Kematian George Floyd pada 25 Mei 2020 lalu dilihat hanya sebagai tip of the iceberg permasalahan rasisme sistemik yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat sehari-harinya. Penulis menilai kasus rasisme yang terjadi tidak hanya di AS sangat sulit dihilangkan karena bersifat sistemik atau mengakar (systemic racism).
Systemic Racism dan Cultural Appropriation
Dikutip dari usatoday.com, Presiden NAACP, Derrick Johnson mendefinisikan systemic racism sebagai struktur dan sistem yang memiliki prosedur merugikan bagi African-American. Sedangkan Glenn Harris (Presiden dari Race Forward) mendefinisikannya sebagai proses white supremacy yang menyebabkan disparitas atau kesenjangan di sektor kesejahteraan, sistem peradilan, pekerjaan, perumahan, layanan kesehatan, politik, serta pendidikan.
Komunitas kulit hitam (black community) selama ini telah mendapatkan sejumlah perlakuan rasis dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahan rasisme ini juga melibatkan sisi budaya atau kultur dari black community tersebut.
Kultur ini seringkali disalahgunakan oleh orang non-black untuk alasan estetika semata sehingga kerap kali menimbulkan kontroversi cultural appropriation. Dilansir dari medium.com, cultural appropriation adalah kegiatan mengambil kekayaan intelektual, pengetahuan tradisional, ekspresi budaya, atau artefak dari budaya orang lain tanpa izin.
Cultural appropriation ini dapat dilihat ketika orang non-black menggunakan gaya rambut Bantu knots, afro, atau cornrow untuk mendapatkan estetika yang mereka inginkan. Sikap lainnya adalah penggunaan istilah nigger/nigga (n-word) oleh orang non-black kepada orang-orang kulit hitam.
Kata n-word merupakan kata sensitif yang memiliki sisi historis dari penindasan orang kulit hitam sejak masa perbudakan. Kata n-word hanya boleh digunakan antar sesama orang kulit hitam sehingga jika ada orang non-black yang menggunakannya, maka hal tersebut termasuk sikap rasisme dan cultural appropriation.
Ironinya adalah ketika orang kulit hitam menggunakan rambut naturalnya, mereka mendapat cemooh dari masyarakat karena dianggap aneh bahkan tidak professional dalam penampilan di lingkungan pekerjaan. Hal inilah yang membuat mereka seringkali menggunakan rambut palsu/wig untuk menutupi rambut asli mereka. Sedangkan jika influencer yang memakai gaya dari budaya tradisional mereka akan dianggap modern, edgy, serta trendi.
Beberapa hal lainnya yang menjadi sorotan penulis adalah sikap anti-rasis yang performatif. Sikap anti-rasis yang performatif ini diartikan ketika sejumlah pihak mengakui anti terhadap rasisme namun hanya melakukannya disaat yang tepat atau ketika mendapat tekanan. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku menyentuh rambut orang kulit hitam dengan atau tanpa seizinnya karena alasan keindahan, keingintahuan ataupun apresiasi semata.
Black Lives Matter dan Kekerasan Polisi
Black Lives Matter atau BLM sudah ada jauh sebelum kasus kematian George Floyd akibat kekerasan polisi (police brutality). Dilansir dari blacklivesmatter.com, Black Lives Matter hadir sebagai respon atas pembunuhan Trayvon Martin di tahun 2013 yang bertujuan untuk menghapuskan supremasi kulit putih serta membangun kekuatan lokal untuk menumpas kekerasan kepada black community yang dilakukan oleh negara atau oknum lainnya.
Penulis berpendapat bahwa gerakan BLM merupakan suatu gebrakan besar yang didasari atas kekecewaan komunitas kulit hitam akan ketidakadilan sikap yang diterimanya selama bertahun-tahun. Sudah menjadi rahasia umum bahwa adanya kekerasan polisi terhadap komunitas kulit hitam di AS.
Memang, fakta kekerasan oleh institusi kepolisian tidak bisa digeneralisasikan secara garis besar namun terkotak pada ‘oknum’. Namun, penulis menyoroti penumpasan kekerasan kepolisian ini erat kaitannya dengan suburnya rasisme di AS itu sendiri. Hal ini disebabkan karena sikap rasisme itu sudah mengakar kuat atau tertancap dalam sistem sosial masyarakat sehingga sulit dihilangkan. Bahkan, rasisme sudah menyebar ke aspek kehidupan lainnya dalam masyarakat seperti standar kecantikan ataupun pilihan politik seseorang.
Fakta lainnya yang disoroti penulis adalah sikap performatif beberapa oknum akan anti-rasisme. Sikap performatif ini dapat dilihat dalam kasus George Floyd, yaitu ketika brand-brand ternama memposting sejumlah dukungan kepada para demonstran atau black community, namun dalam kegiatan sehari-harinya tidak mencerminkan sikap anti-rasis atau keberagaman (diversity). Hal ini umumnya dilakukan karena tekanan dari publik ataupun demi keuntungan semata agar brandingnya tidak tercoreng.
Menumpas Rasisme
Menumpas rasisme sistemik tidak dapat terjadi dalam satu malam. Menumpas sikap rasis membutuhkan waktu lama dan langkah yang konsisten. Hal ini disebabkan karena sikap rasisme sudah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat hingga merambat ke lembaga vital milik pemerintah. Oleh karena itu, peran aktif menumpas rasisme harus dimulai dari tiap individu.
Ketika berbicara tentang penumpasan rasisme, poin pentingnya terletak pada edukasi dan tekanan kepada pemerintah. Pertama, adanya self-edukasi, edukasi terhadap diri sendiri tentang sejarah penindasan yang diterima oleh komunitas kulit hitam sangat penting untuk memahami sensitivitas permasalahan rasisme.
Edukasi terhadap diri sendiri dapat berupa pemahaman dari sisi historis, budaya, hingga sisi kehidupan sosial dari komunitas kulit hitam itu sendiri agar dapat menentukan kebijaksanaan sikap yang harus diambil.
Kedua, tekanan kepada pemerintah dan lembaga terkait. Masyarakat memegang peran penting dalam menekan pemerintah mengeluarkan regulasi terkait dalam menumpas rasisme, terutama kepada lembaga yang terlibat terutama kepolisian.
Hal itu dapat dilakukan dengan melakukan donasi ke sejumlah organisasi atau LSM terkait serta penandatanganan petisi yang tepat sasaran turut membantu menekan pemerintah untuk terlibat dalam penyelesaian permasalahan ini.
Pada akhirnya, penumpasan rasisme membutuhkan proses yang melibatkan sinergi semua pihak. Selama proses itu berlangsung tentunya perubahan mendasar harus dilakukan pada diri sendiri melalui edukasi