“Peringkat Indonesia pada PISA 2022 naik sekitar 5 sampai 6 posisi dibandingkan 2018.” Ini diucapkan Nadiem Makarim ketika merilis hasil survei Programme for International Student Assessment 2 Desember 2023 yang lalu.
Hasil ini memunculkan berbagai interpretasi, banyak pihak yang mengapresiasi, namun tak sedikit yang menilai hasil tersebut belum menunjukkan peningkatan siginifikan, karena poin Indonesia mengalami penurunan sebanyak 12 dari tahun 2018, meskipun poin rata-rata negara lain juga turun 18.
Peringkat PISA merupakan standar penilaian literasi membaca, matematika, dan sains. Untuk menentukan peringkat tersebut, PISA menilai siswa berusia 15 tahun yang tersebar pada 81 negara di dunia.
Penilaian PISA bukan sekedar kompetisi, namun juga evaluasi bagi kita untuk menyiapkan generasi literat di Indonesia. Upaya tersebut harus dilakukan secara merata ke seluruh wilayah, baik di perkotaan, pedesaan, dan wilayah terpencil. Bukan hanya bagi mereka yang berusia 15 tahun, tapi dimulai dari usia anak-anak pra sekolah hingga menginjak Sekolah Dasar.
Saya pernah melakukan riset tentang kemampuan literasi di salah satu sekolah terpencil Kabupaten Merangin, Jambi. Sekolah SMP negeri yang berada di tengah hutan dan perbukitan Tabir Barat. Akses jalan dan internet yang tak memadai serta jauh dari Ibu Kota Kabupaten.
Peneliti menemukan rendahnya literasi dasar siswa di sana, beberapa siswa SMP belum fasih membaca, menulis, dan berhitung, sulit mengeja kata dan kalimat, belum mampu memahami teks, serta minimnya minat dan motivasi dalam membaca.
Ketika penulis menanyakan ke salah satu guru tentang mengapa rendahnya kemampuan literasi dasar di sana. Guru itu menjawab “siswa tidak diajarkan membaca dari kecil oleh orang tua mereka.”
Sebuah dilema yang dihadapi siswa di sekolah terpencil, di satu sisi orang tua mereka belum fasih membaca, mereka menyerahkan ke guru, dan guru punya keterbatasan untuk mengajar secara intens selayaknya orang tua di rumah.
Kerjasama guru dan orang tua mengindikasikan kepedulian bersama dalam meningkatkan literasi anak. Peran orang tua dan guru dituntut untuk ramah dalam literasi, membimbing anak mengenal huruf dan angka, menstimulasi tumbuh kembang anak untuk senang membaca, menumbuhkan rasa ingin tahu, serta membelikan buku animasi dan dongeng yang kaya visual.
Dunia anak adalah imajinasi, pikiran simbolis, dan kemampuan representasi. Dalam teori Jean Piaget, seorang ahli Psikologi Perkembangan, anak-anak usia dua sampai tujuh tahun berada pada tahap kognitif preoperasional.
Pada fase preoperasional anak sudah mampu membayangkan objek yang dia lihat, mengenal kata, angka, dan gambar, merekam stimulus yang hadir sebagai representasi mental, berpikir kategoris, serta memahami sebab peristiwa.
Disini pentingnya orang tua menyalakan semangat anak membaca buku, baik dalam bentuk dongeng bergambar atau flash card yang dapat memantik pikiran simbolis anak, orang tua juga menyediakan waktu rutin membacakan buku pada anak, dan menjadi teman diskusi bagi kehausan anak untuk banyak tahu.
Pendidikan literasi yang menyenangkan dari rumah akan menghasilkan anak yang literat. Sedangkan pendidikan literasi yang tidak ramah dan banyak menuntut, membuat anak semakin tertekan dan menjauhi mereka dari keinginan untuk membaca.
Problem lain yang dihadapi bangsa Indonesia dalam literasi adalah kurangnya panutan bagi anak untuk membaca, guru yang hanya menyuruh siswa membaca, tapi tak mempraktikkannya. Banyak guru belum mampu menginspirasi anak dengan mencontohkan kebiasan mereka dalam membaca.
Survei dan riset tentang literasi kita selama ini banyak fokus pada siswa, seolah yang bermasalah semata-mata siswa, kita abai dalam menilai kemampuan literasi guru, bagaimana guru kemudian memahami kebutuhan siswa dalam literasi, serta mengajarkannya ke siswa.
Nadiem Makarim, Mendikbudristek dalam berbagai kesempatan menyebut “ sebagaian besar guru belum fokus ke literasi, lebih banyak mengajarkan materi yang sesuai mata pelajaran saja, misalnya bahasa Indonesia, guru mengajar gramatika dan kosa kata, belum bisa menstimulasi literasi untuk siswa”
Senada dengan itu, Ulfah Alifia, peneliti senior di The SMERU Research Institute menjelaskan bahwa banyak guru merasa kesulitan mengajarkan literasi dan numerasi sesuai tahap perkembangan dan kebutuhan belajar siswa. Para guru tersebut harus diajarkan kembali konsep pembelajaran literasi oleh para pelatih dan pakar yang kompeten dalam literasi. Oleh karena itu, program literasi untuk pendidik mesti jadi prioritas pemerintah kedepan.
Konsep literasi sekolah yang ideal menuntut agar guru punya strategi mendorong siswa mencintai membaca, pendidikan literasi yang disiapkan dengan profesional adalah hak bagi setiap siswa.
Perlu ada program persiapan guru dalam literasi, ini bisa dilakukan pada PPG prajabatan, atau program khusus yang diadakan pemerintah. Literasi merupakan sarana awal bagi siswa untuk menjelajahi ilmu pengetahuan. Dengan pembelajaran literasi yang memadai, siswa tak hanya mampu menguasai ilmu pengetahuan, namun juga mampu menghasilkan pengetahuan baru.
Selain bertumpu pada Sekolah dan guru, kita juga membutuhkan andil masyarakat dalam menghidupkan budaya literasi, suasana lingkungan yang ramah literasi, peran komunitas literasi, taman baca, dan perpustakaan harus menyasar ke kalangan anak-anak agar mereka tertarik untuk membaca, menulis, dan berkarya.
Sebuah contoh dalam menginspirasi anak-anak tentang literasi, saya temukan di taman baca Dayung Habibah Kota Jambi. Kami mewawancarai pengelola dan anak-anak di sana. “literasi di sini mengenalkan anak-anak dengan berbagai jenis buku bacaan, mulai dari dongeng, kisah nabi, dan cerita hewan dan tumbuh-tumbuhan”. Ucap Leni, pengelola taman baca Dayung Habibah.
Selain itu, pengelola juga mendidik anak membaca buku perbagian, misalnya satu halaman atau satu bab per hari, mengajak anak-anak menonton dan bermain game edukatif, belajar berhitung, membuat rangkuman bacaan, dan menghapal kosa kata baru.
Hal lain yang kami temukan di taman baca ini, pengelola mengajarkan anak-anak tentang kepedulian lingkungan terutama persoalan sampah. “Kami disini mengajarkan anak-anak untuk memilah sampah organik dan non organik, yang organik kita buat pupuk dan pakan ikan.” Tambah bu Leni.
Tak hanya masalah kepedulian lingkungan, anak-anak juga belajar pelestarian budaya, mereka belajar tarian khas Jambi, musik tradisional kompangan, dan olahraga dayung. Anak-anak antusias mengikuti lomba seni dan olahraga dayung.
Akhirnya, cara kita mengejar ketertinggalan peringkat PISA merupakan kerja total dari siswa, guru, dan masyarakat. Dengan naiknya peringkat Indonesia di PISA, kita berharap ekosistem literasi semakin membaik. Kita harus menengok kembali literasi yang diajarkan di rumah, sekolah, dan lingkungan warga apakah benar-benar berdampak bagi tumbuhnya keberaksaraan anak-anak.