Di tengah maraknya semangat simbolisme agama mutakhir ini, seperti demonstrasi atas nama agama, pamer poligami, kampanye berjubah, memelihara jenggot, hingga pelabelan kafir terhadap ‘yang lain’ telah membawa kita pada persoalan mendasar cara kita memahami agama itu sendiri. Fenomena tersebut mesti kita cermati sebagai tantangan keberagamaan kita di masa yang akan datang.
Di atas permukaan, siapapun mesti menaruh simpati terhadap mereka yang mampu melakukan ritual keagamaan secara ketat. Hal itu karena semarak ritualisme merupakan hak setiap pemeluk agama untuk menunaikannya secara baik dan benar. Namun, hal tersebut bukan berarti menutup kemungkinan lahirnya pemikiran keagamaan yang beragam. Karena perbedaan ruang telah memberikan kesempatan bagi setiap umat untuk memaknai kembali doktrin keagamaan.
Imam Syafi’i misalkan, karena perbedaan ruang dan waktu telah mendorongnya untuk berijtihad dan melahirkan pandangan yang berbeda, sehingga dia dikenal sebagai ulama yang memiliki dua pandangan: pandangan lama (qaul qadim) dan pandangan baru (qaul jadid). Begitu juga dengan Ibnu Rusyd, meskipun ia terkesan memihak mazhab Maliki, namun jika kita membaca kitabnya Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, maka sebenarnya ia mengapresiasi mazhab-mazhab lain sebagai khazanah yang hadir dalam sejarah Islam.
Persoalannya, mutakhir ini ada semacam klaim kebenaran dari kelompoknya sendiri, sehingga pemikiran keagamaan yang berbeda dianggap salah dan bertentangan dengan ajaran Tuhan. Sejauh ini, saya melihat itu semua berawal dari arus deras semarak literalisme dan tekstualisme (al-fahm al-harfy) dalam pemahaman agama. Tak bisa dimungkiri, ongkos mahalpun harus dibayar sebagai konsekuensi atas merebaknya pandangan keagamaan seperti itu.
Biasanya, pandangan literal bisa dilihat dari beberapa karakteristik. Pertama, unifikasi agama dan pemikiran keagamaan (tawhid al-din wal al-fikr al-diny). Menurut kalangan tekstualis, pemikiran keagamaan adalah agama itu sendiri, sehingga perbedaan pandangan dianggap sebagai perbedaan agama. Padahal ‘ilmu agama’ bersifat profan, sedangkan ‘agama’ itu sendirilah yang sakral. Titik lemah pemikiran keislaman mereka adalah percampuradukan antara keduanya.
Kedua, teosentrisme. Kalangan tekstualis beranggapan bahwa pandangan keagamaan mereka merujuk kepada Tuhan, sedangkan pandangan yang lain merujuk kepada selain Tuhan. Ini menyebabkan munculnya keyakinan bahwa mazhabnya adalah yang paling benar. Atas nama Tuhan mereka menolak perbedaan dan keragaman pandangan. Mereka biasanya menolak modernitas bukan karena watak eksploitasi modernitas, tetapi lebih karena modernitas dianggap bukan berasal dari agama dan dianggap bertentangan dengan ajaran ketuhanan.
Ketiga, otoritas salaf. Kalangan tekstualis beranggapan bahwa salaf adalah yang paling benar, sedangkan yang modern adalah yang tidak benar. Al-salaf al-shalih adalah penghargaan yang diberikan mereka kepada para ulama salaf. Ketergantungan kepada salaf menyebabkan mereka selalu harus menghadirkan yang salaf dalam konteks kemodernan. Yang salaf diyakininya sebagai cara terbaik untuk memecahkan persoalan kekinian.
Ketiga logika-logika tersebut yang biasanya mereka gunakan dalam pandangan dan sikap keagamaan mereka. Sebenarnya, pada titik ini tidak ada masalah. Namun, kerumitan akan menghantui kita ketika mereka menggunakan agama sebagai justifikasi otoritas tertentu. Agama kemudian tidak berarti apa-apa jika tidak diformalisasikan dalam politik praktis. Agama dibentuk sedemikian rupa untuk menjadi ideologi politik. Maraknya kampanye formalisasi syariat sebenarnya didukung sepenuhnya oleh pandangan keagamaan yang bersifat literal dan tekstual ini.
Di sisi lain, mereka juga menggunakan agama sebagai kendaraan untuk membuldoser pandangan keagamaan yang lebih moderat. Akibatnya, perbedaan acapkali diakhiri dengan kekerasan. Faktanya, kita masih mendapatkan sebagian masyarakat yang menggunakan kekerasan, seperti memberi label kafir dan munafik terhadap mereka yang berbeda pandangan agama maupun politik. Langkah tersebut, menurut mereka dilandaskan pada doktrin-doktrin keagamaan yang otentik.
Di sinilah kita mesti mewaspadai adanya sikap-sikap di luar akal sehat, karena hanya akan membawa citra buruk terhadap agama itu sendiri. Pelabelan kafir dan munafik hanya akan mempertegas kekakuan dalam beragama. Muhammad Abduh mempunyai pandangan menarik agar kita menghindari upaya pengkafiran. Menurutnya, “apabila dalam diri seseorang terdapat sembilan puluh sembilan persen kekufuran dan satu persen keimanan, maka ia sebenarnya muslim”. Pandangan tersebut sepatutnya kita jadikan rujukan untuk senantiasa merayakan perbedaan pendapat guna menguak dimensi yang tak terpikirkan dalam agama (allamufakkar fi al-khitab al-diny).
Oleh karena itu, kita mesti mencari model keberagamaan yang lebih menyentuh hajat masyarakat luas. Misalnya, problem kemiskinan yang hampir merata di kalangan masyarakat, problem ketidakadilan di segala sektor kehidupan, hingga problem kebijakan politik yang timpang dan merugikan khalayak ramai. Di sinilah semestinya agama mempunyai konsern untuk melakukan perlawanan terhadap segala bentuk eksploitasi, yang tidak sesuai dengan kemaslahatan dan akal budi.
Karena itu, tantangan keberagamaan kita di masa mendatang bukan hanya sebatas doktrinal, melainkan tantangan yang bersifat empirik, yaitu problem kemanusiaan yang amat mendasar: konflik sosial, kekerasan dan ketidakadilan. Karena keberagamaan kita akan ditentukan dengan sejauhmana pergulatan kita dengan realitas kemanusiaan.
Wallahua’lam