Zohri, begitulah orang memanggilnya. Dengan nama lengkap Lalu Muhammad Zohri, atlet sprinter (pelari) klas 100 meter, berusia 18 tahun ini berasal dari Kabupaten Lombok, Nusa Tenggara Barat yang menyabet medali emas dalam kejuaraan dunia di IAAF World U20 di Tampere, Finlandia beberapa hari yang lalu, Rabu (11/7/2018).
Saya sendiri tak bisa menghitung, tapi saya berasumsi bahwa hanya satu dua orang, sebut saja keluarga, beberapa tetangganya dan tim official Zohri saja yang tahu detik-detik Zohri saat kaki kanannya melintasi garis finish dan mampu mencengangkan dunia karena tak pernah diperhitungkan sebelumnya bahwa Zohri adalah yang tercepat.
Asumsi tersebut berangkat dari jutaan orang di negeri ini, yang di saat yang sama sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Kesibukan pertama yang ingin saya sampaikan yakni kesibukan di tengah hiruk pikuk piala AFF meskipun pada akhirnya harus meratapi kekalahan timnas Indonesia ketika melawan Malaysia di Semifinal.
Jika boleh saya menafsir, sebut saja Timnas yang belum matang dalam berlari, bahkan mungkin belum tahu cara berlari sambil menggiring bola di kaki dan tidak tahu waktu kapan dan kemana harus berlari.
Jika mereka tahu cara berlari yang benar sebagai pemain sepak bola, maka mereka akan berlari ke arah gawang lawan tanpa harus sikut sana-sini apalgi sampai mencederai, karena sepak bola memang beda dengan olahraga rugby.
Tidak mungkin mereka tahu. Juga karena jika mereka tahu kapan dan kemana harus berlari, timnas kita tak akan berlari-lari keluar stadion melewati banyak orang tanpa adab dan memicu kericuhan “kecil” apalagi bermain di kandang sendiri.
Kesibukan berikutnya yang dijalani bangsa ini, mereka yang sedang meratapi kekalahan timnas negara lain di Piala Dunia Rusia 2018, banyak tim-tim favorit harus berguguran di luar dugaan. Argentina dengan L. Messi, Brasil dengan Neymar, Spanyol bahkan Timnas Jerman sebagai tim yang memiliki modal sebagai juara bertahan, tidak berkutik di Rusia. Malah seperti Kroasia, Belgia, Swedia dan Prancis serta negara-negara yang tidak diunggulkan yang bisa bertahan.
Sibuk “berlari” juga ada di sisi lain bangsa ini ini, “berlari” merebut benar sendiri. Sebut saja perdebatan dalil dan argumentasi, dibumbuhi sindir menyindir plus nyinyir, bahkan sibuk “berlari” mencari orang dan kelompok lain untuk dikategorikan dan dinilai sebagai orang yang sesat pikir.
Tidak ada keraguan misalnya menyesatkan pola pikir bagi mereka yang setuju dengan tipologi Islam Nusantara, karena tipologi Islam yang satu ini merupakan Islam yang khas, berbeda dengan tipologi Islam yang ada di belahan dunia lainnya.
Islam Nusantara yang santun, tidak suka menghujat apalagi mengkafirkan, serta juga tidak suka dakwah dengan cara kekerasan, mengakomodir budaya lokal dan yang juga tidak kalah pentingnya, Islam yang satu ini memiliki ciri khas tersendiri, mengedepankan toleransi akan perbedaan demi menjaga persatuan bangsa dan negaranya.
Islam nusantara dengan segala kontribusi positif yang melekat pada dirinya. Islam yang seperti itu saja ternyata masih diklaim sesat oleh kelompok-kelompok yang sibuk berlari bahkan melakukan sprint sebagaimana Zohri berlari. Hanya saja, jika Zohri finish mengharumkan bangsa, ternyata masih saja ada kelompok yang mengkaitkan dengan Islam, yakni pelari muda muslim pertama yang mampu merebut medali emas kelas dunia, tetapi kelompok yang sibuk tersebut, finish “mengharumkan” kelompoknya sendiri dan “membau-busukkan” kelompok lain.
Islam yang ramah, bukan Islam yang ramah. Kira-kira kelimat itulah yang pantas untuk disematkan pada tipologi Islam Nusantara.
Terakhir, (meskipun sebenarnya masih banyak hal lainnya) yang tidak kalah pentingnya juga dalam membaca kesibukan bangsa ini. Sedari beberapa bulan yang lalu, sebelum Zohri mengejutkan bangsa dan negera ini dengan juara lari yang diraihnya, bangsa dan negara ini sudah sering mengikuti kejuaran lari.
Kejuaran lari merebut finish, tapi sayang-beribu sayang, bukan merebut finish sebagaimana Zohri yang finish merebut medali untuk mengharumkan bangsa dan negeri ini, melainkan sibuk “berlari” kesana-kemari mencari koalisi dan berebut kursi demi kepentingan golongan sendiri bahkan tak sedikit yang hanya untuk perut sendiri.
Tak jarang kawan jadi lawan, lawan pun jadi kawan. Yang dahulu anti-Islam, sekarang lengket pada Islam. Yang dulu anti-bid’ah sekarang merestui bid’ah. Bahkan yang paling membuat telinga gatal, yang dulu sahabat, sekarang dianggap sesat dan disuruh tobat.
Tipologi pencarian koalisi seperti itu saya menyebutnya kejuaraan lari ala “negeri yang (tak) tahu diri”, karena mungkin hanya disinilah negeri yang selalu mengundang fantasi.
Bagaimana tidak, ditengah-tengah harumnya negeri karena Zohri lari dan meraih medali. Bendera Zohri yang begini, rumah Zohri yang begitu sampai pada sepatu Zohri pun juga tidak bisa lepas dari radar karena dinilai tidak baru bahkan media sekelas Kompas.com memberikan label “Sepatu Buntut”.
Bendera, sepatu, rumah dan sepatu tersebut kemudian muncul 2019 ganti presiden dengan yang baru dan di pihak lain yang tidak mau kalah, 2019 tetap Jokowi.
Semangat lari dari Zohri seakan tiada memberi arti pada negeri ini. Padahal, dari sosok Zohri, di tengah-tengah masalah kebangsaan yang serba kompleks setidaknya dari Zohri ada pelajaran yang patut untuk dijadikan refleksi oleh negara dan bangsa ini. Jangan banyak bicara, retorika apalagi berujung pada omong belaka, tapi berlarilah menuju finish tanpa harus melihat lawan dengan sinis. Jika hasilnya kelak memuaskan, tetap datangi dan rangkul mereka yang kalah.