tanpa diatasi, maka dapat memicu terjadinya stress bagi orang yang mengalaminya.
2. Stres kerja
Stress kerja merupakan tekanan emosional yang dialami seseorang disaat menghadapi tuntutan yang sangat besar, hambatan-hambatan dan adanya kesempatan yang sangat penting yang dapat mempengaruhi emosi, pikiran, dan konsidi fisik seseorang (Warningsih, 2018). Pada masa pandemi ini, mereka dituntut untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan baru dengan kreatif dan inovatif, serta memanfaatkan kecanggihan teknologi saat ini.
3. Stres dalam keluarga
Stres dalam keluarga adalah bentuk akumulasi dari stress akademik pada anak, stress kerja pada orang tua (ayah atau ibu), kemudian bisa juga diperburuk dengan kondisi keluarga yang kurang harmonis. Mungkin dalam real life, stress dalam keluarga ini yang mendapatkan beban terbesar yaitu ibu rumah tangga. Selain harus mengurus pekerjaan rumah, dia juga harus mengambil peran sebagai guru bagi anak-anaknya di masa pandemi ini.
Menurut Lazarus dan Folkman (1984), keadaan stress yang dialami oleh seseorang akan menimbulkan efek yang kurang menguntungkan baik secara psikologis maupun fisiologis. Individu tersebut tidak akan membiarkan efek negatif tersebut terjadi, ia akan berusaha untuk menetralisasi atau mengurangi stress yang terjadi. Usaha ini disebut dengan coping.
Menurut Smet (1994), terdapat dua jenis coping, yaitu fokus pada masalah dan fokus pada emosi. Coping yang berfokus pada masalah, digunakan untuk mengurangi stressor individu, dilakukan untuk mengatasi dan mempelajari cara-cara baru atau keterampilan baru mengatasi stress. Individu akan menggunakan strategi coping ini apabila dirinya yakin dapat mengubah situasi. Sedangkan coping yang berfokus pada emosi, digunakan untuk mengatur respon emosi terhadap stress. Penyatuannya melalui perilaku individu, seperti bagaimana meniadakan fakta-fakta yang tidak menyenangkan tersebut. Strategi ini dipakai jika individu merasa tidak mampu mengubah kondisi yang membuat stress.
Menurut PMI (Palang Merah Indonesia) dalam buku panduan management stress, terdapat lima teknik manajemen stress sebagai berikut.
1. Mengenali diri sendiri, mengetahui kelemahan dan kekuatan diri kita.
2. Peduli dengan diri sendiri dengan penuhi kebutuhan diri yang tampak.
3. Perhatikan keseimbangan mental emosional, intelektual, fisik, spiritual, dan rekreasional.
4. Bersikap proaktif dalam mencegah gangguan stress dengan cara memelihara kelima aspek di atas.
5. Sinergi, proses yang perlu dilakukan untuk bangkit dari keterpurukan dan stress.
Berdasarkan survei Komnas Perempuan (2020), memperlihatkan ada sekitar 10.3% (235) responden melaporkan hubungan dengan pasangannya semakin tegang, dimana mereka yang mempunyai status menikah lebih rentan (12%) daripada yang tidak menikah (2.5%). Hubungan dengan pasangan menjadi lebih tegang sejak pandemi Covid-19 menurut orang yang berumur 31-40 tahun. Hal tersebut juga menjadi pemicu terjadinya KDRT. Tidak sedikit berita yang mengabarkan kasus kekerasan dalam rumah tangga di masa pandemi ini.
Setiap individu memiliki cara mengatasi stress yang berbeda-beda, tergantung pada pusat masalah individu itu sendiri. Strategi yang efektif, yaitu sesuai dengan jenis stress dan situasinya. Oleh karena itu, di masa pandemi ini kita dituntut untuk pandai mengatur strategi dalam mengatasi stres.
Sumber:
Handayani, Nurul Setyawati dan Nur Riani. “Dampak Stress Kerja Pustakawan Pada Masa Pandemi Covid-19 Terhadap Layanan Perpustakaan Perguruan Tinggi.” Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi 15, No.1 (Juni, 2020): 99-103.
Iskandarsyah, A & Yudiana, W (2020). Informasi COVID-19, Perilaku Sehat dan Kondisi Psikologis di Indonesia. Laporan Survei. Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Kajian Dinamika Perubahan di dalam Rumah Tangga Selama Covid 19 di 34 Provinsi di Indonesia. Jakarta: Komnas Perempuan, 2020.
Palang Merah Indonesia (PMI). 2015. “Panduan Manajemen Stress.”