Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat terpisah dari lingkungannya. Oleh karena itu, pada dasarnya manusia dan lingkungan memiliiki keterikatan yang erat antara satu sama lainnya.
Lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku manusia. Begitu juga sebaliknya, manusia memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan yang terjadi dilingkungan. Hal tersebut dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari manusia yang melibatkan berbagai setting lingkungan, seperti rumah, kantor, sekolah, dan lain sebagainya. Selain itu, juga dapat beberapa perilaku manusia juga dapat memengaruhi perubahan lingkungan, baik itu yang bersifat positif atau negatif.
Akan tetapi kondisi lingkungan yang kurang optimal menimbulkan tuntutan yang besar, hingga bisa melebihi kemampuan manusia dalam mengatasinya. Ketidakseimbangan antara tuntutan lingkungan dan kemampuan dari individu dalam memberikan respons ini dapat menimbulkan stress (Steg, Berg, & Groot, 2013).
Stress merupakan respons fisiologis atau psikologis yang muncul akibat adanya stressor. Stress melibatkan berbagai reaksi tubuh dan perasaan serta perilaku dari individu. Sedangkan stress lingkungan merupakan segala jenis stres yang disebabkan oleh faktor-faktor dalam lingkungan fisik dan sosial individu (APA, 2015).
Teori stres lingkungan pada dasarnya merupakan aplikasi teori stres dalam lingkungan. Berdasarkan model input – process – output, maka ada 3 pendekatan dalam stres yaitu stres sebagai stressor, stres sebagai respons/rekasi, dan stres sebagai proses. Oleh karena itu, stres terdiri atas 3 komponen yaitu stressor, proses, dan respon.
Stressor merupakan sumber atau stimulus yang mengancam kesejahteraan individu, misalnya suara bising, panas, atau kepadatan tinggi. Respon stres adalah reaksi yang melibatkan komponen emosional, fikiran, fisiologis, dan perilaku. Proses merupakan proses transaksi antara stressor dengan kapasitas diri. Dengan demikian, istilah stres tidak hanya merujuk pada sumber stres, respon terhadap sumber stres saja, tetapi keterkaitan antara ketiganya (Helmi, 1999).
Secara biologis dijelaskan bahwa manusia akan menunjukkan respons adaptif fight or flight ketika individu dihadapkan dengan situasi darurat. Respons fight-or-flight ini melibatkan aktivasi sistem Sympathetic Adrenal Medullary (SAM). Dalam keadaan darurat, sistem fisiologis ini mengatur pelepasan adrenalin, mendorong peningkatan cepat dalam tekanan darah, pembekuan darah, detak jantung dan kadar gula dalam darah, penurunan kecepatan pencernaan, dan alokasi sumber daya energi ke otot. Setelah keadaan darurat berlalu, sistem kembali ke tingkat dasar, sebuah proses yang disebut homeostasis (Steg & Groot, 2019).
Di kehidupan sehari-hari, jenis stressor yang sering dijumpai berasal dari lingkungan seseorang. Salah satu sumber stress individu adalah crowding atau perilaku berkerumun pada suatu tempat atau lokasi tertentu. Secara harfiah, crowding (kerumunan) didefinisikan sebagai suatu keadaan psikologis yang terjadi ketika seseorang merasakan jumlah individu di lingkungan atau di sekitarnya melebihi preferensinya (Stokols, dalam Bilotta, Vaid, & Evans, 2019).
Crowding muncul apabila individu merasa sedang berada dalam posisi terkukung akibat persepsi subyektif akan keterbatasan ruang. Oleh karena itu, crowding adalah perasaan subyektif individu terhadap keterbatasan ruang yang ada atau perasaan subyektif karena terlalu banyak orang lain di sekelilingnya (Helmi, 1999).
Stress yang dirasakan oleh individu akibat dari adanya crowding ini disebabkan oleh rasa sesak yang muncul karena adanya keterbatasan ruang. Hal tersebut terkadang menyebabkan individu merasa terganggu karena personal space yang dianggap semakin berkurang akibat crowding.
Personal space merupakan sejumlah area atau ruang lingkup yang mengelilingi individu dan bergerak bersama individu tersebut (APA, 2015). Personal space dapat dilihat memiliki dua tujuan utama, yaitu yang berkaitan dengan fungsi “melindungi” individu dari potensi ancaman emosional dan fisik dan sebagai alat individu untuk berkomunikasi. Jarak yang ditunjukkan oleh individu dari orang lain menentukan saluran komunikasi sensorik yang paling menonjol dalam interaksi yang dilakukan oleh individu (Paul, Fisher, & Loomis, 1978).
Ketika individu merasakan crowding terjadi, maka personal space yang dimilikinya akan semakin sedikit. Jika personal space tidak memadai, berbagai coping strategy digunakan, yang mungkin akan berhasil atau tidak. Ketika coping berhasil akan mengarah pada adaptasi atau pembiasaan, dan kemungkinan efek sampingnya lebih kecil. Namun, jika coping tidak berhasil, pemosisian yang tidak tepat dapat menyebabkan efek samping, seperti tidak menyukai yang lain, kinerja yang buruk, dan sebagainya (Paul, Fisher, & Loomis, 1978).
Oleh karena itu, ketika individu merasakan stress karena adanya crowding yang dirasa mengganggu personal space dari individu, diperlukan coping strategy yang tepat. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sari, Gunawan, dan Septiani (2018) menjelaskan bahwa coping strategy dilakukan oleh individu yang merasa stress karena crowding adalah emotion focused coping karena subjek lebih menekankan pada upaya untuk mengurangi berbagai reaksi emosional negatif terhadap stress yang di hadapi akibat tinggal di lingkungan padat atau bising, bahkan keduanya.
Sedangkan, Hermawan (2014) mengungkapkan bahwa remaja lebih banyak menggunakan emotion focused coping dengan strategi positive reappraisal, yaitu usaha untuk menciptakan makna yang positif dengan memusatkan pada pengembangan personal dan juga melibatkan hal-hal yang bersifat religius.
Meskipun demikian, perlu dipahami bahwa setiap individu memiliki perbedaan dalam menilai suatu stressor. Oleh karena itu, hendaknya setiap individu dapat mengenali diri sendiri dengan lebih baik, terutama faktor-faktor yang menyebabkan munculnya stress. Ketika individu tersebut merasakan stress akibat adanya stressor lingkungan dalam hal ini akibat terganggunya personal space karena adanya crowding, maka cara yang dapat dilakukan adalah melakukan coping strategy yang tepat, yaitu yang sesuai dengan diri individu tersebut. Dengan demikian, stress lingkungan tidak mengganggu kehidupan sehari-hari individu.