Damai menjadi kata yang kerap ada dalam kitab suci di berbagai agama. Sekian ayat-ayat maupun ucapan tentang damai melulu ditutur-dengarkan kepada manusia. Tidak hanya itu, di buku cerita, damai malah menjadi topik utama agar dibaca oleh mereka sejak usia belia. Harapannya tentu bisa berdampak pada laku hidupnya di masa mendatang bahwa, damai merupakan laku bajik yang melulu harus diupayakan oleh semua orang, tanpa kecuali.
Hanya saja, kedamaian di masa dewasa ini menjadi lebih kompleks dengan sekian variabel dan temuan kasus di kehidupan nyata. Merujuk pada Kamus Webster, perdamaian didefiniskan sebagai: “Keadaan tenteram atau hening; bebas dari gangguan sipil; keadaan keamanan atau ketertiban dalam suatu komunitas yang diatur oleh hukum atau kebiasaan; khususnya, tidak adanya atau berhentinya perang; keadaan rekonsiliasi setelah perselisihan atau permusuhan.” Definisi ini lazim ditemui dikutip oleh banyak tokoh di banyak literatur.
Sedangkan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, damai didefinisikan sebagai tidak ada perang; tidak ada kerusuhan; tenteram; tenang; keadaan tidak bermusuhan; rukun. Beberapa kata turunannya antara lain berdamai; kedamaian; memperdamaikan; pendamai; perdamaian; terdamaikan. Definisi tersebut pada dasarnya menegasikan ragam ucapan, laku, maupun pikiran yang menjurus pada konflik, perseteruan, atau pertikaian yang menelan korban jiwa dan memicu kerugian material.
Dr. Muhammad Rafique Anjum dalam risetnya berjudul Concept of Peace in World’s Major Religions: An Analysis (2017) memberi legitimasi mengenaikan kehidupan manusia yang damai. Di situ ia menyebut sekian agama populer yang ada di dunia mulai dari Hindu, Budha, Jain, Sikh, Yahudi, Kristen, dan Islam. Penyebutan itu didasarkan pada kemunculan pertama agama tersebut di dunia.
Selain itu, ia juga memberi konsep dasar tentang hidup manusia yang damai dari kitab suci atau ucapan tokoh masing-masing setiap agama. Konsep itu nanti juga menjawab bagaimana manusia bisa hidup dengan damai, kendati fakta di sekitarnya ditemui beragam agama dengan sekian corak penafsirannya?
Saya rasa ada dua kesan menarik dari risetnya ini. Pertama, ia berangkat bukan dari penegasian kasus kekerasaan di dunia yang jamak dilakukan oleh manusia lantas ditarik menjadi konsep kedamaian. Ia malah berangkat dari diksi ahimsa yang kemudian didefiniskan sebagai non-kekerasan. Ia juga memiliki asumsi bahwa diksi ahimsa ini merupakan prinsip dasar kedamaian yang terdapat pada agama-agama sesudahnya.
Kemudian yang kedua, ia memulainya tidak dengan mencari benang merah dari setiap agama dalam konteks kedamaian, melainkan dengan menyodorkan sekian ayat-ayat di kitab suci yang berbicara tentang kedamaian, atau pendapat otoritatif dari masing-masing tokoh agamanya. Dengan begitu, kita sebagai pembaca dapat memberi interpretasi tanpa harus diberitahu dari mana titik bertemunya masing-masing agama jika bicara tentang kedamaian. Pembaca diajak untuk sedikit berpikir dan menemukan sendiri.
Sebagai contoh-saya sebut beberapa-pada Kitab Yajurveda, 36:17 ada doa yang bermuara pada pengharapan kedamaian. Disebutkan: “… Semoga segala sesuatu di alam semesta menjadi damai/ Biarkan kedamaian melingkupi manusia setiap saat/ Semoga saya mengalami kedamaian itu dengan hati saya sendiri.”
Kemudian dua perintah dari lima perintah dalam Budha disebut, tidak boleh membunuh makhluk hidup dan tidak boleh mengambil apa yang tidak diberikan kepada Anda.
Di agama Yahudi, ada legitimasi di kitab suci yang sebenarnya memberi penekanan pada penegasian peperangan. Misalnya: “Tuhan mengumumkan ke Yerusalem bahwa mereka [Israel] akan ditebus hanya melalui perdamaian,” Ulangan Rabah 5:15.
Pun di agama Kristen juga demikian. Ungkapan Yesus dari Kotbah di Bukit dalam injil Matius misalnya: “Tetapi Aku berkata kepadamu: janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu,” (5:39).
Terakhir di agama Islam, kedamaian jadi orientasi yang perlu diejawantahkan dalam banyak hal. Tapi jika merujuk pada kitab suci Al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang secara gamblang menegaskan urgensi perdamaian. Misalnya: “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya”, Surah Al-Maidah 5:32.
Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah, ketika legitimasi kedamaian di kitab suci ini dihadapkan pada fakta dari serangkaian kejadian kekerasan, penganiayaan, teroris, pembunuhan, dan seabrek kejadian yang menghilangkan nyawa manusia, maka seakan-akan legitimasi kedamaian itu menjadi sesuatu yang tidak realistis dan sulit untuk dilakukan.
Belum lagi jika dihadapkan pada kultur hari ini yang serba kompetitif. Semua ingin diakui dengan prestasinya, semua organisasi ingin diakui dengan pencapaiannya, dan malah beberapa pengikut agama tertentu ingin diakui sebagai agama yang benar.
“Lantas jika demikian, agama dengan kitab sucinya malah memicu pada kerusakan, bukan kedamaian?”, tanya teman saya sekali waktu yang relevan dengan topik kedamaian ini.
Saya berpendapat tidak. Kenapa? Karena agama melalui ajaran di kitab suci dan nabinya itu benar. Hanya saja kadang penafsirannya yang kurang pas. Dan apesnya, penafsiran yang sekiranya dapat dikritik, dibenahi, dan dibuat ulang dengan porsi proporsional malah menjadi semacam dogma yang tidak bisa diganggu gugat.
Karena berangkat dari penafsiran yang kurang pas ini kemudian diterapkan, wajar jika di sana-sini ada gesekan dan percikan konflik. Dan saya rasa, kasus-kasus semacam ini lumrah terjadi pada setiap agama yang memiliki anggota dengan ragam latar belakang pendidikan, ekonomi, kondisi psikologi, serta afiliasi politik. Begitu.