Beberapa hari yang lalu, Saya menyambangi puskesmas untuk mencari surat sakti melakukan perjalanan. Menurut informasi petugas kesehatan di Puskesmas dekat kantor saya, katanya prosesnya cepat. Hanya periksa dan cek-cek sedikit, ditanya-tanya lalu surat ditandatangani dan selesai.
Sayangnya, sudah duduk hampir 1 jam surat sakti itu belum saya dapatkan. Selama sabar menanti, saya menghibur diri mengamati orang yang hilir mudik dan sebagian lagi duduk membisu menunggu antrian.
Saya melihat Ada dua orang melaporkan diri baru saja datang dari seberang pulau. Tak ada keluhan. Datang melapor dan hanya diwejang petugas kesehatan untuk isolasi mandiri, jangan ke mana-mana lalu dicatat di buku besar, dan mereka mereka berdua pulang. Tidak diapa-apain.
Pengamatan berikutnya, 1 orang bapak paruh baya tampak ragu-ragu untuk masuk ke ruang tunggu. Setelah agak sepi akhirnya dia masuk juga. Sedikit kikuk dan pelan dia bertanya, ke petugas, “Di sini bisa tes covid?”
Petugas menjawab dengan suara cukup nyaring, dan membuat semua orang yang berada di ruang tunggu mendongakkan wajah, menatap bapak yang ragu bertanya tadi. Tampak makin kikuk seperti pesakitan. Jawaban petugas, “Di sini tidak ada tes rapid, kalau mau cepat Bapak bisa langsung ke Laboratorium A atau ke Rumah Sakit B. Untuk mandiri biayanya tiga ratus bla bla bla..”(ujungnya tak jelas saya dengar).
Menyadari banyak mata tertuju padanya, dan mendapat jawaban di puskesmas ini tidak melayani rapid test, buru-buru dia ke luar, menyelamatkan diri dari banyaknya tatapan mata.
Saya, karena tak ada tanda-tanda dipanggil, beringsut maju ke front liner untuk mengonfirmasi kapan diperiksa untuk dapat surat sakti. Konfirmasi saya berfaedah, tak berselang lama dipanggil masuk ruang pemeriksaan.
Di dalam ruang periksa saya hanya didata tanpa pemeriksaan baik tensi, suhu badan, berat badan, apalagi berat beban hidup. Dan keluarlah surat sakti itu setelah si ibu corat coret nyambi ngobrol dan ber-haha hihi dengan rekan kerjanya. Kebayang rasa gurihnya penantian saya kan?
Sambil terima surat, Saya bertanya. “Ga diperiksa bu?”
“Ga bu, kemaren saya periksa pasien melapor, saya tensi dan pegang-pegang tangan pasien ternyata orangnya positif tanpa gejala”. Jawabnya datar. “Jadi di surat ini, berat badan saya tulis sekian, tensi sekian ya.”
“Baiklaaah” jawabku sambil bergegas keluar ruang pemeriksaan. Si ibu memberi aku wejangan tentang protokol kesehatan yang setiap hari dirapal oleh juru bicara satgas covid.
Dalam obrolan tadi, si ibu cerita dengan rekan kerjanya. Lebih tepatnya ngedumel. “Angka kasus di komputer mah nol, biar dianggap berhasil. Karena memang ga ada yang diperiksa. Tapi nyatanya ya, kita ga tau, bisa jadi banyak dan berkeliaran. Dan korbannya ya orang kayak kita ini to?” Tentu obrolan itu berlanjut seru jadi semacam FGD bisa Focus Grup Discussion atau Focus Ghibah Discussion, yang membuat saya lama menunggu.
Saya jadi teringat pidato Presiden Jokowi dalam Sidang Kabinet Paripurna Juni 2020. Jokowi marah-marah lantaran matinya sense of crisis dari para menteri dan pejabat negara lainnya. Tidak adanya Sense of crisis yang menjadi sumber kemarahan Jokowi, nyata ada di hadapan saya.
Sebagian orang dengan kesadaran tinggi mengikuti ceramah dan anjuran jubir satgas covid, sebagian yang lain mengamankan diri, bahkan sebagian lain memanfaatkan ini sebagai ladang pencitraan diri.
Bapak bersama anaknya dengan kesadaran tinggi melopor usai melakukan perjalanan dari kota zona merah. Tapi, tak ada pemeriksaan yang berarti. Bapak yang kikuk bertanya mengenai layanan tes rapid, juga saya dan keluarga yang berharap dites dan diyakinkan bahwa kami ‘bersih’ dan aman melakukan perjalanan nyatanya, hanya begitu saja.
Bapak yang kikuk justru mendapat tatapan menghakimi seolah dia pesakitan. Saya dan keluarga yang patuh aturan, tidak juga mendapat layanan pemeriksaan. Tapi surat sakti itu saya dapatkan.
Sudah biasa bukan, di banyak tempat selembar surat keterangan didapat tanpa mempertimbangkan tujuan suci dari surat itu dikeluarkan. Surat Izin Mengemudi, lahir tanpa uji kompetensi. Cukup membayar dengan rupiah tertentu, SIM terbit dengan lancer.
Sertifikat kursus pra nikah, dihadiahkan tanpa harus ikut kursus dan pelatihan. Kursus yang diangankan menjadi bekal pasangan menghadapi dinamika hidup berkeluarga, cukup periksa berkas, sedikit nasehat sah sebagai pembekalan pra nikah.
Kali ini surat sehat diberikan, tanpa pemeriksaan. Padahal SIM, Sertifikat Suscatin, juga surat sehat dipersyaratkan untuk menjaga keselamatan dan kemaslahatan. Tidak tanggung-tanggung, menyangkut keselamatan nyawa.
Naifnya lagi, sense of crisis itu bener-benar mati. Pandemi menjadi panggung citra diri. Kasus nihil adalah wajah keberhasilan ulil amri. Kasus meninggi dipandang kegagalan dan ketidakbecusan penanganan pandemi. Tapi zero case dicapai dengan gaya-gaya kontraproduktif, tracing tanpa melakukan pemeriksaan memadai. Demi sebuah prestasi ulil amri.
Ingin marah seperti Pak Jokowi. Tapi pada siapa? Di masa krisis, setiap nyawa membutuhkan penyelamatan. Tidak hanya nyawa rakyat tapi juga nyawa karir politik dan kekuasaan. Mana yang mau diutamakan, Nurani yang memilih.
Aaah saya tidak berhak menggurui apalagi menghakimi, lagian surat sakti ini harus segera kubawa ke ulil amri biar distempel dan ditandatangani, bukti sah untuk keamanan di perjalanan. Ya, walau hanya sekedar legalitas biar bisa jalan-jalan.