Semua orang pasti sepakat bahwa agama dan sains harus selalu berjalan bersama-sama. Tapi sulit, sebagaimana sulitnya orang yang terbiasa berjalan dengan kaki kanan dan kiri yang selalu bergantian, kemudian diperintah agar kaki kanan dan kiri maju bersamaan. Apa bisa? Tentu Bisa, dengan melompat. Kanguru buktinya.
Perjalanan agama dan sains memang tidak selalu berjalan mulus. Kerap kali keduanya dianggap pernah saling pukul. Teori heliosentris pernah dengan terang-terangan menonjok wajah agama dalam hal ini gereja katolik. Tidak berhenti disitu, sains berlanjut meng-uppercut agama dengan teori evolusi tepat ke “rahang” agama-agama di dunia.
Apakah agama diam saja? Tidak. Agama pun pernah memberikan hantaman yang tak kalah hebat. Hypatia seorang filsuf dan matematikawan sampai ditelanjangi dan dipukuli sampai mati karena menentang gereja. Kemudian pukulan keras lain ialah ketika Giardano Bruno dibakar hidup-hidup karena dianggap bid’ah. Dan yang paling kejam barang kali adalah provokasi Cyril untuk membakar perpustakaan besar Alexandria.
Perjalanan sains dan agama di Indonesia memang tak seekstrem gambaran di atas. Namun begitu keduanya tak pernah terlihat berjalan beriringan, karena agama selalu berada di depan. Saya tak hendak menyatakan bahwa agama menjadi penyebab lambatnya laju sains di negara ini. Namun faktanya perkembangan sains tak begitu bergairah seperti perkembangan ilmu agama.
Berita di kompas yang mengabarkan banyaknya pusat sains yang ditutup jelas merupakan kemunduran drastis negara ini dalam bidang sains. Rendahnya perhatian pemerintah serta minimnya kesadaran masyarakat dan partisipasi mereka terhadap sains menjadi penyebab utama.
Kemunduran bidang sains dalam suatu negara bukanlah hal yang baik, sering kali malah menjadi pertanda buruk. Eropa pernah memberi contoh bagaimana mereka menghadapi dark age selama abad pertengahan. Abad yang dimulai dengan dilarangnya ajaran filsafat dan dominasi pengetahuan oleh gereja, menjadi penanda awal kegelapan eropa yang berlangsung selama 14 abad.
Impotensi sains di negara ini ditandai turunnya minat terhadap sains bahkan di sekolah. Sering kali para guru tidak punya cukup wawasan untuk menjelaskan kepada siswanya bagaimana alam semesta terbentuk dari sudut pandang sains. Terlalu ruwet dan bertele-tele mungkin. Mereka lebih memilih mengatakan bahwa alam semesta diciptakan dalam 6 hari oleh Tuhan.
Contoh lain, para guru juga masih banyak yang maju-mundur cantik mengajarkan teori evolusi. Mungkin karena takut dosa dan neraka atau khwatir distempel kafir. Mengajarkan bahwa manusia berawal dari adam dan hawa yang diturunkan dari surga karena makan buah terlarang dirasa lebih aman dari pada mengatakan manusia berkerabat dengan simpanse dan gorilla.
Para siswa kita juga tidak menuntut penjelasan lebih. Mereka biasa terdidik untuk patuh dan percaya begitu saja apa kata guru. Mungkin mereka takut diolok bani Israel jika terlalu banyak bertanya.
Mlempemnya sains di sekolah-sekolah diperparah dengan pelajaran sains yang sering kali datang dari mereka yang bukan ahlinya. Ini jelas berpotensi menyesatkan. Coba searching di youtube dengan keyword “teori evolusi” (dalam bahasa Indonesia).
Alih-alih mendapat penjelasan ilmiah tentang teori murtad itu, kita malah akan disuguhkan video pengajaran para ustaz tentang haram atau sesatnya teori evolusi di list teratas. Dan parahnya pernyataan mereka yang menyalahkan mereka sama sekali tidak argumentatif.
Salah satu video di list teratas itu adalah pendapat Zakir Naik yang menyalahkan teori evolusi. Menurutnya “teori evolusi” adalah sekedar “teori” bahkan tak pernah ada buku yang menuliskan “fakta evolusi”. Sekelumit saja penjelasannya ini membuat telinga saya geli mendengarnya. Saya heran seorang dokter medis bahkan masih bingung tentang arti kata “teori”.
Seharusnya ia lebih paham bahwa teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi. Jadi tidak mudah membangun sebuah teori, harus berdasarkan fakta dan sejumlah data hasil penelitian. Teori Phytagoras yang diamini seluruh orang didunia juga masih disebut “teori”. Tidak akan pernah ada buku yang menuliskannya “fakta Phytagoras”.
Semakin miris lagi bahwa mandulnya sains di Indonesia semakin dibuktikan dengan sebuah artikel dari Stoat yang berjudul Students in countries with higher levels of religiosity perform lower in science and mathematics. Sebagai sebuah negara yang 85 persen masyarakatnya religius kita malah menempati peringkat bawah dalam hal pendidikan sains dan matematika.
Kita tentu tak bisa menyalahkan agama atas nasih buruk sains di negara ini. Sebagai mana kita tak bisa sekedar menyalahkan Ghazali – dengan Tahafut Al-Falasifah – atas berakhirnya zaman kejayaan islam seperti yang dituduhkan para ilmuwan dan sejarawan barat.
Menurut cak Nur dalam Islam Doktrin dan Peradaban, kemunduran islam lebih disebabkan karena percecokan terus menerus di masyarakat dalam hal kecil seperti masalah fiqih dan peribadatan. Hal ini diperkeruh dengan sikap pemerintah dalam mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah ini dengan menutup pintu ijtihad dan mewajibkan setiap orang taklid pada pemimpin yang sudah ada.
Mirip sekali bukan dengan awal runtuhnya peradaban romawi klasik. Ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa sesungguhnya dominasi dan monopoli pengetahuan begitu berbahaya bagi berlangsungnya kemajuan suatu bangsa.
Sebenarnya masih ada jalan yang bisa ditempuh jika kita tidak ingin bernasib sama seperti Eropa pada abad pertengahan. Telebih dahulu kita harus paham mengapa dan bagaimana agama diajarkan sehingga dapat begitu cepat berkembang di negara ini.
Salah satu ciri agama yang membuatnya mudah diterima dan tersebar adalah sifatnya yang merakyat. Tidak seperti sains yang berada di “ketinggian”. Ketika sains – secara serius – hanya diajarkan pada perguruan tinggi, agama malah diajarkan di surau-surau kecil yang diselenggarakan masyarakat.
Ketika biaya mempelajari sains di perguruan tinggi sangat mahal, agama diajarkan secara gratis dan masal dimana-mana. Ketika sains membatasi diri hanya untuk mereka yang cukup memenuhi syarat (cerdas dan mampu secara finansial), agama justru diajarkan pada siapa saja tanpa mengenal batas.
Agama hampir menjadi topik dominan dalam obrolan beberapa orang yang berkumpul untuk sekedar menghabiskan tahu isi. Sementara sains menutup dirinya di balik dinding-dinding megah universitas.
Para professor atau doktor dalam bidang sains harus mau turun gunung dan berkumpul dengan masyarakat akar rumput untuk sekedar membahas gravitasi, geometri, bahkan evolusi. Tentu saja bukan dengan bahasa matematis atau bahasa ilmiah yang terlalu latin. Para ahli itu tentu punya berbagai cara menjelaskan sains dengan bahasa yang mudah.
Sudah saatnya kita sebagai negara dengan umat islam terbesar di dunia menjadi pemantik Renaisans (kelahiran kembali) ilmu pengetahuan seperti di zaman kejayaan islam dulu di timur tengah. Kalau bukan kepada negara kita, kepada siapa lagi umat islam berharap? Kepada Erdogan yang masih sibuk mendirikan khilafah?