Angka-angka elektabilitas hasil kesimpulan sementara yang dirilis sejumlah lembaga survei, seringkali dimaknai berbeda oleh elit politik pengusung capres-cawapres. Padahal, hasil survei bukanlah satu-satunya alat ukur mutlak bagi pasangan capres-cawapres, untuk bisa menang atau kalah dalam kontestasi politik. Rakyat justru memiliki pandangan unik terhadap hasil survei. Contohnya, si Ujang, salah satu pedagang mie rebus yang saya temui di stasiun Serpong, menolak keras hasil survei.
Berita seputar dua pasangan capres-cawapres (Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi), semakin hari semakin ramai diekspos media mainstream maupun sosial media. Rakyat mau tak mau terbawa arus untuk mengikuti perkembangan menuju proses suksesi kepemimpinan nasional tahun 2019 mendatang.
Bukan hanya itu, warganet di sosial media juga berlomba-lomba menyampaikan aneka komentar dan kecamannya terhadap dua pasangan capres-cawapres dengan bahasa yang terkadang vulgar dan menyakitkan.
Sejumlah elit politik mendefinisikan seorang capres maupun cawapres haruslah memiliki kedekatan dengan kalangan santri dan kaum muslim, mempunyai hubungan baik dengan kelompok militer serta menjalin sinergitas dengan kalangan profesional dan pengusaha. Setiap politisi sah-sah saja menentukan syarat dan kriteria seorang calon pemimpin bangsa. Hanya yang perlu diingat adalah bahwa negeri Indonesia bukanlah milik salah satu golongan (SARA) atau parpol tertentu. Indonesia adalah milik rakyat dari Sabang sampai Merauke.
Kepercayaan Publik
Tak kalah menariknya, sejumlah lembaga survei juga ikut terlibat jelang pilpres 2019. Mereka, secara periodik memaparkan hasil surveinya tentang elektabilitas dua pasangan capres-cawapres ke hadapan publik. Terkadang, antarsesama lembaga survei memiliki perbedaan angka elektabilitas yang signifikan.
Tingkat elektabilitas dua pasangan capres-cawapres yang disurvei, secara langsung maupun tak langsung bisa mempengaruhi opini publik. Namun demikian, publik juga punya hak untuk percaya atau tidak terhadap hasil sebuah survei. Tingkat kepercayaan publik terhadap hasil survei sangat tergantung dari nalar politik mereka, ketika merespons isu-isu politik yang berkembang di masyarakat.
Pada akhir abad ke-18, di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, peran opini publik sangat fenomenal. Munculnya opini publik sangat terkait dengan kondisi komunikasi politik di Eropa maupun Amerika Serikat. Ketika itu, opini publik melahirkan istilah vox populi,vox dei yaitu suara rakyat adalah suara tuhan.
Emory S. Bogardus dalam bukunya The making of Public Opinion (1951) mengatakan bahwa opini publik merupakan hasil pengintegrasian pendapat berdasarkan diskusi dalam masyarakat demokratis. Dengan kata lain, Bogardus menilai bahwa pendapat kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat merupakan sintesa pendapat yang dihasilkan dalam sebuah diskusi sosial yang berasal dari pihak-pihak yang memiliki kaitan kepentingan.
Hasil survei diasumsikan bisa menggiring opini publik dalam menentukan sikap politik mereka, saat memilih presiden dan wakil presiden di pilpres 2019 mendatang.
Strategi Komunikasi Politik
Nah, ngomong-ngomong soal peran lembaga survei yang lagi tren saat ini, saya teringat waktu kongkow santai dengan si Ujang, pedagang mie rebus di sekitar kawasan Stasiun Serpong, belum lama ini.
“Lembaga survei itu mirip pedagang K5,” celetuk Ujang.
“Haaa..haa…haa,” saya tertawa ngakak.
“Kenapa saya bilang lembaga survei mirip pedagang K5? Kalau pedagang K5 nyari ‘pulusnya’ berjualan untuk masyarakat kelas bawah. Sedangkan, lembaga survei berdagang research alias hasil penelitian kepada parpol yang membutuhkan,” sambung Ujang yang menurut pengakuannya, kuliahnya putus di tengah jalan.
Lebih jauh Ujang mengungkapkan, para pedagang K5 tidak membutuhkan teori dalam berdagang. Mereka cuma nyari untung beberapa persen (mereka bisa saja berbohong soal kualitas barang). Tapi, kalau lembaga survei pasti memakai segudang teori.
“Bisa jadi, ada parpol memesan jasa lembaga survei dengan kesepakatan tertentu. Jadi, kemungkinan besar hasil research bisa ‘diatur’ sedemikian rupa. Apalagi kalau parpol pemesannya berani bayar mahal,” tutur Ujang.
“Kok bisa?” Tanya saya.
“Karena hasil research itu, dinilai bisa mengubah sikap dan opini masyarakat,” jawab Ujang.
Ujang langsung membongkar Teori Public Opinion dari seorang ilmuwan berkebangsaan Amerika Serikat, James Lull [1998]. Menurut Ujang, teori Lull sangat tepat untuk melihat signifikansi hasil research. Hasil survei yang dipaparkan kepada publik merupakan strategi komunikasi lembaga survei untuk mengubah sikap dan perilaku massa sekaligus membentuk citra baru terhadap tokoh yang ada dalam tabel ranking survei.
Tak puas sampai di situ, Ujang juga membeberkan Teori Stimulus-Organisme-Respons [SOR] yang diperkenalkan psikolog negeri paman Sam, Burrhus Frederic Skinner [1990]. Ujang berpendapat, antara teori James Lull dan Skinner saling berkait. Dalam pandangan Ujang, perilaku seseorang akan berubah karena adanya rangsangan dari luar.
“Gimana puas? Saya mau nganter mie pesanan dulu, ntar kita ngobrol lagi bro,” kata Ujang langsung ngeloyor meninggalkan saya yang bengong.
Usai ngobrol singkat dengan Ujang, saya mulai berpikir, mungkin saja angka-angka hasil research sudah dimanipulasi untuk tujuan politik. Untuk mengubah satu angka saja, mungkin harganya mahal. Jadi, angka-angka yang ada dalam hasil research belum tentu sebagai realitas yang sebenarnya. Betul juga omongan si Ujang.