Sabtu, April 20, 2024

Macetnya Anggaran Riset Perguruan Tinggi

Faqihul Muqoddam
Faqihul Muqoddam
Seorang pegiat psikologi sains

Tulisan ini berangkat dari sebuah kegelisahan setelah mendengar informasi bahwa dana riset salah satu teman tidak mendapatkan dana dari institusi pendidikan yang ia tempati saat ini.

Masalah ini tidak hanya terjadi sesekali saja, ini mungkin sudah ke sekian kalinya info yang sama beredar. Ada sedikit kekecewaan tentunya setelah mengetahui bahwa riset yang seharusnya ditopang oleh berbagai pihak universitas agar mampu meningkatkan legitimasi sebuah institusi pendidikan tidak digubris dan merasa teralienasi. Ini merupakan suatu cara yang tidak etis dalam merespon upaya seseorang dalam meningkatkan potensi dirinya dan universitas.

Terdapat pula kasus bahwa dana penelitian akan dibantu dengan pengecualian penelitian tersebut harus merupakan hasil kolaborasi antara mahasiswa dan dosen. Baik mahasiswa sebagai author dan dosen sebagai co author atau sebaliknya.

Penelitian seperti ini akan cepat dilirik oleh pihak fakultas atau universitas sebagai suatu hasil penemuan yang pantas diapresiasi. Secara esensial, jika disandingkan dengan kasus teman diatas sebenarnya tidak memiliki perbedaan dengan riset kolaborasi tersebut.

Hanya saja di jajaran penulis melibatkan dosen yang memiliki prestise serta nilai tawar lebih daripada hanya seorang mahasiswa yang masih belum tuntas menempuh pendidikan. Begitu kira-kira yang ada di benak pikiran pihak birokrasi fakultas atau universitas yang bersangkutan.

Kasus yang terakhir terjadi pada mahasiswa yang dipaksa untuk mencari bantuan dana riset dan kegiatan dengan cara merekrut sponsor sebanyak-banyaknya dalam menunjang proyek mereka.

Dengan dalih agar mahasiswa dapat belajar mandiri, ternyata cara demikian dapat membuat mahasiswa tersebut lupa bahwa terdapat anggaran yang cukup besar yang digelontorkan oleh pemerintah kepada masing-masing institusi pendidikan yang khusus dianggarkan dalam pengembangan riset. Di sini polarisasi struktur kelas dalam pendidikan mulai tampak tajam.

Polemik dan rumitnya kehidupan dunia riset secara menyeluruh tidak bisa dilepaskan dari kondisi penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan pada abad-20 atau beberapa tahun silam di Indonesia.

Menurut Ariel Heryanto (2006), kondisi penelitian pada masa itu sangat mengkhawatirkan, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial. Para peneliti pada masa itu cenderung mencari bantuan dana riset dari lembaga-lembaga internasional seperti Ford Foundation, Asia Foundation, Toyota Foundation, dan beberapa lembaga internasional lainnya.

Cara tersebut dilakukan karena rumitnya pengajuan dana dari pemerintah orde baru yang mengharuskan ruang lingkup penelitian seperti paradigma, topik, dan metodologi harus sesuai permintaan pemerintah.

Ironisnya, hasil kerja penelitian yang membutuhkan tenaga ekstra tersebut justru tidak ditindaklanjuti menjadi sebuah penemuan yang dipublikasikan, dikritisi oleh para ilmuwan secara terbuka di ruang publik dan tidak memberikan dampak transformatif bagi kebijakan pemerintah setelahnya.

Berbeda dengan penelitian-peneltian yang diselenggarakan oleh berbagai pusat studi Asia Tenggara di Amerika Serikat yang hasil penelitiannya kemudian diberikan kepada pemerintah sebagai pedoman primordial dalam menjalin hubungan dengan negara-negara Asia Tenggara.

Bantuan internasional waktu itu sangat memberikan prioritas nyata dan memberikan kepercayaan yang tinggi kepada para ilmuwan untuk mengembangkan konstruk keilmuan baru melalui penemuan dalam penelitian.

Tidak seperti sekarang yang cenderung dipersulit melalui prosedural yang tidak menentu dan cukup rumit. Bentuk apresiasi lembaga internasional tersebut berupa kucuran dana yang cukup banyak bahkan kelebihan dana yang mereka canangkan khusus pada ranah penelitian.

Seperti Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (YIIS) yang sering mengalami kelebihan dana bahkan dikejar-kejar oleh lembaga Internasional untuk menghabiskan dana tersebut. Kelebihan dana yang dialami YIIS tentu tidak selalu memberikan kesejahteraan bagi mereka, sebab mereka terus didorong oleh lembaga Internasional tadi untuk terus mencari orang-orang yang mau menghabiskan dana tersebut dengan cara melakukan penelitian yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Peran lembaga Internasional tidak hanya tuntas dalam memfasilitasi para ilmuwan dalam melakukan riset, mereka juga memberikan dukungan penuh pada pendirian lembaga-lembaga sosial di Indonesia.

Beberapa lembaga berhasil didirikan berkat bantuan lembaga Internasional seperti Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (YIIS) yang berdiri pada tahun 1977 berkat dukungan dari lembaga internasional Ford Foundation serta Lembaga Penerangan, Pendidikan dan penelitian Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang berdiri berkat bantuan Friedrich Naumann Stiftung dari Jerman mampu memberikan dampak positif bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial Indonesia pada masa itu (Vedi Hadiz & Dakhidae, 2006).

Saat ini orientasi pada bantuan internasional mulai berkurang, sebab negara sudah menyediakan anggaran khusus penelitian yang lebih dari cukup jika dimanfaatkan dengan baik.

Perlu diketahui bahwa anggaran untuk penelitian pada perguruan tinggi selama dua tahun belakangan ini meningkat cukup pesat. Pada 2018, pemerintah memberikan anggaran sebesar Rp 990 miliar.

Sedangkan pada tahun 2019 ini, dana riset diperkirakan naik sekitar Rp 3 triliun untuk mendukung perguruan tinggi agar mampu bersaing dengan perguruan tinggi dunia. Hal itu disampaikan Menristekdikti Mohamad Natsir saat ditemui pada peringatan hari Pendidikan Nasional 2019 di Universitas Indonesia (Republika, 2/5/2019). Biaya sebesar ini tentu sangat melimpah dalam pengembangan dunia riset dan sangat mungkin untuk menghasilkan penelitian-penelitian terbaik yang terpampang di berbagai jurnal Internasional berindeks top.

Tetapi realitas berkata lain, bantuan dana tersebut tidak mengalir secara top down dan efisien kepada para aktor-aktor penelitian serta tidak menjadi suatu reward atas upaya mereka dalam menghasilkan karya tulis ilmiah terbaik.

Riset atau karya ilmiah saat ini menjadi komponen yang cukup determinan dalam perkembangan perguruan tinggi, seolah-olah menjadi barometer bagi kualitas sebuah universitas. Sering kali baik buruknya universitas dilihat dari sudut pandang intensitas riset yang dikeluarkan oleh para ilmuwan di universitas tersebut. Sebuah Universitas dikatakan berkembang jika para mahasiswa dan dosen mampu memberikan sumbangsih besar berupa hasil-hasil riset yang berskala Internasional, begitupun sebaliknya.

Oleh sebab itu, upaya yang perlu diprioritaskan dalam perkambangan sebuah perguruan tinggi adalah dunia riset atau penelitian. Peran peneliti dan ilmuwan serta mahasiswa yang bergerak di bidang riset perlu diperhatikan proses dan hasil karya ilmiahnya dengan cara memberikan bantuan dana penelitian kepada mereka untuk sekedar publikasi.

Selain untuk memperbaiki kualitas karya tulis ilmiah perguruan tinggi, bantuan dana kepada mereka juga bisa menjadi imunitas baginya serta sebagai pemacu motivasi untuk terus menciptakan budaya research university di perguruan tinggi lainnya di Indonesia.

Faqihul Muqoddam
Faqihul Muqoddam
Seorang pegiat psikologi sains
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.