Sabtu, April 20, 2024

Mahasiswa dan Mitos 20 Tahun Reformasi

Doel Rohim
Doel Rohim
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, pernah menjadi Pemimpin Umum LPM Arena UIN Sunan Kalijaga.

Saat reformasi pecah yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 saya masih berumur 2 tahun 5 bulan. Bisa dibayangkan begitu imutnya saya waktu itu.

Hari-hari ini kita sedang memperingati 20 tahun reformasi. Sebuah peristiwa yang tidak bisa dilupakan oleh generasi di atas saya. Dari beberapa literatur yang saya baca peristiwa tersebut begitu mencekam dan menegangkan, tapi sampai sekarang, jujur saya masih mencari-cari bagaimana saya bisa memaknai peristiwa tersebut sebagai orang yang tidak pernah ada saat kejadian itu berlangsung.

Kadang ketika saya mendengar cerita dari beberapa senior terkait heroisme perlawanan masa Orde Baru terselip dipkiran saya “Segitunya banget sih, apakah benar, mungkin mereka membesar-besarkan peristiwa tersebut?” Ternyata saya pikir bukan saya sendiri sempat berfikir seperti itu.

Apa lagi ketika yang menceritakan peristiwa krisis 98 adalah aktivis yang sampai hari ini belum bisa move on, begitu menyebalkan mendengar cerita yang selalu di ulang-ulang disetiap acara tersebut. Pikiran seperti itu bisa jadi sangat wajar ketika menimpa saya, karena sekali lagi saya tidak hadir dan tidak merasakan bau krisis yang katanya menghancurkan ekonomi Indonesia saat itu.

Sebenarnya peristiwa yang saya ketahui terkait agenda reformasi tidaklah banyak, dan saya baru sedikit mencari tahu sepenting apasih peristiwa yang menelan banyak korban para aktivis itu semenjak kuliah. Waktu SMA saya masih inget betul mata pelajaran Kewarganagaraan (PKN) cuma ngasih pemahaman bahwa pada tanggal 21 Mei persiden Soeharto lengser dari jabatanya, dan sama sekali tidak dikasih tahu ternyata ada rentetan peristiwa sebelumnya  menelan banyak korban.

Dari hal di atas sebenarnya sangat wajar ketika banyak dari generasi saya acuh tak acuh dengan peristiwa yang dianggab penting dalam sejarah perubahan di Indonesia itu. Dalam tulisan ini saya hanya ingin sedikit menguraikan bagaimana bimbangnya saya ketika merespon 20 tahun reformasi seperti sekarang ini.

Ketika saya mengatakan bahwa peristiwa itu hanya sejarah masa silam yang hanya meninggalkan jejak korban yang sampai hari ini masih belum bisa ditemukan, pasti saya dianggab sebagai generasi yang tidak mau belajar dengan sejarah bangsanya. Namun, sekali lagi relevansinya apa,  kita hari ini sebagai generasi yang tidak terlibat langsung di peristiwa tersebut membicarakan hal itu.

Cerita  terkait peristiwa penculikan, massa aksi tumpah ruah di jalanan, represi tentara yang sampai meregangkan nyawa, selalu ada ketika mengenang reformasi 98. Bahkan cerita mengenai 98 sampai hari ini bagi saya menjadi mitos dikalangan mahasiswa  yang bergerak di garis perjuangan sebagai aktivis. Mereka yang ngaktipis itu sih, sering ngomong  bahwa jangan percaya sama senior, karna generasi kita punya sejarahnya sendiri.

Namun, dari prilaku mereka tak jauh dari apa yang dilakukan oleh para aktivis 90an, mulai dari style pakaian dengan celana sobek-sobek, rambut yang gondrong, jarang mandi masih mereka lakukan dengan kebanggaan. Kalau hal itu sih masih bisa di maklumilah, tapi kalo masuk ke dalam bentuk dan pola gerakan yang dilakukan masih seperti yang dulu, itu yang bagi saya sudah termakan mitos sampai ke alam bawah sadar.

Hal itu juga yang menurut saya memetikan imajnasi gerakan mahasiswa hari ini, mitos terkait gerakan 98 yang berhasil menumbangkan rezim Soeharto secara tidak langsung selalau direproduksi terus menerus di kantong-kantong gerakan. Sehingga mengakibatkan imajinasi gerakan yang muncul hari ini masih tidak bisa lepas dari bentuk pola gerakan tahun 90-an.

Misalnya aksi jalanan, live in, yang masih dilakukan oleh beberapa  gerakan walaupun sudah jarang dilakukan. Penyesuaian konteks mestinya menjadi bahan pembacaan bagi gerakan hari ini, walaupun persoalan hari ini semakin tidak mudah untuk dipecahkan.

Padahal konteks hari ini sudah sangat jauh berbeda  dengan periode 90-an. Tidak ada rezim otoriter yang berkuasa lagi mengakibatkan tidak ada musuh bersama. Kondisi  yang seperti ini, secara kasap mata kondisinya terlihat lebih baik walaupun di dalamnya menyimpan bara persoalan.

Negara sudah dipimpin oleh tokoh sipil yang sebagaian besar rakyat mencintainya, kemajuan sudah mesti ada, kebebasan bisa kita rasakan, terus bagaimana mahasiswa hari ini menyikapinya?

Saya harus akui bahwa kondisi mahasiswa hari ini sedang mengalami kemerosotan atau degradasi moral dan intelektual yang begitu parah. Namun, bukan lantas mahasiswa hari ini tidak memiliki potensi yang bisa dibanggakan, tetapi secara idealisme hari ini mahasiswa di ombang ambingkan oleh banyak kepentingan.

Saya sendiri sebenarnya belum layak disebut mahasiswa kalau ukuranya mahasiswa tahun 98an. Sebagai mahasiswa saya terlampau manja, mau jadi aktivis hanya mentok baca buku pergerakan yang saya suka, beberapa kali ikut aksi jalanan itupun momentuman hari-hari tertentu, apalagi mengkonsolidasi gerakan yang sampai membuahkan hasil yang maksimal bagi bangsa dan negara, paling bagus di tataran kampus itu saja masih sering dibohongi oleh rektorat. Sudahlah intinya kita memang  gak sebanding dengan generasi mahasiswa diatas 98nan.

Kondisi sosial politik yang jauh berbeda menurut saya sangat mempengaruhi kenapa hal itu bisa terjadi. Kalau dulu menjadi aktivis adalah kebanggaan yang luar biasa ia bisa dianggab sebagai dewa kalau masuk kelas, ketika membicarakan tentang rakjat semua lawan bicara pasti terdiam, begitu cerita senior yang menyebalkan itu. Tapi bisa dibandingkan hari ini, jadi aktivis adalah aib tersendiri ketika berada di dalam kelas, apalagi ketika masih mengunakan gaya 98, saya yakin se-isi kelas beserta dosennya tidak lagi simpatik  tapi malah sama-sama menghujat si aktivis tersebut.

Maka jangan salahkan ketika hari ini jumlah mahasiswa yang berlabel aktivis dikampus semakin hari semakin berkurang. Kalaupun ada banyak dari mereka tidak lagi bergerak karna idealisme atas kebenaran yang mereka yakini, tetapi bergerak karna dilatarbelakangi oleh kepentingan politik identitas dan patron sama kepentingan partai tertentu. Dampaknya apa, sekarang aktivis menjadi kelas marjinal di kampus sendiri dan mereka menjadi terasing dari kondisi mitologi idealisme yang mereka dapatkan dari para seniornya.

Bagi saya sendiri mengenang 20 reformasi tidak lain hanyalah mitos yang selalu dipaksakan kedalam nalar berfikir generasi saat ini. Kita di suruh memahami suatu kondisi yang sebenarnya tidak pernah kita alami dan kita pahami. Beberapa contoh diatas terkait kondisi leterasi sejarah kita yang diajarkan di bangku sekolahan kita mengenai reformasi masih sangat normatif, hal itu sedikit banyak membuat pemahaman generasi hari ini terkait agenda reformasi tak ubahnya seperti seremonial pergantian seorang pemimpin negara yang biasa saja.

Terakhir, sebagai mahasiswa hari in tidaklah mudah dengan segala persoalan yang melingkupinya, apa lagi ketika hari ini dibandingkan dengan mahasiswa di masa orde baru jauh sangat berbeda. Memontem 20 tahun reformasi sendiri adalah peristiwa berharga bagi bangsa Indoensia yang bergulir hingga saat ini, tapi janganlah paksa kita generasi hari ini untuk dapat memahaminya sebagaimana generasi saat itu membagakannya.

Doel Rohim
Doel Rohim
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, pernah menjadi Pemimpin Umum LPM Arena UIN Sunan Kalijaga.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.