Rabu, April 24, 2024

Lika-Liku Solar Power Plant

Habibah Auni
Habibah Auni
Mahasiswa biasa yang mencintai dunia kepenulisan. Topik yang disukai seputar politik, sosial, dan energi.

Teknologi energi terbarukan, terutama energi solar sudah diterapkan di berbagai negara. Investasi global di energi terbarukan pada tahun 2015 mencapai US$312.2 Milyar. China menginvestasikan untuk energi terbarukan sebesar 32% dari total investasi global, yakni US$312.2 Milyar (Gibson, et al., 2017).

China merupakan salah satu negara yang memiliki kapasitas energi solar terbesar, yakni 77.4 GW untuk PV. Kapasitas solar PV sendiri di China mengalami peningkatan sebesar 33% (dari 228 ke 303 GW) pada tahun 2015-2016. Sedangkan kapasitas Concentrating Solar Power (CSP) di China pada tahun yang sama mengalami peningkatan menjadi 4.8 GW, dimana nilainya hanya 1.6% dari kapasitas solar PV.

Ditambah lagi, China diprediksikan mengalami peningkatan konsumsi energi sebesar 60% dalam rentang waktu 2015-2030. Energi solar diprediksikan meningkat dari 0.3 menuju 4.8 TWh (dari 0.4% ke 3.4%). Peningkatan konsumsi energi ini sejalan dengan kapasitas energi yang dibutuhkan.

Berangkat dari contoh yang terjadi di China, jika ingin mendapatkan kapasitas energi yang banyak, solar power plant membutuhkan area lahan yang luas dan penggunaan air yang masif. Adapun lahan digunakan untuk pemasangan power plant, sementara air digunakan untuk mendinginkan steam turbin serta membersihkan panel solar dan permukaan reflektif.

Solar power plant potensial ditempatkan di daerah yang sangat dekat dengan garis ekuator dan awan dengan jumlah yang minim. Alokasi power plant demikian dapat menghasilkan energi solar yang berlimpah.

Sayangnya, pengembangan solar power plant kerap kali mematikan tumbuhan dan menghasilkan debu yang banyak. Konstruksi solar power plant juga dapat menghancurkan sarang binatang seperti burung. Burung di USA terestimasi 38.000-138.000 mati tiap tahun. Kematian burung ini disebabkan oleh pengembangan utilitas solar power plant.

Sedangkan bagi sebagian serangga air, solar panel terlihat seperti permukaan air, yang pada akhirnya membuat mereka menempati dan bertelur di atas panel. Hal ini menyebabkan hasil reproduksi serangga terbuang secara percuma. Sehingga instalasi solar tidak boleh dibangun di habitat yang sensitif secara ekologis.

Selain itu, komitmen pemerintah yang besar terhadap penggunaan lahan untuk pembangunan teknologi energi solar mengundang kekhawatiran beberapa gerakan lingkungan. California-based Alliance for Responsible Energy Policies mengungkapkan bahwa projek Big Solar mendorong terjadinya “penghancuran permanen terhadap lahan publik yang bertujuan untuk memenuhi keinginan pihak yang berkuasa”.

Banyak pihak yang mengeluhkan bahwa pengembangan energi solar akan mengubah lanskap lingkungan, entah secara alami atau buatan. Lahan akan tereduksi penggunaannya karena dikuasai energi solar saja (Pasqualetti, 2011). Padahal fungi awal energi solar adalah memberikan kebermanfaatan kepada masyarakat dan lingkungan, yang difasilitasi dengan lahan yang digunakan. Biodiversitas di sekitar lahan juga akan berkurang karena dampak yang ditimbulkan oleh emisi solar power plant.

Solar power plant juga dapat menjadi tantangan tersendiri dalam penerapannya apabila diterapkan untuk daerah lokal.  Tantangan itu berupa: (1) Menerjemahkan tujuan kebijakan energi nasional agar kebijakan diterima oleh tiap daerah dan (2) memperkenalkan kebijakan energi terbarukan.

Tantangan dalam penggunaan teknologi energi terbarukan tentu tidak luput dari faktor pandangan publik terhadap teknologi energi terbarukan. Bias pandangan publik terhadap penerimaan teknologi energi terbarukan (berupa solar power plant) tentu menyebabkan hadirnya tantangan teknologi energi terbarukan di tengah masyarakat. Bias ini terjadi karena kesalahpahaman dari planners, investor, dan pembuat kebijakan.

Namun pemerintah dapat mengatasi tantangan tersebut apabila produksi energi terbarukan dapat membantu ekonomi masyarakat lokal dengan tiga political approach yang berbeda: (1) Menciptakan lapangan pekerjaan, (2) Menciptakan pajak lokal dari energi yang terjual, dan (3) mengecilkan biaya beli energi.

Secara filosofis, tentu dapat dilihat bahwa terdapat gap antara realita penerapan teknologi dengan idealita penggunaan teknologi yang sewajibnya seperti apa. Realita yang tengah terjadi adalah dampak secara sosial dan lingkungan terhadap lahan yang digunakan untuk pembangunan solar power plant.

Secara sosial, masyarakat belum tentu mau menerima energi solar karena bias pandangan terhadap teknologi energi terbarukan. Bias ini terjadi karena komunikasi politik yang kurang berjalan dari pihak pemerintah kepada masyarakat. Pun dari sisi lingkungan, solar power plant menyebabkan terancamnya biodiversitas binatang dan tumbuhan yang tinggal di lahan, mereduksi penggunaan lahan, serta kekeringan lahan.

Berangkat dari realita yang terjadi, teknologi perlu dipahami sebagai entitas yang berdiri sendiri dan harus dikotomikan dengan pengertian mesin. Teknologi yang sepatutnya adalah entitas yang mengintegrasikan mesin ke masyarakat dengan cara mengkonstruksikan dunia, dimana mesin dapat menciptakan keteraturan dalam kehidupan manusia yang kerap kali dihancurkan oleh mesin. Teknologi, dengan kata lain, menggunakan mesin sebagai alat untuk mencapai kebajikan.

Penggunaan teknologi energi terbarukan juga dilandaskan dengan kesadaran terhadap realita sosial. Seperti Langdon Winner (1977) yang mengatakan bahwa kepemilikan, desain, kontrol, otonomi, dan tanggung jawab yang berhubungan dengan teknologi tidak ditentukan dengan karakter teknologi, namun setting refleksi sosial (Bryne, et al., 2006).

Berarti teknologi yang tepat sasaran penggunaannya, dikonstruksi dengan melihat kenyataan sosial. Bila realita tidak mendukung penggunaan teknologi energi terbarukan, maka teknologi tidak diterapkan. Begitu juga sebaliknya.

Penerapan teknologi energi terbarukan juga harus memerhatikan aspek keadilan terhadap masyarakat yang terkena dampaknya. Aspek keadilan tersebut dapat dibangun dengan menjadlin hubungan dan memupuk rasa percaya antara pemerintah dengan masyarakat. Outcome perlu diperhatikan agar mengetahui sisi mana yang adil dan tidak adil bagi masyarakat.

Goals akhirnya agar teknologi energi terbarukan tepat sasaran adalah dengan menginisiasi perubahan kebijakan politik energi. Pandangan politik dan tanggung jawab politik mesti dimasukkan dalam kebijakan politik energi. Apabila kedua komponen ini tidak dapat mendorong perubahan kebijakan politik energi, kelangkaan sumber daya dan harga yang melunjak dapat menjadi pengganti untuk mendorong perubahan kebijakan politik energi.

 

Habibah Auni
Habibah Auni
Mahasiswa biasa yang mencintai dunia kepenulisan. Topik yang disukai seputar politik, sosial, dan energi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.