Jumat, April 19, 2024

Mahasiswa, Nalar Kritis, dan Kemandirian

Muhammad Aqib Kh
Muhammad Aqib Kh
Mahasiswa UNU Yogyakarta, tuan rumah sabdadiksi.my.id.

“Mahasiswa” adalah istilah bagi orang yang belajar di perguruan tinggi. Secara etimologi, “maha” berarti sangat, teramat. Kata “maha” adalah kata yang harus terikat pada sesuatu yang disandari. Maka, sesuatu yang disandarkan pada “maha” akan menjadi teramat atau puncak, seperti mahasantri, mahaguru, yang berarti mereka telah mencapai titik pencapaian dalam memaknai santri dan guru secara matang dan komperehensif.

Jadi, “mahasiswa” bermakna murid paripurna, murid yang benar-benar telah meresapi makna murid dan mengimplementasikannya menjadi ucapan dan tindakan. Mahasiswa yang belum mencerminkan seorang murid apakah pantas disebut “mahasiswa”?

Tentu saja tidak masalah secara penamaan. Akan tetapi secara esensi, mereka belum dapat dikategorikan mahasiswa. Sebab, budaya, ciri, dan dalil mahasiswa adalah nalar kritis dan kompeten dalam intelektual, baik dengan diskusi isu-isu aktual, kebijakan, maupun keadilan kesetaraan.

Pak Faisal Indra, guru saya, menceritakan bahwa dulu saat beliau kuliah (saya tidak menyebutkan nama universitasnya) ada banyak sekali forum diskusi terbuka teman-teman mahasiswa yang digelar di sudut-sudut kota Yogyakarta. Namun, seiring berjalannya waktu, intelektualitas para mahasiswa semakin kemput dan menurun. Apalagi semenjak merebaknya globalisasi teknologi, spirit mahasiswa dalam meggelar diskusi kian menurun.

Kecanggihan teknologi tidak hanya berdampak pada intelektual mahasiswa, tetapi juga pada rasa malas berkepanjangan karena semua bisa dilakukan secara instan. Salah satu contoh, bagi mahasiswa yang malas mengerjakan tugas, mereka bisa meminta bantuan siapa saja. Dan betapa anehnya mereka yang meninggalkan tugas untuk suatu yang kadang tidak penting.

Generasi berlanjut. Setelah Pak Faisal lulus, ia menyampaikan bahwa mahasiswa agaknya melandai dalam hal intelektual. Diskusi-diskusi yang memantik nalar kritis mahasiswa mulai jarang dijumpai. Apalagi di beberapa kota – saya tak sebutkan namanya – mahasiswa tak ubahnya siswa yang kadang tak tahu arah orientasinya. Banyak sekali mahasiswa disorientasi lalu terbengkalai. Sebab itu pula, banyak sekali kasus-kasus sarjana yang nganggur dan kesulitan mencari pekerjaan.

Besar kemungkinan hal ini dipengaruh oleh kurangnya nalar berpikir kritis dalam berbagai persoalan. Padahal, bila kita kaji kembali tentang makna mahasiswa, baik secara histori maupun realita, maka kita akan menemukan bahwa mahasiswa adalah “agent of change”, yaitu pembawa perubahan, baik dalam skala komunitas maupun negara. Penyebutan mahasiswa sebagai “agent of change” pastinya juga didasarkan pada sejarah perjuangan para mahasiswa di era orde baru yang memperjuangkan adanya keadilan. Uniknya, kata Pak Faisal, mahasiswa tempoe doloe mempersiapkan secara matang dan mendalami tentang apa yang akan ditolak dengan pertimbangan yang matang pula.

Tak jarang kita jumpai, orang-orang besar dengan pemikiran yang out of the book dan tidak biasa yang ada di Indonesia adalah mantan aktivis pergerakan pada masa kuliahnya dulu. Orang yang punya nalar kita akan mencari problem solving (pemecaan masalah) dari segala hal yang bersifat membelenggu kebebasannya.

Salah satu contoh, ketika seorang pemikir sedang menghadapi keadaan krisis pangan dan finansial, pemecahan masalah dalam menghasilkan uang dan pangan akan berbeda dengan orang dengan ikut-ikutan.Tugas kita sebagai mahasiswa inilah yang harusnya kita gali untuk memberantas kemiskinan di Indonesia. Sebab, untuk mengubah hal besar bukankah harus diawali dari hal yang paling kecil, bukan? Sebagaimana adagium bahwa seribu langkah juga diawali dari satu langkah, memberantas kemiskinan pun bisa kita mulai dari nalar kritis yang seperti itu. Start from every one.

Nalar kritis dibangun dari kepekaan seorang dalam menyikapi isu-isu aktual. Dalam bahasanya disebut “refleksi”. John Dewey[1] mendefiniskan: “Reflective thinking is an active, persistent, and careful consideration of any belief or supposed form of knowledge in the light of the grounds that support it, and the further conclusions to which it ends.”

(Berpikir reflektif merupakan kemampuan seseorang dalam mempertimbangkan sesuatu secara aktif, gigih, dan hati-hati dari setiap pengetahuan yang tepat, jelas, dapat mendukungnya menuju orientasi akhir). Bila seorang dapat berpikir kritis, maka ia akan terbiasa menganalisis, mengobservasi, mengevaluasi, dan merefleksikannya sehingga dapat membuat keputusan secara matang dan tepat.

Korelasi Antara Nalar Kritis dan Kemandirian 

Kekuatan manusia berada pada akalnya, pada pemikirannya. Nalar kritis dalam menanggung segala sesuatu harus dilatih sejak dari usia kecil. Sebab, orang yang tidak punya kepekaan dalam menyikapi sesuatu akan cenderung manut dan lemah dalam menyelesaikan masalah.

Hal itu selaras dengan adagium familier: “The power of kepepet.” (kekuatan terdesak). Kadang, seorang perlu terdesak untuk menyiptakan ide-ide besar, Namun, penyelesaian seorang yang sudah terlatih bernalar kritis dalam keadaan terdesak akan berbeda dengan orang yang tidak memiliki kemampuan bernalar kritis.

Diperlukan akal sehat dan mental berani dalam menentukan pilihan untuk mengubah kemandirian seseorang. Oleh sebab itu, Peiper mengatakan: “Mental adalah kekuatan seseorang dalam menentukan pilihan bertindak dan menentukan pilihan.”

Sedangkan nalar kritis mempunyai kaitan yang erat dengan kesehatan mental seorang. Orang dengan mental tidak sehat akan sulit mempunyai gagasan, ide, yang kritis. Faktor kesehatan mental yang fundamental dari seseorang dapat dipengaruhi oleh usia.

Masa remaja adalah masa dimana seorang mencapai titik paripurna untuk membentuk nalar yang kritis. Bila ditilik, mayoritas nalar kritis terbentuk sebab bacaan, diskusi. Dan budaya itu adalah budaya mahasiswa. Saya tidak menyudutkan selain mahasiswa dan memukul rata mereka sebagai orang yang tidak kritis. Toh, banyak juga selain mahasiswa yang memiliki nalar kritis melebihi mahasiswa.

Dari nalar kritis itulah, seorang mahasiswa akan menjadi pribadi yang mandiri. Betapa banyak mahasiswa yang tidak punya prinsip dalam hidup? Sebab itu, seorang mahasiswa hendaknya kembali pada fitrahnya sebagai seorang warga negara yang mampu menjadi agent of change (pembawa perubahan) untuk mencapai sebuah tatanan dan sistem negara yang dinamis.

Sumber:

[1] Bauer, Norman J. “Dewey and Schon: An Analysis of Reflective Thinking.” (1991).

 

 

 

Muhammad Aqib Kh
Muhammad Aqib Kh
Mahasiswa UNU Yogyakarta, tuan rumah sabdadiksi.my.id.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.