Jumat, Oktober 11, 2024

Legitimasi Agama, Barang Lama yang Masih Laku Dijual

Madyan Iyan
Madyan Iyan
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah

“…Mula-mula didekatinya para intelektual dan kaum moralis untuk mendapatkan legitimasi bahwa usaha kudetanya legal. Karena bagaimanapun usaha politik butuh legitimasi baik agama maupun sejarah dan identitas…” demikian prakata Pramoedya dalam roman Arok Dedes.

Patut diakui apa yang dikatakan Pramoedya ada benarnya. Namun bedanya hari ini legitimasi agamis bukan untuk kudeta tapi demi mendulang suara elektorat. Saat ini saja sudah segudang cerita bagaimana para politisi mendekati para pemuka dan kelompok agama demi meraup dukungan dan suara.

Bukannya tanpa alasan mereka melakukan hal demikian. Tentu dengan kesadaran tinggi dan usaha cerdik mereka sadar bahwa mendapatkan legitimasi agama akan menjadi strategi politik yang jitu.

Masyarakat muslim sebagai mayoritas tak luput menjadi incaran mereka. Diskursus nasional yang dikuasai umat muslim pasca gerakan 212 menjadi kesempatan para politisi untuk meraih dukungan dari kelompok ini. Hasilnya, Konsolidasi dengan berbagai macam kelompok muslim pun terus digiatkan oleh para paslon kandidat 2019 nanti.

Bahkan belum lama ini muncul apa yang diklaim sebagai “Ijtima ulama” yang menghasilkan dukungan pada salah satu paslon. Terlebih lagi lawannya pun tak mau kalah, dengan alasan meredam perpecahan ia mengusung calon wakil presiden dari tokoh terkemuka salah satu organisasi  muslim kenamaan.

Secara garis besar deskripsi di atas menggambarkan betapa lakunya agama digunakan sebagai modal dalam pemilihan disamping kebutuhan materil. Tentunya yang patut kita pertanyakan adalah kenapa barang lama ini masih laku?

Referensi nilai

Bukan barang baru usaha mendapatkan legitimasi agama digunakan dalam pusaran politis atau kepentingan. Pada masa kolonial di Indonesia saja fenomena menggunakan agama sebagai batu loncatan politis telah banyak digunakan.

Misalkan saja usaha Belanda dalam meredam kekacaun di daerah Aceh dengan mengangkat penghulu-penghulu Islam sebagai pegawai negri. Kemudian dizaman kolonial Jepang demi meraup basis massa kalangan Islam Jepang mengizinkan kembali organisasi Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) yang sebelumnya dilarang.

Lalu dizaman orde baru, pada awal 1990-an Presiden Soeharto beralih haluan yang tadinya bertentangan dengan kelompok Islam kemudian menggaet kelompok-kelompok ini untuk masuk ke dalam pemerintahannya.

Dalam agama nilai merupakan hal yang premier karena mengandung ajaran-ajaran kepercayaan. Nilai merupakan hal yang sentral bagi para pemeluknya. Bagaimanapun juga segala macam aturan yang terdapat dalam agama merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai agama itu sendiri.

Mengutip dari Koentjaraningrat sistem nilai merupakan tingkat paling tinggi dan paling abstrak. Hal itu dikarenakan nilai memberikan penjelasan dan pandangan mengenai sesuatu yang ada. Itu artinya bagi para pemeluk agama system nilai memberikan pedoman dan orientasi bagi mereka.

Indonesia yang dikenal sebagai negeri timur dimana nilai-nilai mengakar kuat dalam masyarakatnya tentunya ajaran atau nilai-nilai agama menjadi refrensi diantara pertimbangan rasional dalam tindakan masyarakatnya. Ini sesuai dengan konsep yang diberikan Weber mengenai salah satu tipe tindakan social yakni tindakan rasionalitas berorientasi nilai.

Dalam masyarakat yang berorientasi nilai, rasionalitas mereka atau pertimbangan mengenai pilihan-pilihan sebelum bertindak telah tersedia dalam system ajaran mereka. Bagi mereka yang beragama bisa jelaskan pilihan tindakan mereka hanya memiliki dua pilihan mengikuti akan selamat atau tak mengikuti namun berdosa.

Dilain hal tipe tindakan sosial masyarakat mempengaruhi konsep legitimasi social. Dalam masyarakat yang berorientasi nilai, ajaran agama bisa menjadi legitimasi terhadap tatanan social. Misalkan apabila suatu rezim bertentangan dengan nilai kepercayaan maka rezim tersebut dianggap tidak layak dan bisa saja dijatuhkan.

Selain itu orang-orang yang dianggap berkaitan dengan symbol agama (Ulama, Pastur, dll) juga menempati posisi yang signifikan dalam pembenaran atau pengaruh terhadap legitimasi suatu tatanan. Contohnya saja bagaimana gerakan 212 dimobilisir oleh salah satu ulama, dengan agitasinya yang berapi-api menuntut dipenjarakannya salah satu mantan gubernur Jakarta karena dianggap menista agama mampu menyihir ribuan massa muslim di Jakarta.

Dengan tipe tindakan masyarakat Indonesia yang secara teoritis demikian menjelaskan kenapa mendapatkan legitimasi agama masih  laku dalam strategi politik. Sifatnya yang kelihatan simplitis tapi telah terbukti efektif inilah yang membuatnya laku bahkan laris manis dekat-dekat pilpres ini.

Terlebih lagi pasca gerakan 212 yang berhasil menaikan pasangan gubernur dan wakil gubernur Jakarta saat ini. Tentu dengan mendekatkan diri pada ulama atau simbolis agama lainnya akan menjadi jurus ampuh bagi kandidat capres dan cawapres yang melaju 2019 nanti.

Peran signifikan simbolis agama

Ulama, Pastur, dan simbolis agama lain Sebagai wakil dari masing-masing umat memiliki posisi penting dalam menjaga persatuan. Sebagaimana yang telah diungkapkan diatas bahwa dalam tipe tindakan social orientasi nilai simbolis agama mampu memberi efek pada legitimasi keagamaan, yang tentunya akan cukup berpengaruh bagi umat. Politisisasi agama ini sudah selayaknya diredam dari kalangan simbolis agama karena posisi mereka yang berarti dalam umat.

Kepercayaan umat atas kompetensinya dalam menyampaikan ajaran-ajaran tuhan sudah sepatutnya menjadikan para simbolis agama ini menjauh dari praktisi kepentingan politik sesaat yang bertolak dari keutamaan ajaran. Dengan mengambil sikap yang konsisten terhadap kepentingan umat semata dan menjunjung prinsip netralitas sekiranya  menjadi modal yang harus dimiliki oleh para simbolis agama.

Bila suatu kali datang safari paslon suatu kubu sudah sepatutnya diterima dan diwejang dengan asupan yang baik. Karena bagaimanapun agama mengajarkan untuk melayani mereka yang bersilaturahmi. Namun bila ditawari suatu posisi atas imbalan jasa tertentu sudah sepatutnya para simbolis agama kembali kedua prinsip di atas, konsisnten dan netral.

Karena bagaimanapun mereka yang dianggap mewakili suatu ajaran adalah tuan rumah bagi siapapun walaupun mereka mengunjungi penguasa sekalipun. Karena simbolis agama meminjam kata-kata dari Rumi menghias dirinya dengan ilmu bukan untuk menarik perhatian, tapi untuk tuhan semata.

Dengan kata lain ulama, pastur, biksu, dan para simbolis agama lainnya sudah sepatutnya dan selayaknya menyebarkan nilai-nilai positif ajaran tuhan. Tanpa tendensi, tanpa ujaran negative. Karena bagaimanapun simbolis agama bagaikan matahari yang seharusnya selalu memancarkan cahaya.

Referensi

Johnson, D. P. (1994). Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Prof. Dr, K. (2015). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka cipta.

Madyan Iyan
Madyan Iyan
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.