Salah satu tanda orang beriman adalah bergembira menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Bergembira karena apa? Tentu saja, bergembira karena di dalamnya, penuh dengan keutamaan pahala dan kemaafan ilahi.
Mulai dua tahun lalu, setiap kali memasuki pintu Ramadhan, saya diam-diam selalu teringat akan Cak Dlahom.
Cak Dlahom, seorang tokoh sufi dalam buku karya Rusdi Mathari “Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya: Kisah Sufi dari Madura” selalu saya ingat saat bulan puasa tiba, karena ia mengajukan pertanyaan mendasar yang relevan dan seperti mengajak kita—atau mungkin lebih tepat saya—bercermin di hadapan kaca yang paling bening: Benarkah kita merindukan Ramadhan? Betulkah kita sungguh-sungguh bahagia dan gembira menyambut kedatangan tamu agung itu?
Dengan gayanya yang agak sinis namun cerdas, Cak Dlahom, menyentil kesadaran keberagamaan kita yang dianggapnya acapkali dipenuhi kepura-puraan dan kepalsuan. Pura-pura bergembira menyambut Ramadhan.
Pura-pura ikut senang agar dianggap taat dan sholih di mata banyak orang dan lingkungan sekitar. Padahal sejatinya, jauh di dasar hati kita, kita agak berat atau malah sangat berat memasuki Ramadhan. Kita tak sungguh-sungguh bergembira, sebahagia kita menyambut kedatangan kekasih atau teman dekat kita dari tempat yang jauh setelah sekian waktu tak bersua.
Itu terjadi, kata Cak Dlahom, sebab puasa Ramadhan itu sesuatu yang wajib hukumnya bagi umat Islam terutama bagi yang sudah baligh dan tak berhalangan. Dan sesuatu yang diwajibkan, lanjut dia, adalah sesuatu yang biasanya manusia tak suka mengerjakannya. Kalau manusia suka mengerjakannya, untuk apa diwajibkan segala. Jadi, benarkah kita merindukan Ramadhan.
Jika ditimbang sebentar, logika Cak Dlahom benar. Kita, pada dasarnya, kalau tak gengsi mengakui, ya memang begitu: susah untuk sungguh-sungguh bergembira menyambut datangnya Ramadhan Karim. Duh Gusti…
Gembira Belanja
Atau bisa jadi Cak Dlahom tak sepenuhnya benar. Kita nyatanya, benar-benar bergembira menyambut dan memasuki bulan Ramadhan. Tapi, kegembiraan kita nampaknya bukan karena keutamaan Ramadhan sebagai ibadah yang memiliki banyak previlise.
Kegembiraan kita justru terletak pada sesuatu yang lain, sesuatu yang berada di luar substansi Ramadhan itu sendiri. Kegembiraan kita adalah kegembiraan berbelanja. Kegembiraan berbelanja yang saya maksud di sini adalah tren dan gejala meningkatnya konsumtivisme umat dalam dan selama bulan Ramadhan.
Kegembiraan berbelanja ini seringkali didukung oleh media-media yang memang memiliki peran strategis membentuk “imajinasi” bagaimana seharusnya kita menyambut dan mengisi Ramadhan melalui iklan-iklan yang tiba-tiba mendadak sok islami: harus pakai sarung, gamis dan mukenah ini, harus berbuka dan sahur makanan dan minuman yang halal ini, harus berkumur-kumur pakai produk ini, harus dan harus bla…bla…
Bukan rahasia umum lagi. Jika dalam Ramadhan, kita bukannya belajar menahan diri. Tapi malah justru semakin konsumtif, boros dan gila belanja. Kita semakin impulsif dalam berbelanja. Tanggul pertahanan kita dalam berbelanja di bulan Ramadhan seperti jebol tak karuan. Banjir hasrat berbelanja menggenangi “pasar”.
Seorang pakar perencana keuangan, yang saya baca di media, bahkan memberikan gambaran bahwa di bulan puasa tahun ini, masyarakat terutama di kalangan kelas menengahnya, perlu mengeluarkan uang belanja tambahan sekitar 1 sampai 4 jutaan.
Jika dalam sehari-hari di luar Ramadhan berlaku adagium: I shop, therefore I am—saya berbelanja, maka saya ada. Maka, di bulan Ramadhan, sepertinya tak berlebihan jika berlaku adagium: I shop more, therefore I am. Begitulah, kita meraih kegembiraan dari Ramadhan dengan semakin banyak berbelanja.
Lihatlah, kalau masih tak percaya. Hari-hari dan malam-malam pertama Ramadhan seperti saat ini, mesjid-mesjid penuh sesak. Tapi lama-lama, seminggu dua minggu ke depan, mesjid yang tadinya sesak mulai semakin berkurang dan terus berkurang karena kita pindah ke mall-mall, ke toko-toko butik. Melakukan ibadah yang lain, menemukan kegembiraan yang lain: ya kegembiraan berbelanja itu.
Jika Buya Hamka dalam “tafsir kebahagiannya” dengan mengutip Ibn Khaldun kira-kira menulis: “Kebahagiaan itu bersumber dari ketaatan”. Bagi kita, kebahagiaan itu bersumber dari berbelanja. Apalagi jika kebetulan banyak diskon besar-besaran yang ditawarkan seperti halnya di saat Ramadhan. Wajar jika sempat muncul guyonan khas bulan Ramadhan: banyak orang memburu “lailatul diskon” , bukan “lailatul qadar”. Tidak apa-apa tidak menemukan “lailatul qadar”, yang penting mendapatkan “lailatul diskon”.
Puasa Kelas Tiga
Tentu saja, dari sudut pandang fiqih, berbelanja berlebihan dan konsumtivisme di bulan Ramadahan memang tidak akan membatalkan puasa. Apalagi jika konsumtivisme itu dilihat dari sudut pandang yang khusnudzon dan positif: banyak belanja karena untuk berbagi pada orang-orang lain yang tidak mampu. Atau, ini menunjukkan tingkat daya beli umat yang semakin baik.
Tapi, Al-Ghazali dalam magnum opusnya “Ihya Ulumuddin” mengklasifikasikan orang berpuasa itu menjadi tiga tingkatan.
Pertama, puasa umum. Puasa umum ini menurutnya adalah menahan perut dan kemaluan dari memenuhi syahwat. Ini adalah puasanya orang kebanyakan. Kedua, puasa khusus. Jenis puasa kedua ini menurut Al-Ghazali, tidak hanya cukup menahan perut dan kemaluan saja. Lebih dari itu, puasa jenis kedua ini mencegah pendengaran, lisan, mata, tangan dan kaki serta anggota tubuh lainnya dari dosa.
Sedang yang terakhir, puasa khusus dari yang khusus. Jenis yang terakhir ini merupakan puasa yang tertinggi. Puasa yang terakhir ini, menurutnya, adalah menahan atau melumpuhkan hati dari kemauan-kemauan yang rendah dan pikiran duniawi.
Pengklasifikasian puasa oleh Imam Ghazali tersebut mengindikasikan bahwa dalam “kerangka menahan” yang harus dilakukan oleh orang puasa itu begitu kompleks. Bisa jadi, konsumtivisme seperti dijelaskan di atas, dapat merusak makna dan hakikat puasa dalam pengertiannya yang paling tertinggi.
Kecuali, kita berpuas diri menjadi sho’im, orang yang berpuasa, di tingkat yang pertama saja. Tapi, masak selama berkali-kali dan bertahun-tahun bertemu Ramadhan, kita masih terus-terusan berada di tingkat pertama. Kapan mau naik kelasnya? ***