Masyarakat Indonesia menganggap PSK sebagai pekerjaan yang tabu, memalukan, aib, hina, dan melanggar norma. Stigma yang disematkan masyarakat pada PSK adalah seseorang yang haus seks, tuna seksual, penyebar penyakit seksual, penyakit masyarakat, dan stigma negatif lain. Kondisi ini menyebabkan kehidupan PSK didiskriminasi oleh masyarakat, mereka mengalami kekerasan fisik maupun non-fisik dari ormas dan negara. Entah itu ormas yang bermain hakim sendiri ataupun ormas yang mendapat legitimasi dari negara.
Pada kenyataannya, sikap negara yang menyatakan prostitusi ilegal pada akhirnya tidak pernah bisa menyelesaikan masalah prostitusi. Penggusuran yang dilakukan pemerintah hanya akan membentuk prostitusi-prostitusi baru di tempat baru. Tidak hanya itu, penggusuran-penggusuran yang dilakukan pemerintah pada kenyataannya hanya menciptakan model-model prostitusi yang semakin berkembang, semakin canggih, dan semakin merugikan PSK, masyarakat, dan pemerintah.
Sikap negara yang meng-ilegalkan prostitusi akan menyebabkan penindasan dan penghisapan pada PSK. Menurut Karl Marx, hubungan antara pekerja-pemodal adalah penghisapan pemilik modal kepada pekerja. Dimana pemilik modal memanfaatkan raga, kerja, dan kehidupan pekerja untuk memperkaya pemilik modal lewat produksi barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh kaum pekerja (Marx, 1959). Dalam konteks relasi mucikari-PSK, relasi antara PSK dan mucikari adalah relasi penghisapan mucikari terhadap PSK sebagai buruh, lebih tepatnya buruh seks.
Relasi antara PSK dan mucikari memiliki keunikan yang berbeda dari relasi buruh-pemilik modal. Pada relasi industrial antara buruh-pemilik modal, modal dimiliki oleh pengusaha sehingga pengusaha memiliki legitimasi untuk menghisap buruh dimana buruh memberi daya tawar tenaga kerja. Pada relasi PSK-mucikari, modal dimiliki oleh PSK dimana badan sebagai modal utama. Sementara itu, mucikari hanya memfasilitasi modal pendukung seperti pelindung PSK dari pihak berwenang, pencari pelanggan, menyiapkan tempat, dan mengumpulkan PSK.
Dalam relasi antara PSK-mucikari, PSK sebagai buruh seksual mengalami penindasan dan penghisapan yang berat. Pertama, PSK harus menanggung keperawanan mereka hilang untuk memperkaya mucikari; Kedua, PSK harus siap menanggung penyakit seksual yang berbahaya seperti HIV/AIDS; Ketiga, PSK harus menanggung status sebagai ‘perempuan nakal’. Stigma ini membuat seorang PSK menerima diskriminasi dan dikucilkan dari masyarakat; Keempat, PSK harus tersiksa melayani berbagai pelanggan yang menginginkan gaya hubungan intim yang berbeda-beda. Kondisi ini tentu saja membuat PSK tersiksa secara batin dan fisik. Dalam relasi PSK-mucikari dapat dilihat bahwa pada dasarnya seorang PSK merupakan budak. Seorang PSK tidak berkuasa atas tubuh dan jiwanya sendiri. Dalam relasi ini tubuh dan jiwa PSK dimiliki oleh mucikari dan oleh pelanggan yang ‘menyewa’ PSK. Singkatnya, PSK tidak merdeka atas dirinya sendiri.
Pada dasarnya, fenomena PSK dan prostitusi merupakan fenomena permasalahan ekonomi. Kemunculan PSK dan prostitusi bukan karena PSK-PSK memiliki hasrat seks tinggi. Memang, tidak bisa menampik bahwa munculnya prostitusi merupakan akibat adanya demand dari orang-orang yang memiliki hasrat seksual tinggi. Namun, prostitusi tidak akan ada jika tidak ada PSK. PSK memilih pekerjaan sebagai PSK karena mengalami permasalahan ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial, dan pemaksaan gaya hidup yang dibentuk oleh sistem dunia saat ini.
Pendapat bahwa seseorang menjadi PSK karena dirinya haus seks, tuna seksual, dan kesepian merupakan pandangan sesat pikir. Logikanya, adakah seseorang yang mau melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang tidak mereka cintai? Jika karena terpaksa. Adakah seseorang yang mau secara sadar berkeinginan untuk menjadi rawan akan penyakit menular seksual yang ganas? Adakah orangtua yang sangat tega menjual buah hatinya jika tidak terhimpit masalah ekonomi? Jadi prostitusi ada karena kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Kemiskinan dan kesenjangan sosial telah menyebabkan seseorang memilih pekerjaan sebagai PSK dan menjual diri atau menjual sanak keluarganya. Indonesia merupakan negara dengan kesenjangan diatas angka 40 pada tahun 2013 (Bank, 2014 : 7). Dengan kondisi seperti ini, tercatat ada total 509 kasus perdagangan manusia. 213 kasus adalah eksploitasi ketenagakerjaan, 205 adalah eksploitasi seksual, dan 5 kasus bayi yang diperjualbelikan. Indonesia merupakan negara ketiga terbesar terkait perdagangan manusia (Anwar, 24). Fakta diatas menunjukkan bahwa penyebab dari munculnya prostitusi adalah kesenjangan sosial yang tinggi.
Permasalahan prostitusi merupakan permasalahan kompleks yang penyelesaiannya tidak terletak pada kebijakan-kebijakan kolot dengan landasan moral dan agama. Kebijakan menggusur prostitusi lalu memberi PSK modal usaha, men-sweeping PSK, atau ‘menugaskan’ ormas dengan latar belakang agama untuk ‘membereskan’ PSK dengan embel-embel penegakan moral tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Kebijakan itu hanya menyebabkan para PSK semakin tertindas secara fisik, mental, dan jiwa. Disisi lain, PSK dan mucikari akan mendirikan prostitusi di tempat baru karena akar permasalahan munculnya prostitusi tidak terselesaikan, yaitu masalah ekonomi.
Bayangkan saja, jika kebijakan kolot tersebut tetap dilakukan. PSK akan tersitgma sebagai kafir, perempuan zinah, perempuan nakal, dan cap-cap negatif lainnya. Selain itu, pendapatan PSK harus dipotong biaya yang besar oleh mucikari yang bertugas melindungi PSK. Ironisnya, mucikari tersebut ‘membayar’ pada oknum-oknum penjaga ketertiban dan keamanan legal maupun penjaga ketertiban dan penegak moral yang berasal dari masyarakat. Pada akhirnya yang ikut ambil bagian dalam penindasan pada PSK tidak hanya dilakukan oleh mucikari tetapi dilakukan oleh aparat-aparat, tokoh masyarkat, maupun ormas-ormas agama yang mengaku menjaga kesucian.
Pada dasarnya untuk menyelesaikan permasalahan prostitusi, negara harus mengurangi kemiskinan dan ketidakadilan sosial di Indonesia. Negara harus menyediakan akses pendidikan, kesehatan, dan tempat tinggal yang bisa dijangkau oleh seluruh rakyat Indonesia. Andai memungminkan, negara harus menyediakan akses kesehatan, pendidikan, dan tempat tinggal gratis bagi rakyatnya. Dengan begitu kemiskinan akan berkurang. Selanjutnya, negara harus campur tangan dalam prostitusi dengan melegalkan prostitusi dan negara mengelola prostitusi.
Dalam campur tangannya terhadap prostitusi negara harus meregulasi prostitusi. Pertama, negara harus membuat UU batas umur menjadi PSK. Kedua, negara harus membuat tempat khusus dijamin oleh negara. Ketiga, negara harus menghilangkan mucikari sebagai ‘pemilik’ yang menghisap kerja, tubuh, dan kehidupan PSK. Hal ini bertujuan agar PSK bekerja untuk dirinya sendiri dan seluruh keuntungan dari pelanggan dinikmati oleh dirinya. Keempat, negara harus menyediakan rumah/apartemen bagi PSK bagi PSK. Kelima, negara harus menyediakan dokter kelamin gratis agar PSK bisa memeriksakan kesehatannya secara rutin, sehingga resiko penyebaran penyakit kelamin bisa direduksi. Keenam, negara harus memberikan pengetahuan tentang penyakit kelamin, penanganannya, dan cara merawat alat reproduksi yang baik kepada PSK. Ketujuh, negara harus menyediakan pendidikan gratis bagi PSK. Kedelapan, negara harus mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa pekerjaan sebagai PSK bukanlah sesuatu yang hina dan memalukan. Dengan begitu PSK merdeka atas badannya, memiliki pendapatan yang lebih besar, dan bisa beralih profesi karena mendapatkan pendidikan yang layak dan lepas dari stigma negatif masyarakat.
Legalkan Prostitusi di Indonesia!
- Advertisement -
Facebook Comment
- Advertisement -