Rabu, April 24, 2024

Lonceng Tanda Bahaya di Dunia Pendidikan

Anggi Afriansyah
Anggi Afriansyah
Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

Dunia pendidikan yang sejatinya menjadi rujukan teladan kembali dicoreng oleh laku oknum guru yang tak bertanggungjawab. EA seorang guru di salah satu SMP di Jombang dilaporkan ke polisi karena dituduh melecehkan dua puluh lima siswinya (Kompas.com, 15/2). Kasus ini masih didalami pihak kepolisian.

Kasus-kasus pelecehan seksual seperti yang dilakukan EA ini tidak terjadi saat ini saja, tetapi beberapa kali mewarnai dunia pendidikan di Indonesia. Warna positif yang diharapkan didapat dari dunia pendidikan ternyata tak selalu sesuai harapan. Tindakan pelecehan atau kekerasan kerap hadir di ruang pendidikan kita. Ruang pendidikan yang idealnya menjadi panggung penuh dengan pencerahan ternyata tak sepenuhnya steril dari tindakan yang memalukan.

Dalam konteks tersebut ada hal penting yang perlu menjadi perhatian bersama. Sivitas pendidikan kita harus lebih peka terhadap setiap rangkaian proses pendidikan yang dilakukan di sekolah atau lembaga pendidikan lainnya.

Kejadian ini menunjukan kesan bahwa seolah-olah tindakan kekerasan, pelecehan seksual, atau tindakan lain yang mencoreng dunia pendidikan muncul tiba-tiba atau ujug-ujug hadir tanpa ada rentetan kronologis di belakangnya. Juga menunjukan adanya kegagalan dalam memeriksa secara detil dan menyeluruh proses pendidikan kita.

Kita luput memastikan bahwa setiap proses yang dilakukan dalam rangka mendidik anak sudah berjalan pada alur yang benar. Seringkali kita sibuk menuduh ini dan itu tanpa mau belajar dari setiap peristiwa yang telah terjadi. Padahal kita sendiri yang sering mengabaikan beragam pelajaran penting dari peristiwa ini.

Kejelian sekolah dalam memastikan proses pendidikan sudah pada jalur yang benar akan meminimalisirkan laku-laku negatif yang mungkin terjadi menjadi amat penting. Sekolah harus secara seksama memperhatikan kecenderungan-kecenderungan perilaku atau sikap baik guru maupun siswanya. Di sini bukan hanya dituntut peran kepala sekolah tetapi juga seluruh sivitas sekolah.

Perduli terhadap lingkungan sekitar adalah hal yang amat penting. Seringkali karena sibuk mengerjakan pekerjaan masing-masing kita tak perduli kepada hal-hal kecil yang terjadi di sekitar kita. Dunia pendidikan pun seperti itu.

Jam mengajar yang padat dan tuntutan penyelesaian administrasi pembelajaran yang begitu banyak misalnya membuat para guru kehilangan momen untuk bisa akrab dengan peserta didiknya. Momen ringan berbincang di kala istirahat ataupun pulang sekolah menjadi amat langka. Guru dan Siswa punya beban masing-masing yang perlu diselesaikan. Ruang-ruang obrolan ringan penuh canda menjadi semakin terbatas.

Kepala sekolah sibuk menyelesaikan administrasi sekolah. Pertanggungjawaban dana BOS (Bantuan Operasional Siswa) misalnya amat menyita perhatian sekolah. Ruang di mana kepala sekolah mengenal guru, staf administrasi, dan siswa menjadi begitu terbatas. Apalagi di sekolah negeri yang jumlah guru, staf administrasi, maupun gurunya begitu banyak. Ini menjadi hambatan tersendiri.

Sehingga ketika ada tindakan kekerasan, perundungan, ataupun tindakan pelecehan semua elemen sekolah kaget. Seolah peristiwa tersebut hadir tiba-tiba. Mekanisme preventif seolah tak berjalan. Dari beberapa pemberitaan di media misalnya, kasus pelecehan yang terjadi di Jombang sudah berjalan hampir tujuh bulan. Setelah tujuh bulan peristiwa ini baru terungkap, itupun setelah ada dua puluh lima korban yang melapor.

Kondisi tersebut jelas menandakan bahwa lonceng tanda bahaya di sekolah tidak berjalan secara seharusnya. Hal yang bisa saja terjadi karena kita tak memperhatikan detil kecil yang terjadi di sekitar kita. Modus rukiyah yang dilakukan oleh guru tersebut kepada siswanya yang semuanya perempuan seolah luput dari amatan orang dewasa di sekitarnya. Siswa sebagai korban tentu dihantui ketakutan-ketakutan yang amat besar ketika harus melapor.

Ketidakperdulian kita lah yang menyebabkan kasus-kasus model ini terjadi berulang-ulang dengan beragam modus operandinya. Orangtua sering luput mengajak anak ngobrol ringan. Pun dengan para gurunya. Sehingga orangdewasa tak pernah tahu apa yang sesungguhnya menjadi kegelisahan anak. Anak tentu takut melapor ke orang dewasa, guru ataupun orangtua, karena takut disalahkan. Apalagi sosok yang melakukan tindakan pelecehan adalah gurunya sendiri.

Jarak antara guru dan siswa ini sering menjadi hambatan dalam pendidikan kita. Siswa seringkali tidak percaya dengan gurunya sendiri. Padahal agar pendidikan efektif yang paling pertama adalah menghadirkan kepercayaan siswa terhadap gurunya. Ketika siswa sudah percaya maka setiap apapun yang berusaha diberikan guru akan diterima secara optimal.

Kepedulian guru tentu tidak hanya berbentuk kehadirannya memenuhi materi pembelajaran atau membuat siswa mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang harus dicapai tetapi melampaui itu.

Keresahan-keresahan siswa semestinya mampu dipotret oleh guru. Kepekaan guru membaca kegelisahan siswa menjadi penting. Setiap aduan dari orangtua atau siswa tidak boleh dikesampingkan oleh pihak sekolah dan ditindaklanjuti secara serius. Jangan sampai ketika sudah memakan korban kita baru bergerak dan risau.

Kita tentu tak mau pendidikan kita diwarnai laku negatif. Semuanya bisa diatasi jika kita lebih perduli terhadap lingkungan sekitar kita. Tak perlu lagi menunggu lonceng tanda bahaya berdentang keras mengagetkan kita semua dan memakan korban lainnya.

Anggi Afriansyah
Anggi Afriansyah
Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.