Sabtu, April 20, 2024

Mahar Politik Bukan Mahar Kawin

Mudzakki Mabrur
Mudzakki Mabrur
Mahasiswa asal Banjarnegara, aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Web : wacanbuku.com

Hubungan seorang calon dengan partai atau pimpinan partai dianalogikan dengan hubungan antara pengantin lelaki dengan perempuan yang baru bisa melangsungkan pernikahan apabila memberikan mahar atau mas kawin. Adanya mahar politik yang nilainya fantastis dipatok oleh partai politik kepada calon yang akan diusung belakangan ini ramai diperbincangkan.

Praktik korupsi politik justru bermuara dari hal yang seperti itu, sebab ketika terpilih dan berkuasa maka dia akan melakukan upaya untuk membalikkan modal besar yang sudah ia keluarkan.

Sekilas tentang Mahar 

Ditengarai adanya mahar politik menjadi adat yang harus dijalankan. Mahar ini menjadi praktik “jual beli” dukungan antara calon dengan parpol. Mahar yang semula terkait agama (Islam) kian populer dalam wacana dan praktik politik masa demokrasi pasca-orde baru.

Dalam konteks perkawinan antara lelaki dan prempuan. Bagi laki-laki dikenai kewajiban membayar mahar. Mahar adalah hak atas kekayaan atau sesuatu yang bernilai bagi perempuan, yang diwajibkan kepada laki-laki karena akad nikah.

Kata mahar berasal dari bahasa Arab yaitu al-Mahr, jamaknya Muhur dan muhurah. Sedangkan menurut bahasa, kata al-mahr bermakna al-Sadaaq yang dalam bahasa Indonesia diartikan dengan “maskawin”, yaitu pemberian segala sesuatu kepada seseorang perempuan yang akan dijadikan istri.

Jika melihat makna mahar dalam konteks sebagai pemberian guna menjadi anggota partai, maka kini maknanya sudah bergeser luas. Mahar tak lagi bermakna sebatas dalam kontek pemberian calon pengantin lelaki kepada pasangannya, tetapi juga bisa sebagai pemberian atau berupa sogokan dan seterusnya untuk mendapat restu/dukungan.

Fenomena mahar politik ataupun sejenisnya seperti money politic bukan hal baru dalam perjalanan demokrasi bangsa ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap kandidat atau calon baik kader internal parpol maupun non kader yang potensial harus membayar sejumlah uang atau mahar untuk mendapatkan tumpangan.

Di dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 mahar politik ini secara implisit sebetulnya masuk ke dalam kategori politik uang yang dilarang dan diancam dengan sanksi denda, bahkan pembatalan pencalonan (Pasal 47, ayat 1-6). Pelarangan mahar politik atau apapun istilahnya sepanjang ia mengandung substansi jual beli perahu partai untuk kepentingan pencalonan tentu bukan tanpa alasan. Secara politik praktik transaksional ini berdampak luas, baik di tingkat hulu maupun hilir.

Idealnya Partai Politik

Idealnya partai politik tidak meminta mahar politik bagi para kandidat dalam suatu kontestasi pileg, pilgub, pilpres atau pilkada. Karena sudah menjadi tugas partai melakukan rekrutmen.

Tugas parpol melakukan rekrutmen politik, pendidikan politik. Jadi sebisa mungkin mereka mencari calon-calon yang bagus, berkualitas dan itu menjadi kriteria utama.

Sistem politik kita di Indonesia harus diatur, tidak ada partai gratis di republik ini untuk mengusung kandidat tertentu. Kini parpol tidak lagi melihat latar belakang bakal calon yang akan diusungnya. Kedekatan dan dukungan dari masyarakat bukan lagi hal utama parpol.

Meski punya visi misi baik, mendapat dukungan dari masyarakat, tapi kalau tidak punya uang, tidak akan diusung. Kalau kandidat datang ke parpol, bukan visi misi yang utama, tapi berapa uangnya. Bahkan demi uang parpol berani mengeluarkan rekomendasi untuk dua hingga tiga kandidat.

Pendanaan parpol harus berdasarkan sumbangan atau iuran, untuk mengisi kas partai. Tindakan seperti itu juga dapat meminimalisir akan adanya dominasi oleh sekelompok orang.

Partai politik bahkan semakin kehilangan kesejatian kehadirannya dalam tradisi demokrasi yang benar, yakni sebagai kancah perkaderan calon-calon pemimpin yang unggul dan sungguh-sungguh merepresentasikan aspirasi dan kebutuhan rakyat. Proses kaderisasi yang seharusnya dijalankan dan menghasilkan talenta-talenta unggul kepemimpinan.

Politik mahar dan mahar politik jelas menimbulkan penyimpangan dalam demokrasi. Jika demokrasi adalah kepentingan rakyat, politik mahar membuat demokrasi lebih berorientasi pada pihak pemberi mahar, baik parpol maupun donor korporasi.

Karena itu, bisa diharapkan, pemegang jabatan publik yang terlibat politik mahar dan mahar politik cenderung mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan berbagai pihak terkait langsung daripada kepentingan publik.

Hasilnya, demokrasi gagal dalam meningkatkan kehidupan politik, juga dalam memperbaiki kesejahteraan rakyat. Kiranya sangat perlu pengawasan lebih ketat atas keuangan dan pendanaan para calon dan parpol dalam pileg, pilgub, pilpres dan pilkada.

Mudzakki Mabrur
Mudzakki Mabrur
Mahasiswa asal Banjarnegara, aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Web : wacanbuku.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.