Senin, Desember 9, 2024

Mahalnya Harga Pemilu Kita

Dani Ismantoko
Dani Ismantoko
Penulis. Tinggal di Bantul.
- Advertisement -

Pemilu ternyata mahal harganya. Bukan hanya biaya operasionalnya. Tetapi juga akibat -akibat sosialnya. Kematian petugas KPPS, kerusuhan karena ada kubu yang tidak terima, juga perdebatan-perdebatan tidak perlu yang terjadi di masyarakat mulai semenjak pra pemilu sampai pasca pemilu.

Biaya operasional dapat diprediksi semenjak perencaan. Akibat sosial seharusnya juga bisa diprediksi walaupun tidak bisa secara detail sebagaimana memprediksi biaya operasional. Akibat yang fatal menunjukkan bahwa pada tahap perencanaan tidak dipikirkan secara matang apa akibat sosial yang terjadi dengan sistem pemilu yang kita pakai.

Seharusnya hal tersebut menjadi pukulan telak bagi pengelola negara. Secara umum semuanya saja. Secara khusus pihak yang mengelola pemilu. Karena bagaimana pun rakyat tidak pantas meregang nyawa atawa terluka fisiknya hanya karena pemilihan orang yang dianggap pantas untuk mengelola negara. Ini bukan masa perang, mengapa manusia begitu mudahnya menjadi korban.

Sejauh ini evaluasi pemilu yang paling disorot hanya perihal penghematan anggaran. Yang selanjutnya memunculkan kebijakan pemilu serentak. Juga muncul kebijakan penghematan anggaran lain seperti, menggunakan kotak suara dari kardus.

Pra pemilu orang ribut-ribut tentang kuat atau tidaknya kotak suara kardus. Tanpa pernah memikirkan, apakah sistem kerja penyelenggara dan peserta pemilu yang cukup lama mengakibatkan dampak sosial yang fatal?

Dan lagi, pasca pemilu yang menyuarakan belasungkawa karena kematian banyak personil penyelenggara pemilu dan evaluasi pemilu masih terasa tidak nyaring. Kalah nyaring dengan klaim kemenangan, quick qount, ribut-ribut caleg kalah, people power (settingan). Yang alih – alih berfaedah, justru menambah catatan buruk pemilu yang telah berlangsung.

Kita seakan menjadi seorang balita yang dibuang oleh orang tuanya. Tak bisa mengurus dirinya sendiri. Bisanya hanya merengek, menangis. Menunggu belas kasihan orang, semoga dapat dipungut. Kalau tak ada yang memungut tak tahu bagaimana nasib kita.

Umur kemerdakaan 74 itu sudah lama. Majapahit yang kebesarannya sampai sekarang banyak diperbincangkan dan mungkin belum tertandingi oleh kerajaan atau negara setelahnya berumur sekira 200-an tahun.

Umur 74 lebih dari seperempat umur Majapahit. Kalau umur seorang manusia meninggal umur 80 tahun. Seperempat lebih sedikit dari umurnya adalah 22-25 tahun. Biasanya pada umur tersebut manusia minimal sudah menunjukkan tanda-tanda bisa menata hidupnya sendiri. Bahkan tidak sedikit yang sudah tertata hidupnya. Dalam banyak hal, mulai dari ekonomi sampai perhubungan sosialnya dengan masyarakat luas.

Kita sebagai rakyat yang sudah merdeka tak pernah tahu apa signifikansi yang menonjol dari pengelolaan negara kecuali membiayai banyak hal dengan hutang yang sekarang sudah mencapai sekitar 5000-an trilyun. Itu saja, masih ngeles, “Tenang saja. Masih aman kok hutang segitu.” Sampai kapan kita merasa aman. Sampai 10 trilyunkah, 20 trilyunkah?

- Advertisement -

Kita kalau dalam kehidupan sehari-hari saja mempunyai hutang yang terus bertambah rasanya hidup tidak tenang. Bahkan jika hutang kita tidak bertambah tapi dalam satu tahun kok tidak kita bayar hidup kita tidak tenang. Bagaimana bisa negara yang hutangnya terus bertambah merasa aman, aman dan aman.

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa umur negara ini sama dengan majapahit. Tetapi, sejarah peradaban mana yang pantas kita pakai sebagai referensi? Mesir kuno? Romawi kuno? Yunani kuno? Bukankah Majapahit yang pernah menghuni nusantara lebih pantas kita pakai sebagai cermin, sebagai referensi untuk keberlanjutan negara kita?

Semenjak merdeka kita memilih republik dan selanjutnya demokrasi yang terwujud dalam bentuk pemilu. Puluhan tahun kita menjalani “seolah-olah” pemilu. Baru 2004 kita menjalani “yang benar – benar” pemilu. 15 tahun menjalani “yang benar – benar pemilu” kita masih belum siap. Dalam segala hal. Bahkan hal yang tak membutuhkan biaya. Mental ksatria untuk menerima kekalahan dan untuk tidak jumawa ketika menang. Terutama para pendukungnya. Dalam demokrasi wajah kita tak bisa jauh-jauh dari wajah suporter sepak bola kita.

Dani Ismantoko
Dani Ismantoko
Penulis. Tinggal di Bantul.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.