Jumat, April 19, 2024

Mahasiswa, Antara Membaca dan Karaoke

Rizka Nur Laily Muallifa
Rizka Nur Laily Muallifa
Reporter media daring dan penulis lepas. Mengelola Podcast Jangan Nyasar

Solo Membaca, tajuk acara yang keterlaluan tidak tahu menakar diri itu sudah sejak lama kisruh. Bahkan di internal Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kentingan UNS sendiri. Kepengen ambisius mengusung isu seputar buku dan lebih-lebih literasi kok ya sepi peminat.

Walhasil, diskusi internal bertahun-tahun itu macet pada kebuntuan. Lalu tujuan utama digelarnya Solo Membaca ialah ajang pencarian dana usaha. Tiap tahunnya, panitia pontang-panting menyusun rangkaian acara yang dimaksudkan dapat menarik lebih banyak massa.

Perkara voucher karaoke yang didapatkan Arvig Budiatus Sholikhah (Forum Mahasiswa Tribun Jateng edisi Kamis 3 Mei 2018) ialah perkara eksistensi acara. Tiga tahun menjadi panitia Solo Membaca membuat saya agak paham betapa peroleh voucher diskon buku itu susah bin njelimet.

Sejauh ini, Solo Membaca cuma peroleh voucher diskon buku dari salah satu toko buku besar di Solo. Voucher yang tak seberapa jumlahnya itu diputuskan untuk dibagi kepada para panitia di akhir acara. Itung-itung sebagai bayaran atas peluh angkat-angkut meja, papan sketsel pameran, mendata buku sampai jelang dini hari sepekan penuh, belum lagi pabila ada buku-buku yang ndilalah ketlingsut.

Mengenai tema Solo Membaca tahun ini saya sendiri bersyukur. Kendatipun “Mata Kata” terbaca olehku agak dipaksakan sok puitis, toh saya sendiri menghargai maksud para panitia yang kelewat mulia: mata kita bisa membaca apa saja. Memang terlalu eksklusif jika membaca cuma mau dikaitkan dengan keberadaan buku fisik. Mata Kata agak berhasil mengusung idiom membaca menjadi lebih inklusif.

Musabab panitia mengalami sendiri proses membaca yang demikian, mereka jadi belajar mafhum. Acara bazar buku betapapun besarnya, terutama apabila digelar di lingkungan kampus UNS tetap akan tak seramai yang dibayangkan di awal. Generasi mahasiswa kini bukan lagi generasi kutu buku, atawa bahkan memang tidak pernah punya sejarah kutu buku?

Generasi mahasiswa kini didominasi oleh kegandrungan akan hal ihwal digital. Maka tak bisa dimungkiri apabila panitia terus membenahi desain interior selama Solo Membaca berlangsung, termasuk hal ihwal lain seperti menyedikan voucher karaoke, membikin stiker dengan kata-kata ajimat meski tanpa pencantuman judul buku dan tahun terbitnya. Hal-hal demikian toh nyata lebih dekat dengan keseharian mahasiswa. Ya apa tidak?

Melulu Karaoke

Sejak berstatus sebagai mahasiswa baru, saya menolak tergoda bujuk rayu kawan-kawan untuk berkaraoke. Tak peduli betapapun dekat saya dengan kawan-kawan saya itu. Sesekali saya menyediakan diri diajak pergi menonton film ke bioskop, kendatipun film yang kami tonton tak menarik minat saya.

Setidaknya, menonton film ialah simbol keberimbangan dalam pertemanan. Kawan saya senang sebab menonton film yang diinginkan, saya senang bisa peroleh bahan tulisan. Entah bersifat reflektif atawa sok-sokan mewujud jadi pengamat film amateur.

Sejatinya saya paham bahwa karaoke ialah ajang pelepas ngilu otot-otot otak oleh ragam tuntutan akademis maupun laju kehidupan lain yang serba gegas. Di ruang sepetak yang sepoi-sepoi itu, semua peserta karaoke mendadak jadi biduan yang berhasil lupa pada segala pelik hidup sebagai mahasiswa. Karaoke berhasil membikin kehidupan mahasiswa baik-baik saja, cukup dalam hitungan jam. Ajaib.

Rumah-rumah penyedia jasa karaoke tak pernah abstain mendukung Solo Membaca dengan pemberian banyak voucher. Mereka mafhum, voucher karaoke disukai kalangan mahasiswa. Lebih dari mahasiswa menyukai buku-buku. Dus, juga tak merugikan mereka. Berkat sponsor dalam bentuk voucher, rumah-rumah karaoke selalu berhasil mengorbitkan acara semacam Solo Membaca, pun sebaliknya. Mahasiswa lebih gemar membaca lirik-lirik lagu di layar digital di ruang karaoke, dibanding membaca buku di sudut kamar. Ngaku sajalah.

Derita Pembaca

Sama seperti yang dikatakan Eka Kurniawan dalam sesi wawancara dengan tim Movi (Mojok Video) beberapa waktu silam, kiranya bukan cuma menulis, membaca juga luka. Perih. Arvig barangkali mengalami sendiri kepiluan menjadi pembaca buku dalam menghadapi kenyataan-kenyataan hidup. Solo Membaca toh dengan namanya yang keterlaluan berani itu gagal memuaskan hasrat Arvig sebagai diri pembaca. Padahal kata Arvig, acara sejenis Solo Membaca itu jarang ia temui di kampus. Dia jelas-jelas menderita mendapati kenyataan begitu itu.

Mustinya Arvig lekas insaf. Tak usahlah terlalu berharap banyak pada agenda-agenda sok literer yang digelar mahasiswa di kampus. Sebab keluarannya hampir bisa dipastikan selalu tak begitu jelas. Melulu terjebak pada dualisme ideal. Mau idealis dengan literasi atawa idealis mengimani motif ekonomi praksis? Jatuhnya kerap wagu. Menjadi pertengahan mereka jelas gagal.

Bolehlah, sesekali Arvig mengamati gerak komunitas-komunitas yang sejak lahir jelas idealis pada visinya akan hal ihwal literasi dan katakanlah seni budaya. Kalau mau puas membaca dan menulis esai bisa main-main ke Bilik Literasi, mau belajar sastra bisa turut di acara-acara Komunitas Sastra Pawon, mau kenyang oleh ragam diskusi bisa hadir di Rumah Banjarsari.

Mau belajar seni tinggal ngegas motor ke Ruang Atas Art Space, juga Bentara Budaya Balai Soedjatmoko. Belakangan, ada sekelompok muda-mudi dari beragam latar belakang yang bermaksud belajar apa saja mendeklarasikan diri sebagai Seodjatmoko Moeda atawa Bentara Muda Solo. Siapa tahu sebagai pembaca, Arvig gagal kecewa. Tsah!

Rizka Nur Laily Muallifa
Rizka Nur Laily Muallifa
Reporter media daring dan penulis lepas. Mengelola Podcast Jangan Nyasar
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.