Merebaknya virus corona atau covid-19 dalam beberapa waktu terakhir ini membuat kita sering mendengar istilah lockdown dan karantina wilayah. Lockdown secara harfiah berarti dikunci, atau seluruh masyarakat diwajibkan untuk berdiam diri di rumah saja dan kebutuhan makan sehari-hari dipenuhi oleh pemerintah.
Sedangkan karantina wilayah lebih kepada pembatasan akses suatu penduduk dalam suatu wilayah akan tetapi masih boleh berinteraksi dalam jarak yang aman.
Pemerintah Indonesia sendiri tidak mengambil langkah lockdown dalam menghadapi wabah covid-19 ini dikarenakan karakter negara kita yang tidak sesuai dengan penerapan langkah lockdown tersebut. Selain itu persiapan yang matang juga diperlukan ketika suatu negara hendak menerapkan lockdown secara total.
Kita bisa melihat India sebagai negara yang dinilai gagal dalam penerapan lockdown ini, seluruh warganya diwajibkan untuk tinggal di rumah saja sedangkan kebutuhan sehari-hari mereka tidak mampu disediakan oleh negara.
Akibatnya banyak masyarakat miskin yang tidak memiliki stok bahan makanan tidak tahan dengan kebijakan tersebut. Kerusuhan pun pecah dikarenakan hilangnya penghasilan dan mengakibatkan kelaparan massal di beberapa tempat.
Peristiwa tersebut dapat kita ambil sebagai pelajaran bahwa ketika sebuah negara ingin menerapkan lockdown total maka harus ada persiapan matang yang disiapkan dari jauh-jauh hari.
Tanpa adanya persiapan, maka langkah lockdown tersebut tidak akan bisa diambil karena akan menimbulkan dampak ekonomi dan sosial yang lebih besar dibanding wabah virus corona itu sendiri.
Adapun yang sangat perlu untuk disiapkan tentunya adalah yang berkaitan langsung dengan kelangsungan hidup manusia yaitu bahan pangan, bukan sandang, papan, atau kebutuhan sekunder dan tersier.
Berhubungan dengan ketersediaan bahan pangan tersebut, kita bisa mengingat kembali kisah Nabi Yusuf AS. tentang mukjizat beliau yang mampu mentakwil mimpi dengan tepat. Pada suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Mesir pada waktu itu untuk manafsirkan mimpi sang raja tersebut.
Di mimpi tersebut sang raja melihat tujuh sapi yang gemuk dimakan oleh tujuh sapi yang kurus dan ada tujuh tangkai gandum yang hijau dan yang lainnya kering. Oleh Nabi Yusuf mimpi tersebut ditakwil bahwa akan datang masa dimana tanah negeri mereka akan mengalami masa subur selama tujuh tahun dan kemudian masa paceklik selama tujuh tahun berikutnya.
Nabi Yusuf saat itu memberikan saran agar memanfaatkan masa tujuh tahun pertama untuk bercocok tanam dan tidak menghabiskan bahan pangan yang dipanen untuk disimpan sebagai cadangan tujuh tahun berikutnya.
Dari kemampuan Nabi Yusuf tersebutlah sang raja kemudian tertarik dan menawarinya jabatan penting di pemerintahan. Sang Nabi pun meminta untuk dijadikan bendaharawan negeri dan diserahi tugas oleh raja untuk menghimpun dan mengatur persediaan bahan pangan. Tugas tersebut dapat dilaksanakan oleh Nabi Yusuf dengan baik.
Masa tujuh tahun yang subur dimanfaatkan dengan maksimal sehingga menghasilkan hasil panen gandum yang melimpah. Dari hasil tersebut diatur sedemikian rupa sehingga bisa mencukupi untuk memenuhi konsumsi rakyat Mesir di tujuh tahun kemudian.
Kisah tersebut mengajarkan kita akan pentingnya ketahanan pangan. Ketahanan pangan yang diterapkan oleh Nabi Yusuf memang diawali oleh keahlian beliau dalam menafsirkan mimpi, yang mana hal tersebut tidak dimiliki oleh sembarang orang pada masa kini. Akan tetapi pada zaman sekarang kita sudah mempunyai ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih.
Dengan ilmu tersebut bisa diketahui waktu-waktu yang tepat untuk bercocok tanam, atau dengan adanya teknologi kita bisa menyuburkan tanah yang awalnya tandus menjadi lahan pertanian.
Benih tanaman juga bisa direkayasa menjadi benih yang unggul sehingga bisa mendapatkan hasil panen yang maksimal. Tinggal kemudian bagaimana mengatur persediaan pangan yang dihasilkan sehingga bisa mencukupi kebutuhan rakyat untuk waktu yang lama.
Walaupun zaman dan keadaan sudah berbeda dimana kegiatan ekonomi saat ini lebih rumit dibanding dahulu, akan tetapi prinsipnya tetaplah sama yakni mencukupi kebutuhan konsumsi rakyat agar tidak kelaparan.
Jika kita ingin menyamakan dengan istilah lockdown, maka pada zaman Nabi Yusuf lockdown yang diterapkan adalah selama tujuh tahun, sungguh tidak bisa dibayangkan jika hal tersebut terjadi pada masa sekarang. Karantina wilayah saja sudah membuat sebagian masyarakat menderita, terutama yang bekerja dengan penghasilan harian seperti driver ojol, pedagang asongan, tukang parkir, buruh harian lepas dan lainnya.
Tidak adanya stok bahan makanan mengharuskan mereka untuk tetap keluar rumah dan bekerja walaupun hasil yang didapat sangatlah kecil.
Menurut data dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) bahwa indeks ketahanan pangan Indonesia dinilai masih rendah walaupun sudah menunjukkan peningkatan yang pesat dalam beberapa tahun terakhir.
Rendahnya tingkat ketahanan pangan tersebut menyebabkan Indonesia secara keseluruhan tidak siap jika dilakukan lockdown total. Mungkin masyarakat di wilayah pedesaan bisa menerapkan hal tersebut, karena memang banyak yang bisa menghasilkan bahan pangannya sendiri. Akan tetapi bagi masyarakat perkotaan yang berpenghasilan rendah akan sulit memenuhi kebutuhan pangannya.
Oleh sebab itulah pentingnya ketahanan pangan nasional sehingga kita tidak perlu repot jika menghadapi situasi yang tidak terduga seperti wabah virus corona ini. Tersedianya bahan pangan nasional akan memudahkan pemerintah untuk memasok kebutuhan masyarakat yang terdampak dari adanya lockdown ataupun karantina wilayah.
Kita bisa belajar dari kisah Nabi Yusuf AS. yang mampu bertahan selama tujuh tahun pada masa paceklik sehingga tidak ada rakyatnya yang mati kelaparan. Semoga negara ini bisa segera pulih kembali dari pandemi ini dan kita semua bisa menjalankan kegiatan seperti sebagaimana biasa.