Aksi bom bunuh diri yang terjadi di depan pintu gerbang Gereja Katedral Makassar belum lama ini telah mendapat perhatian tidak saja dari kalangan nasional, tetapi juga internasional. Salah satunya dari Paus Fransiskus yang turut mendoakan para korban dalam aksi bom bunuh diri tersebut.
Dengan demikian, aksi yang serba tak terduga dan menggelisahkan itu selalu dipandang serius dan perlu untuk dikaji dengan lebih jeli agar tidak terulang kembali. Apalagi sebagian besar dari para perancang aksi itu sudah lama diketahui berlatar akademis sains dengan segala spesialisasinya.
Pertanyaannya, mengapa orang-orang yang berlatar akademis sains mudah untuk menjadi radikal dan ekstrim? Pertanyaan itu merupakan awal dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh kalangan ilmuwan dari dunia intelejen untuk memprofilkan pikiran (mind) di balik aksi-aksi terorisme.
Meski jawabannya cukup mengejutkan, namun pikiran para teroris yang sebagian besar mengatasnamakan Islam juga mengilhami beragam gerakan Neo-Nazi. Mereka yang masih dibayang-bayangi kejayaan masa lalu Hitler dan Mussolini di era Perang Dunia II ternyata adalah sekelompok orang yang sempat mengenyam pendidikan tinggi di bidang matematika atau ilmu murni dan terapan lainnya.
Tentu menjadi menarik untuk mengetahui pikiran macam apa yang membentuk mereka mampu bertindak sefatal itu? Dieogo Gambetta dan Steffen Hertog yang mengawali penelitian tentang hal itu menemukan bahwa dasar pikiran para teroris adalah masyarakat rusak ibarat mesin yang rusak akibat suku cadang yang tidak baik (Newsweek, March 8, 2010).
Solusinya, adalah menggantinya dengan yang lebih baik. Dengan pemikiran itu, maka tak heran jika perbedaan yang ada dalam masyarakat diabaikan, atau bahkan ditiadakan. Sebab hal itu justru dianggap dapat mengaburkan atau menyamarkan antara yang benar dan salah, yang baik dan buruk, yang rusak dan berfungsi sebagaimana mestinya.
Selanjutnya, pengabaian dan/atau peniadaan semacam itu mengiring pada pemikiran yang sangat moralistik dan sepihak. Artinya, dalam masyarakat plural yang mengandaikan keterbukaan, pemikiran tersebut hanya akan menghasilkan cara pandang yang fundamentalistik dan fanatik. Itulah mengapa “logika persamaan” menjadi mindset yang lebih diunggulkan ketimbang peluang untuk toleran dalam perbedaan.
Maka bukan kebetulan jika dalam menerjemahkan pesan-pesan “suci”, membangun pusat-pusat kekuasaan, dan mitos sejarahnya, para teroris selalu berpandangan kaku, bahkan literal, terhadap apa yang disebut dengan jihad misalnya, beserta kekerasan yang mengikutinya. Dengan demikian, jihad menjadi “sisi logis” yang tak perlu ditafsirkan lagi lantaran dipandang sudah jelas mana yang bermanfaat dan mana yang menciptakan kerusakan.
Dalam konteks ini, tak heran jika tak ada yang relatif, atau berada dalam wilayah “abu-abu”, sebagaimana dipahami masyarakat pada umumnya. Segalanya sudah dapat dipastikan hasilnya, asal telah diperhitungkan secara seksama dalam sebuah persamaan yang memberi jawaban, bukan malah pertanyaan.
Karena itu, rela mengorbankan nyawa, bahkan nyawa orang lain sekalipun, demi persamaan yang serba terbatas itu menjadi semacam “pandangan-dunia” (weltanschauung) dari terorisme. Seperti pernah diulas oleh Robertus Robet (Kompas, 26/1/2015), bom bunuh diri adalah sesuatu yang “khas” dan “istimewa” bagi teroris. Tidak ada kata “gagal”di sana, tetapi justru “teladan” bagi yang lain untuk bertindak serupa.
Ajaran yang merupakan soal hidup atau mati itu mirip seperti kebijakan berbahasa di Aljazair. Di sana orang dapat saling bunuh hanya karena bahasa yang mencerminkan identitas masing-masing (Jim Siegel, ”Berbahasa” dalam H.C. Loir, Sadur. Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, 2009).
Jadi, teladan bagi para teroris adalah bahasa bom bunuh diri yang mencerminkan pengorbanan yang agung dan mulia. Inilah yang disebut mendiang Benedict Anderson (2001) dalam bukunya Imagined Communities. Komunitas-komunitas Terbayang sebagai ”bahasa suci”. Bahasa yang mampu menghadirkan kembali pusat-pusat kekuasaan lama dengan mitos penguasa yang serba baru. Karena itulah, terorisme seolah-olah tak pernah mati. Bahkan semakin kerap dibinasakan, semakin beranak-pinaklah pelaku-pelaku terornya.
Maka, sekadar membinasakan para teroris bukanlah satu-satunya jalan keluar. Sebab sangat boleh jadi alam pikiran teroris masih akan tetap menghantui, bahkan pada generasi yang belum lagi dilahirkan.
Jalan yang mungkin dapat menjadi alternatif adalah dengan menawarkan cara berpikir untuk memahami bahasa terorisme yang tak lain dari kebanggaan terhadap pengorbanan diri sendiri. Hal ini lebih dekat kepada keunggulan chauvinistik ketimbang prestasi patriotik. Artinya, meski tidak punya sesuatu yang bisa mewakili sosok para teroris dunia, namun mereka toh yakin bahwa pengorbanannya akan menebarkan rasa takut yang abadi. Tak heran, teror bom Thamrin dengan mudah diidentifikasi setara dengan yang sebelumnya terjadi di Paris.
Kenyataan ini dapat ditemukan pula pada diri para veteran jagal tahun 1965 yang telah membunuh orang-orang komunis dengan sadis, tetapi tetap merasa aman dan nyaman hidup bebas di tempatnya masing-masing, sembari menanti ajal menjemputnya. Mereka kebal hukum, bahkan merasa diri sebagai patriot yang heroik, meski ada juga beberapa yang hilang ingatan. Demikian pula halnya dengan para teroris yang selalu percaya akan dikirim ke Surga dalam setiap bom bunuh diri yang mereka lakukan.
Sayangnya, kepercayaan itu tidak jatuh dari langit. Ada kontruk yang membentuknya sehingga tak mudah untuk direkonstruksi, apalagi didekonstruksi. Mirip dengan kata-kata pejabat negara yang dengan ringan berkomentar bahwa di manapun di dunia ini serangan teroris selalu tak terduga; jadi, tak ada istilah kecolongan. Benarkah begitu? Semoga (tidak) demikian.