Di era modern ini, pola pikir berbasis logika mistika masih banyak ditemukan di masyarakat Indonesia. Contoh sederhananya adalah ungkapan seperti:
“Dia jarang terlihat keluar rumah, tapi si Bapak Kurir tak henti-hentinya mengantarkan paket ke rumahnya. Fiks, dia memelihara babi ngepet!”
Pernyataan ini merupakan bentuk logika mistika, yaitu kesimpulan yang ditarik berdasarkan keyakinan mistis tanpa didasari metode ilmiah. Tan Malaka dalam Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika) menyebut pola pikir ini sebagai penghambat kemajuan bangsa. Ia berpendapat bahwa peradaban yang maju lahir dari perpaduan antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan, bukan dari keyakinan irasional yang tak bisa dipertanggungjawabkan.
Logika Mistika vs Mistik
Penting untuk membedakan antara logika mistika dan mistik. Logika mistika adalah cara berpikir yang menghubungkan fenomena secara tidak rasional, sedangkan mistik dalam konteks keimanan mengacu pada keyakinan terhadap hal-hal gaib seperti Tuhan dan malaikat.
Kurt Gödel, seorang ahli logika dan matematika, dalam teoremanya menunjukkan bahwa ada kebenaran yang tidak dapat dibuktikan secara empiris karena keterbatasan manusia. Keberadaan Tuhan, malaikat, dan dimensi spiritual termasuk dalam kategori ini. Namun, ini tidak berarti bahwa setiap pemikiran yang mengabaikan metode ilmiah bisa dibenarkan atas nama agama.
Islam dan Logika Mistika
Sebagian orang beranggapan bahwa cara berpikir logika mistika adalah bagian dari ajaran Islam. Padahal, Islam sangat menghargai akal dan ilmu pengetahuan. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti…” (QS. Al-Hujurat: 6)
Ayat ini menegaskan pentingnya sikap tabayyun (verifikasi) dalam menerima informasi, yang berlawanan dengan pola pikir logika mistika yang sering mengabaikan pembuktian.
Contoh nyata penolakan Islam terhadap logika mistika dapat dilihat dalam peristiwa wafatnya Ibrahim, putra Nabi Muhammad ﷺ. Saat itu, kebetulan terjadi gerhana matahari. Beberapa sahabat beranggapan bahwa gerhana tersebut terjadi karena wafatnya Ibrahim. Namun, Nabi ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kehidupan seseorang…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa Islam tidak membenarkan kesimpulan yang tidak didasarkan pada rasionalitas dan fakta ilmiah.
Dampak Buruk Logika Mistika
Logika mistika sering kali berujung pada kesalahan berpikir yang berdampak negatif. Contohnya adalah anggapan bahwa bencana alam terjadi karena maksiat di suatu wilayah:
“Banjir yang terjadi di kota itu disebabkan oleh banyaknya tempat prostitusi.”
Padahal, penyebab banjir lebih logis dikaitkan dengan faktor lingkungan seperti deforestasi, pengelolaan air yang buruk, dan kebiasaan membuang sampah sembarangan. Alih-alih mendorong upaya mitigasi bencana, cara berpikir ini justru menciptakan stigma dan saling menyalahkan.
Contoh lain adalah kepercayaan terhadap zodiak, yang mengklaim bahwa karakter dan nasib seseorang ditentukan oleh rasi bintang. Padahal, Islam melarang praktik seperti ini karena tidak memiliki dasar ilmiah dan hanya menyesatkan akidah seorang Muslim.
Islam membenarkan keberadaan hal-hal mistik seperti Tuhan, malaikat, dan kehidupan setelah mati, tetapi menolak pola pikir logika mistika yang tidak memiliki dasar ilmiah. Sebagai umat yang diajarkan untuk berpikir kritis, kita harus membangun kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan dalam menganalisis fenomena di sekitar kita.
Meninggalkan logika mistika bukan berarti menolak keimanan, tetapi justru memperkuatnya dengan menggunakan akal yang dianugerahkan oleh Allah untuk memahami dunia secara lebih rasional dan bertanggung jawab.