Jumat, April 19, 2024

Lubang Hitam Narasi Teroris Selama Pandemi

Prakoso Permono
Prakoso Permono
Penerima Lencana Teladan dari Presiden Republik Indonesia. Kandidat PhD dalam bidang Comparative Political Science.

Sudah lima hari sejak saya terkonfirmasi positif Covid-19. Rasanya begitu berat, alih-alih sekedar menyerang fisik, rupanya virus ini juga menyerang mental. Untuk itu, saya mencari penghiburan dan pengharapan kepada Tuhan. Dalam suatu salat saya membaca salah satu surat favorit dalam al-Quran yang berisi seruan menjadikan salat dan sabar sebagai penolong, serta seruan ikhlas bahwa segala yang bersumber dari Tuhan tentu akan kembali pada Tuhan. Saat membaca surat tersebut tiba-tiba saya teringat pada penelitian etnografi digital pada jaringan Islamic State di Indonesia yang saya kerjakan sejak awal masa pandemi Covid-19.

Salah satu data temuan ialah sebuah video kumpulan pria menggenggam senjata berlatar bendera ISIS, yang salah satunya membaca dengan merdu salah satu ayat favorit saya itu. Para milisi ISIS itu secara serampangan menukil rangkaian ayat yang sama untuk menjustifikasi bahwa mati atas nama Tuhan sejatinya bukanlah suatu kematian, melainkan pintu menuju suatu bentuk kehidupan imajiner setelah mati, atau kerap kali diklaim sebagai mati syahid ala kelompok teror jihadis.

Temuan itu membawa saya pada perenungan, betapa mengerikan narasi ilahi yang dipelintir semacam ini. Dari kaca mata saya, ayat yang indah itu adalah cara mencari kedamaian dalam Tuhan, sedangkan bagi mereka justru menjadi alat merusak kedamaian sejati anugerah Tuhan itu sendiri. Namun apakah benar bahwa prahara narasi ilahi atau agama adalah biang terorisme sebagaimana diyakini sebagian orang? Saya percaya bukan itu jawabannya.

Lubang Hitam 

Perkara narasi agama dalam urusan terorisme tidak boleh disederhanakan. Selama lebih dari enam bulan saya melakukan penelitian di dalam jaringan media sosial afiliasi ISIS di Indonesia menunjukkan bahwa narasi agama memang hanya umpan dan juga pemanis bibir saja. Bila diperhatikan maka narasi besar afiliasi ISIS Indonesia berkutat pada beragam aspek semasa pandemi, mulai dari Covid-19 sebagai pertolongan Tuhan, hukuman Tuhan bagi para musuh mujahidin, hingga Covid-19 sebagai konspirasi Barat dan Cina, ketiganya sama sekali merupakan klaim tanpa dasar.

Selain itu afiliasi ISIS juga menyeru pada aksi jihad, anti etnis minoritas keturunan Tionghoa, dan anti kebijakan pemerintah seperti penutupan masjid. Di antaranya yang murni narasi agama berputar-putar pada isu yang sama sejak lama, bahwa berhukum mesti dengan hukum agama, sistem Indonesia adalah kafir, serta sahnya membunuh sebagai jihad. Bila diperhatikan maka tidak ada narasi agama yang genuine dan mendalam dari kelompok ini.

Yang terang-terangan beredar ialah narasi kebencian. Ini justru lampu kuning untuk kita semua perhatikan. Selayaknya lubang hitam alias black hole yang menghisap segala benda di luar angkasa, lubang hitam narasi ini juga berpotensi menelan dan menjangkau banyak sekali korban. Narasinya tampak sederhana, sekalipun pada saat yang bersamaan menunjukkan kemutakhiran.

Permainan narasi di media sosial dibungkus dengan menghilangkan bau terorisme, tentu dalihnya adalah agama atau bahkan sentimen-sentimen yang sifatnya personal dan sensitif di tengah masyarakat. Misalnya saja narasi anti etnis Tionghoa yang juga turunan dari narasi anti Tiongkok, narasi ini tidak hanya muncul pada masa pandemi menyusul isu tahunan kebangkitan komunisme, kasus keturunan Tionghoa Djoko Tjandra dan isu tenaga kerja asing, melainkan memang mengakar pada sebagian kelompok masyarakat kita.

Sebagaimana dicatat antropolog Charlotte Setijadi (2017) bahwa 48,4% masyarakat percaya bahwa keturunan Tionghoa secara eksklusif memikirkan kelompoknya sendiri, 46,3% percaya bahwa keturunan Tionghoa memiliki sifat serakah dan ambisius, 60% percaya bahwa keturunan Tionghoa sangat menguasai sektor ekonomi Indonesia, sentimen ini mengakar dan jelas disulap sebagai suatu potensi narasi kebencian oleh kelompok teror di dunia maya.

Oleh sebab itu, bila diibaratkan nelayan yang menjaring ikan, narasi kelompok teror ibarat jala yang begitu besar dan ditebar dimana-mana. Tentu tujuannya tidak lain, menjaring sebanyak-banyaknya ikan di seluas-luasnya perairan. Metaphore ini persis menggambarkan kondisi pra dan pada masa sekarang ini, buktinya saya bisa dengan akses kata kunci tertentu mudah meneliti tidak kurang enam grup dengan afiliasi ISIS sepanjang pandemi ini.

Narasi disebarkan melalui akun-akun yang terbuka bagi publik, tidak jarang melalui pola video provokatif dengan bungkus narasi agama di kanal YouTube yang mengantarkan pada grup-grup Telegram dan WhatsApp eksklusif tempat radikalisasi dijalankan. Tidak hanya itu, pola lubang hitam ini bahkan mengantarkan pada baiat atau pernyataan setia menjadi bagian dari kekhalifahan dunia maya ISIS dan tentu saja pada pimpinan ISIS setelah proses diskusi penuh narasi kebencian tidak kurang dari satu pekan saja.

Fenomena ini jelas-jelas lubang hitam yang berpotensi menghisap semua. Bagaimana tidak? Bila kondisi pandemi ini memang mendatangkan kesulitan hidup bagi banyak orang, saat terjadi pemutusan hubungan kerja dan kesulitan pada berbagai sektor ekonomi.

Ahli psikologi terorisme Arie Kruglanski (2020) menyebut pola kelompok teror pada masa pandemi ini adalah grievance alias mengapitalisasi kesulitan hidup dan kemarahan pada masa pandemi, culprit atau memberi label atau tuduhan pada suatu kelompok sebagai musuh seperti pemerintah atau kelompok etnis minoritas, dan terakhir method yaitu melegitimasi metode kekerasan sebagai satu satunya jalan memperbaiki keadaan. Rumus ini berlaku bagi lubang hitam narasi yang berperan sebagai penyedia narasi kebencian dan legitimasi aksi terorisme.

Parahnya, pada masa hijrah ke dunia maya ini lubang hitam narasi kelompok teror dapat menjangkiti banyak orang, termasuk orang yang berselancar di dunia maya dengan niat mulia belajar agama, algoritme dan satu saja kata kunci bisa mengantarkan siapa saja menuju pusaran pabrik narasi kelompok teror yang dikelola sembunyi-sembunyi itu.

Perlu Aksi 

Menanggapi persoalan ini kita semua dipanggil untuk beraksi. Yang telah diserang adalah tempat tinggal kita saat ini, rumah kita di dunia maya yang sejatinya cukup nyata memengaruhi hidup kita. Keterlibatan masyarakat adalah salah satu kunci. Rumus dari pengentasan penyebaran narasi yang paling masuk akal adalah dengan membungkam saluran-saluran penyebaran informasi, tentu cara ini mesti ditempuh dengan benar.

Caranya adalah dengan memanfaatkan fitur laporkan atau report pada platform media sosial dimanapun kita menjumpai narasi kebencian. Pemerintah tentu juga perlu didesak memperhatikan isu dunia maya secara lebih serius, bila tugas negara adalah melindungi segenap tumpah darah Indonesia, maka tumpah darah itu tidak hanya ada di perbatasan negera, namun juga di dunia new normal kita, dunia maya.

Prakoso Permono
Prakoso Permono
Penerima Lencana Teladan dari Presiden Republik Indonesia. Kandidat PhD dalam bidang Comparative Political Science.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.