Jadwal penerbangan erat kaitannya dengan sikap disiplin. Mulai dari penumpang, pilot, kru kabin, petugas bandara, hingga penjaga loket, semua diikat oleh tali yang sama, yaitu waktu.
Waktu menuntut setiap orang memiliki kesadaran penuh. Sebagai penumpang misalnya, kita dipaksa untuk sadar melakukan perencanaan sejak berangkat dari rumah. Transportasi apa yang akan dipakai, jalur mana yang harus dipilih, idealnya tiba di bandara jam berapa, barang-barang apa yang akan dibawa, dan hal-hal teknis lain yang sedari awal harus dipersiapkan dengan matang. Meleset sedikit saja, otomatis bangunan rencana akan rubuh dan berakhir sia-sia.
Keteledoran perkara waktu ini pernah saya alami sendiri. Pagi itu saya berencana terbang dari Lombok menuju Jakarta pukul 05.30 WITA. Lokasi bandara berjarak sekitar 32 km dari Kota Mataram tempat saya menginap. Malam sebelumnya saya cek waktu tempuh kurang dari 1 jam. Dengan jalanan yang lengang, saya yakin akan tiba di bandata di waktu yang tepat. Pikir saya, semua sudah saya persiapkan, nyaris sempurna.
Esok paginya ternyata saya bangun terlambat. Saya melupakan satu hal: alarm jam. Rencana menuju bandara pukul empat pagi, nyatanya baru bisa berangkat menjelang pukul lima. Kendati sudah meminta teman untuk memacu mobilnya berkali-kali lipat, apa dinyana pesawat sudah bersiap untuk terbang.
Saya yang tertinggal hanya bisa terdiam seraya menatap tumpukan dokumen di dalam tas. Dokumen-dokumen itu, merupakan berkas pekerjaan yang seharusnya saya presentasikan siang nanti setelah tiba di Jakarta.
Akibat keteledoran, ternyata bukan hanya saya pribadi yang merugi. Di Jakarta, rekan-rekan kerja saya turut terkena imbasnya. Waktu rapat yang mundur, berdampak pada jadwal-jadwal pekerjaan lain yang ikut tertunda. Sampai hari ini, pengalaman itu masih saya sesali. Pelajaran berharga yang diberikan waktu pada manusia seperti saya.
***
Beberapa temen berkeluh kesah di grup-grup percakapan online yang saya ikuti. Ceritanya mirip semua. Mereka terjebak macet dalam perjalanan menuju bandara. Beberapa orang bahkan memutuskan untuk berjalan kaki sambil berharap pesawat yang akan membawa mereka terbang terlambat. Kendati banyak yang akhirnya tetap terlinggal pesawat, namun bukan soal itu yang mereka benar-benar sesalkan. Asal muasal macetnya jalan yang sebenarnya benar-benar mereka sesali.
Jalan, sebagaimana berlaku untuk semua jenis barang publik lainnya, merupakan ruang yang bisa diakses oleh berbagai macam orang dengan beragam kepentingan. Karenanya, penggunaan jalan, lebih-lebih jalan TOL, harus dengan aturan. Alasannya sederhana saja, kendati menggunakan jalan adalah bagian dari hak warga negara, namun penggunaan hak tersebut juga dibatasi oleh hak orang lain yang sama-sama menggunakannya.
Jika dengan memarkir kendaraan sembarangan di jalan didalilkan sebagai bagian dari hak warga negara, tentu juga harus diingat ada hak warga negara lain, seperti teman saya yang akan berpergian dengan pesawat, yang juga membutuhkan akses jalan yang tidak macet karena mobil-mobil yang diparkir di tempat tidak seharusnya. Terlebih hal tersebut menyangkut ketepatan waktu untuk bisa tiba di bandara. Sesuatu yang final dan tak pernah mengenal alasan.
Argumen soal hak ini memang seringkali masih problematis di republik kita. Hak asasi manusia masih banyak dihapami hanya perkara soal kebebasan yang juga didefiniskan tidak kalah keliru. Kita tahu persis dalam pandemi seperti sekarang, segala kerumunan sebisa mungkin dihindari. Karenya, pertunjukan ekspresi kebebasan yang melanggar protokol kesehatan, jelas bertentang dengan hak publik banyak warga negara yang taat pada aturan ini. Hanya dengan mentaati anjuran menjaga jarak dan tidak menciptakan kerumunan, usaha-usaha koletif untuk bisa lepas dari corona bisa kita tetap usahakan.
Problem soal penegakan aturan juga tidak kalah membingungkan. Segala perangkat hukum yang dibuat untuk membatasi kerumunan nyatanya tidak pernah benar-benar ditegakan. Dengan mata telanjang publik menyaksikan kerumunan massa bisa dengan mudah tercipta seolah tanpa adanya pencegahan dari negara. Dalam kondisi dimana banyak publik lain yang sampai rela mengurungkan pesta pernihakan anak-anak mereka hanya karena taat pada aturan semacam ini, di sisi lain otoritas negara seolah tidak berdaya jika dihadapkan pada kelompok-kelompok tertentu.
Selain berharap setiap warga negara sadar akan aturan, dalam situasi sulit seperti sekarang, kita benar-benar membutuhkan negara yang kuat. Negara yang dapat menjamin pemenuhan hak setiap warga negara.
Publik tahu persis posisi negara juga sedang tidak mudah. Harapan publik seperti teman saya pada negara sangatlah sederhana. Dia hanya ingin dipastikan bisa tiba di bandara tanpa kemacaten yang sebenarnya mungkin bisa dicegah sebelumnya. Teman saya jelas tidak pernah meminta negara membayarkan apalagi mengganti tiket pesawatnya. Dia pun tidak meminta negara menjelaskan pada pihak-pihak yang turut dirugikan karena keterlembatannya tiba di kota tujuan. Teman saya dan banyak warga lainnya, hanya ingin negara hadir untuk memastikan barang-barang publik bisa dinikmati oleh siapa saja yang benar-benar menaati aturan.
Sebagai negara bangsa kita telah melalui perjalanan kolektif yang tidak sebentar. Namun, jika kedewasaan kita sebagai publik tidak beranjak dari kondisi defisit semacam itu, kita tentu pantas khawatir, waktu yang lama dalam hidup sebagai bangsa hanya berakhir sebagai kutukan. Sesuatu yang pasti tidak kita inginkan.
Kita pasti tidak akan mau kelak dihukumi waktu. Saatnya kebangsaan kita lepas landas. Terbang menuju sebuah masyarakat yang sadar hidup bersama sebagai publik, sebagai bangsa.