“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,” (QS. Al-Hajj : 27). “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah (Al-Baqarah:196)
Demikianlah dua teks ayat kitab suci yang menggambarkan perintah haji sekaligus perintah menyempurnakannya. Keduanya termaktub dalam Al-Quran Surat Al-Hajj:27 dan Al-Baqarah : 196 sebagai dasar hukumnya. Ditambah dengan sebuah hadits shahih yang menggambarkan keutamaan haji mabrur sebagai atsar (simbol) betapa pentingnya nilai-nilai ibadah haji dalam diri seseorang sepulang haji ketimbang manasik hajinya.
Musim Haji 2018 sudah dimulai. Gelombang I haji Indonesia, rombongan pertamanya sudah diberangkatkan pada 17 Juli 2018 kemarin. Pula rombongan terakhir dari gelombang I ini sudah berangkat dari Indonesia menuju Madinah pada 29 Juli 2018. Begitupun gelombang II dari rombongan pertama sudah diterbangkan pada 30 Juli 2018 kemarin
Pemerintah, sebagai fasilitator, masih terus melakukan persiapan untuk kelancaran penyelenggaraan ibadah haji tahun ini. Kementerian Agama telah menerbitkan visa untuk sekitar 118 kloter jemaah haji reguler. Pula Kementerian Kesehatan telah menyiapkan perlengkapan yang akan dibagikan pada jemaah haji selain melayani tes kesehatan untuk para jamaah haji .Semuanya untuk melayani para jamaah haji agar ibadahnya menjadi tenang, khusyuk dan nyaman. Dan yang lebih penting adalah pulang menjadi haji mabrur.
Menyoal haji mabrur, ada sebuah cerita pendek menarik yang perlu direnungkan kita bersama, yang pernah ditulis Nurcholish Madjid dalam Buku Fatsoen, 2002. Cerita ini berasal dari kaum sufi, meski ceritanya hanya fiksi semata.
Konon di sebuah negeri ada sepasang suami yang tak terlalu kaya bertekad ingin sekali pergi berhaji. Mereka berdua telah bertahun-tahun menabung bekal untuk pergi ke Tanah Suci dengan jerih payah.
Singkat cerita, di tengah perjalanan, karena mereka berdua pergi berjalan kaki dan naik unta menuju Makkah, mereka menjumpai sebuah desa miskin yang dilanda kelaparan. Warganya mengalami busung lapar, kurang gizi dan sederet penyakit lainnya akibat kelaparan. Pasangan suami istri ini hatinya tersentuh dan luluh, mereka ikut prihatin sekaligus iba.
Bekal pas-pasan yang dibawa mereka berdua kemudian disumbangkan kepada warga desa yang kelaparan tersebut. Pasangan tersebut akhirnya urung, tak jadi berhaji, kemudia mereka berdua pulang tanpa pikir panjang.
Setelah sampai di rumah, kampung halamannya, mereka berdua disambut pria berpakaian serba putih. Sosok pria yang tak mereka kenal tersebut mengucapkan selamat. “Selamat, Allah memberkati kalian berdua sebagai haji mabrur,” katanya. Pasangan suami istri tersebut protes kepadanya, karena mereka sama sekali tak jadi naik haji. “Ongkos dan perbekalan yang kalian telah berikan kepada warga desa yang kelaparan telah mengantarkan kalian menjadi haji mabrur,” jawab pria itu. Kemudian setelah itu menghilanglah pria tersebut.
Kesahihan cerita di atas tak perlu dipertanyakan, karena ia cerita fiktif. Namun yang perlu diambil sebagai pelajaran untuk kita adalah hikmah di balik cerita tersebut. Menurut Cak Nur haji yang mabrur tidak ditentukan oleh prosesi manasik haji semata, melainkan justru oleh perilaku jamaah sepulang haji.
Betapa banyak jamaah setiap tahunnya berhaji, bahkan ada jamaah yang puluhan kali pergi berhaji, padahal kewajibannya hanya satu kali, namun spirit dan nilai-nilai hajinya tak melekat dalam dirinya. Ini adalah sebuah pertanyaan besar kenapa harus terjadi demikian di masyarakat kita. Meski tak dipungkiri, ada jamaah yang perilakunya justru berubah setelah pulang berhaji.
Sejatinya kuantitas berhaji seseorang akan berbanding lurus dengan kualitas ibadah haji yang ia tunaikan. sepulang berhaji, hubungan sosial seseorang dengan saudara, teman, kerabat tetangga dan sejenisnya menjadi lebih baik dan harmonis, bukan sebaliknya atau tak ada perubahan sama sekali. Kualitas ibadah-ibadah lainnyapun menjadi lebih baik dari sebelum ia menunaikan haji. Perubahan menuju arah yang lebih baik dalam segala hal. Dan itulah yang kemudian disebut dengan haji mabrur.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhori-Muslim, bahwa haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga. Haji mabrur adalah pencapaian akhir dari sebuah ibadah haji. Selain sangat berharga, ia juga menjadi tujuan hidup bagi orang-orang yang beriman kepada Allah SWT. Surga merupakan simbol seluruh kenikmatan Allah yang akan dirasakan kaum beriman di kehidupan kelak nan abadi di akhirat.
Cak Nur menyebut haji mabrur sama sekali tidak menyangkut soal teknis semata, ia adalah persoalan ruhani, sebuah kemampuan untuk menangkap makna terdalam (deep meaning) dari agama, yaitu pesan-pesan kemanusiaan (messages of humanity).
Jika dilihat secara etimologis, kata “mabrur” berasal dari Bahasa Arab yang diambil dari kata “birr” yang mempunyai arti kebaikan. Kebaikan adalah adalah kepedulian sosial, berkaitan erat dengan kemanusiaan. Tengok saja misalnya ayat 93 dari QS. Ali-Imran. “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan (birr) kecuali kamu memberikan sebagian harta yang dicintaimu”. Ayat ini dengan gamblang menjelaskan keterkaitan kebaikan dengan derma, bantuan, pemberian kepada orang lain. Sikap sosial tercermin dalam ayat ini.
Seluruh ajarah Islam dirancang dalam rangka memperkuat hubungan baik dengan Allah sekaligus hubungan baik antarsesama manusia. Tak bisa dipisahkan keduanya. Perintah shalat selalu dibarengi perintah zakat. Hal ini menunjukkan kepedulian sosial selalu bergandengan dengan ritual keagamaan.
Haji merupakan salah satu ibadah yang mempunyai dua dimensi; vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal bisa kita lihat dari ritual haji yang sangat didominasi oleh tindakan yang membawa ingatan kita kepada sejarah Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan Nabi Ismail. Betapa berjasanya mereka bertiga dalam meletakan pondasi tauhid.
Sedangkan dimensi horizontal lahir dari haji mabrur. Haji mabrur merupakan efek horizontal dari kaifiyat haji tersebut. Ada sebuah hubungan yang erat antara keduanya atau dalam bahasa agama sering disebut hablun min allah dan hablun min annaas.
Jika seseorang sebelum pergi berhaji masih bersikap bakhil atau pelit, tidak mau berbagi dengan tetanggganya yang miskin, kemudian setelah pulang berhaji ia menjadi dermawan, peduli serta rajin memberi makan tetangganya yang fakir miskin, yang kelaparan, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan predikat haji mabrur.
Pun begitu juga sebaliknya, jika seorang pejabat negara yang telah berulang kali naik haji atau berumrah Setiap tahun tak pernah ia melewatkannya, namun tak ada bekas dari haji dan umrahnya. Selepas pulang berhaji ia masih saja menipu, menghasut, memakan uang yang bukan haknya, memanipulasi data demi meraup keuntungan pribadi dan sejumlah perilaku negatif lainnya, maka dipastikan hajinya tak berdimensi horizontal. Ia hanya sah berhaji menurut fiqih. “Mabrur” telah menjauh dari pekerjaan hajinya.