Minggu, November 24, 2024

Mahasiswa Dibutakan Doktrin Aktivisme Semu?

Guntur Alam
Guntur Alam
Saat ini masih menjadi mahasiswa di salah satu kampus Islam swasta. Masih mengemban semesteran dengan berusaha tekun dalam melihat ilmu sebagai subjek (hidup) dan objek yang relatif tapi benar.
- Advertisement -

Aktivisme di satu sisi merupakan “alat” yang bisa digunakan oleh sekelompok orang untuk melakukan reformasi atau perbaikan ke arah baru dan mengganti gagasan lama yang telah usang atau kadaluwarsa. Tetapi terkadang juga bisa dijadikan sebuah tunggangan politik-aktif serta kendaraan untuk mewujudkan sebuah kepentingan tertentu (hidden agenda).

Subjek yang saya bahas ialah mahasiswa kiwari (milenial). Mereka terkadang tak dapat membedakan antara fungsi dirinya sebagai pembelajar ilmu dan sebagai aktivis perubahan (agent of change).

Fanatisme yang terkadung-buta membuat dirinya seakan tak mengerti prioritas, tak paham fungsi utamanya untuk menikmati pengetahuan ilmu, melalui bentuk diskusi dan saling tukar pandangan (diskursus).

Diskursus yang dimaksud ialah belajar untuk beradu gagasan, saling-dialektika, dan bertukar ide di kelas. Tak melulu mencari pembenaran kritis yang biasanya tak rasional bahkan, dan tidak mengandung bukti empirisme yang kuat serta bersifat ilmiah yang mapan dalam melihat kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah atau otoritas setempat hingga berujung pada tindakan anarkisme-buta dan semu, karna tak juga punya dampak nyata yang signifikan.

Berupa perusakan fasilitas publik yang hakikatnya diperuntukkan bagi masyarakat sekitar yang berkebutuhan, bisa sampai mematikan segi moral-etis mahasiswa itu sendiri dalam memandang kebangsaan dan sosio-kultural masyarakat Indonesia.

Tindakan anarkisme selalu berdampak pada perusakan yang berakibat kepada kerugian sebuah institusi ekonomi atau sosial setempat. Dampak yang sangat terlihat ialah dari segi ekonominya, pengurangan nilai suatu benda atau barang yang dimana terhasilkan dari pungutan pajak masyarakat jua dan meruntuhkan kepercayaan publik akan mahasiswa terhadap persepsi baik dan positif yang sudah tertanam dalam pandangan kehidupan masyarakat selama ini.

Doktrin atau ajaran dari sebuah entitas organisasi kemahasiswaan tertentu selalu dijadikan ‘kambing-hitam’ dalam menerobos segala macam penolakan terhadap gagasan-gagasan (doktrin) tersebut, sebuah ironi justru.

Ajaran yang dimana seharusnya dijadikan pedoman dalam bertindak dan berbuat malah dijadikan alat untuk mencapai kepentingan tertentu yang terselebung, tak transparan atau memang hanya sebuah fanatisme-buta. Fanatisme yang dilandasi arogansi pribadi dan egosentrisme yang selalu ingin menang sendiri dan ingin terlihat superior merupakan ‘jenis’ pasti dari watak senioritas-kampus.

Seakan-akan ia adalah pembawa panji kebenaran dari sebuah ide subjektivisme-relatif seseorang (tokoh). Padahal mahasiswa sendiri ialah manusia bebas, mempunyai free will dan tidak selalu terjebak oleh determinisme hidup orang lain. Dan hakikinya tak bisa di sama-ratakan harus berpihak atau tendensius dengan satu golongan aktivisme tertentu.

Kita seakan lupa akan filosofi pendidikan yang jelas-jelas tercantum dalam alinea keempat dalam ‘UUD 1945’ bangsa Indonesia, iaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa, maupun berbangsa dan bersosial” yang dimana itu adalah kewajiban warga-masyarakat mahasiswa khususnya, sebagai pelajar dan pembelajar.

- Advertisement -

Itulah prioritasnya, demonstrasi boleh dan itu adalah suatu keniscayaan dalam sistem demokrasi yang sedang tumbuh subur-suburnya sekarang ini. Tapi jangan juga melupakan hakikat berbangsa itu sendiri, menghargai perbedaan dan tidak memaksakan paham-paham tertentu atau indoktrinasi yang hanya terbatas dari sudut pandang orang tertentu yang terkesan sangat picik dalam memahaminya, maupun mencernanya.

Saya ingin mengutip dari seorang Mohammad Hatta, founding father kita bersama. Ia mengatakan bahwa “Demokrasi harus disertai tanggung jawab, dan demokrasi yang kebablasan hingga menimbulkan kemunculan anarkisme maka akan menemui ajalnya dan akan diambil alih oleh kediktatoran” (Demokrasi Kita, 1960).

Demonstrasi idealnya harus memiliki tujuan dan alasan yang kuat, tidak dengan alasan-tuju yang berangkat dari sentimen, yang timbul dari sebuah doktrin atau paham tertentu. Jika berangkat dari sentimen golongan atau kubu tertentu, tidak mempunyai landasan yang kuat maka itu tidak lebih dari kemunafikan (hipokrisi) mahasiswa yang takadekuat disebut sebagai Mahasiswa.

Guntur Alam
Guntur Alam
Saat ini masih menjadi mahasiswa di salah satu kampus Islam swasta. Masih mengemban semesteran dengan berusaha tekun dalam melihat ilmu sebagai subjek (hidup) dan objek yang relatif tapi benar.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.