Jumat, April 26, 2024

Kurikulum Merdeka, Tekad Menjelajahi Ilmu Tanpa Batas

John L Hobamatan
John L Hobamatan
Direktur Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) HANDAL Kupang, Penulis Lepas

Merdeka belajar semula disusun untuk mendorong kualitas  ekosistem satuan pendidikan. Inisiasi program tersebut berorientasi membangun sistem pembelajaran yang mampu meningkatkan proses pendidikan yang lebih otonom dan fleksibel serta dimaksudkan untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang inovatif, tidak mengekang, dan sesuai dengan kebutuhan anak didik. Sebagai inisiasi, program tersebut sejak semula dianggap sebagai terobosan yang menjanjikan.

Secara konseptual maupun pada tataran implementasi  kurikulum merdeka akan mengubah secara radikal orientasi pendidikan keilmuan kita pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Persoalan esensial yang semestinya dilakukan dekonstruksi adalah oerientasi pendidikan. Ke arah mana kiblat pendidikan kita. Apakah terus berpacu mengejar konten kurikulum “berstandar nasional” yang membudayakan kolektivisme yang berdampak mengorbankan otonomi dan kemerdekaan individu peserta didik?

Mesti disikapi secara tepat bahwa pendidikan adalah proses intelektualisasi yang mengarah kepada penumbuhan dan pengembangan cara berpikir kritis, inovatif, sistematis, metodologis, disemangati oleh kehausan untuk mencari dan menemukan sendiri ilmu pengetahuan itu dalam dunia tanpa sekat. Oleh karena itu, proses pendidikan tidak bisa lagi berorientasi dan mengangungkan hasil, tetapi harus dimulai dari proses dan menumbuhkan kekuatan pikiran untuk tahu…

Angka (nilai) bukan lagi sebagai indicator intelektualitas seseorang. Kelatahan mengonversikan kadar  intelektualitas dengan angka selain mengasilkan distorsi, juga membudayakan kecurangan, penipuan, perampokan intelektual, pelanggaran etis- hal mana menjadi perilaku antitesis bagi keluhuran pendidikan.

Oleh karena itu pembenahan proses adalah sebuah keniscayaan. Proses ini beridiri di atas asumsi bahwa setiap peserta didik tumbuh dengan naluri ingin tahu dan memiliki kemauan serta kemampuan untuk menjelajahi dunia ilmu entah melalui lembaga pendidikan ataupun secara otodidak. Kesanggupan dan gerak batin itu harus dilandasi pada kondisi mental yang bisa menjadi pelecut bagi proses pencarian ilmu dan pengetahuan. Kondisi mental dimaksud yang disebut sebagai kompetensi minimal. Kompetensi dasar itu mencakup keseluruhan mata ajar yang dikelompokkan dalam kompetensi literasi, numerasi..

Mengutip Laporan Akhir Tahun 2019, di bawah judul “The promise of Indonesia Education“, Bank Dunia menegaskan bahwa saat ini di dunia sedang terjadi “Learning Poverty” kemiskinan (dalam) belajar. Sebesar 53 persen anak usia 10 tahun di bumi tak faham yang mereka baca. Berdasarkan angka itu, Indonesia menyumbang 47 persen.

Walaupun angka ini  cukup menggelisahkan, tetapi dianggap masih cukup menghibur karena ketakfahaman sains masih lebih besar yakni 74 persen dan Matematika sebesar 77 persen  Pesan yang disampaikan sangat jelas, bahwa intelektualisasi melalui proses belajar tidak tumbuh, otonomi siswa hilang.

Dua Kutub Tafsir

Sebelum implementasi kurikulum mederka, proses evaluasi kesiapan satuan pendidikan dilakukan melalui Asesmen Kompetensi Minimal (AKM). Secara konseptual AKM didesain untuk mengevaluasi secara menyeluruh proses belajar yang akan diikuti dengan diagnostic kesalahan secara metodologis dan komponen penunjang lainnya dan difinalisasi dengan pembenahan proses belajar secara menyeluruh.

Agar proses belajar itu berkualitas maka kemampuan di bidang literasi misalnya diarahkan pada penguasaan seperangkat keterampilan yang nyata, khususnya keterampilan kognitif dalam membaca dan menulis. Pemahaman seseorang mengenai literasi ini akan menjadi landasan bagi pengembangan kompetensi bidang akademik, konteks nasional, institusi, nila-nilai budaya serta pengalaman.

Sama halnya dengan literasi, numerasi diarahkan pada kemampuan untuk mengaplikasikan konsep bilangan dan keterampilan operasi hitung di dalam kehidupan sehari-hari ( di rumah, pekerjaan, dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat dan sebagai warga negara) dan kemampuan untuk menginterpretasi informasi kuantitatif di sekeliling kita.

Literasi dan numerasi adalah kompetensi yang sifatnya general dan mendasar. Kemampuan berpikir tentang, dan dengan, bahasa serta matematika diperlukan dalam berbagai konteks, baik personal, sosial, maupun profesional. Penguasaan kompetensi yang bersifat mendasar ini menjadi pintu bagi proses penjelajahan keilmuan.

Apakah formulasi tentang standar penguasaan literasi dan numerasi di atas minimum atau maksimum? Pengguaan kata minimum dalam konteks ini adalah istilah yang menunjukkan perubahan paradigma secara radikal dalam memandang dunia pendidikan sebagai sebuah proses pencarian keilmuan. Pendidikan adalah iistitusionalisasi proses belajar dengan keseluruhan komponen penunjang yang ada di dalamnya.

Dengan demikian pendidikan adalah arena yang tidak hanya merdeka pada dirinya sendiri tetapi memerdekaan peserta didik untuk mencari, menjelajahi ilmu pengetahuan yang semestinya dimiliki. Dengan kata minimum, hakikat ilmu dikembalikan ke habitatnya sebagai obyek yang menghuni ruang tanpa batas. Ilmu pengetahuan dan teknologi  boleh dikuasai dengan metodologi keilmuan, diimplementasikan dalam berbagai produk teknologi terapan, dimanfaatkan sebagai ketrampilan, dan seterusnya.

Peserta didik tidak dibatasi unuk  “tahu” sebaliknya lembaga pendidikan secara fungsional harus membuka pintu untuk itu. Berbagai sumber referensi  dalam jumlah yang memadai yang dipersyaratkan ada menjadi tanggung jawab kelembagaan. Sebaliknya siswa secara individu harus digerakkan atau tergerak sendiri hatinya melalui bantuan guru, metodologi, motivasi dan stimulasi, untuk menjelajahi dan menguasai ilmu.

Implikasi Kultural

Kesenjangan kualitas hasil belajar antardaerah adalah cacat bawaan  sebagai produk disparitas pembangunan dalam banyak aspek yang terbawa dari tahun ke tahun. Implikasi yang serius dirasakan adalah ,aspek kultural, dan mentalitas.

Harapan kita adalah bahwa kurikulum merdeka dengan   spirit perubahan hendaknya memberi tempat istimewa pada kemampuan dan dorongan yang bersifat individual. Proses awal mungkin saja terjadi benturan dengan kolektivisme yang sudah mengakar dalam dunia pendidikan. UN itu sendiri adalah potret  pembudayaan kolektivisme  dalam berprestasi. Dan demi kolektivitas, orang rela mengorbankan  nilai kejujuran dengan manipulasi, contek massal, pembocoran soal ujian, keterlibatan pemerintah daerah dalam penentuan target kelulusan.

Sedangkan Aspek mental adalah  motivasi intrinsic untuk tahu dan mencari sendiri belum tumbuh. Anak belajar karena ada evaluasi.  Penguasaan ilmu secara individu sebagai sebuah proses belajar yang benar ditumbuhkan.

Paradigma baru dalam dunia pendidikan mensyaratkan kompetensi guru yang berbeda. Era sebelumnya yang menempatkan guru sebagai sumber ilmu tak bisa dirawat. Guru dan siswa ada dalam ruang penjelajahan yang sama. Guru sebagai faslitator, motivator pendidikan hendaknya memiliki pengetahuan keilmuan yang lebih agar dapat menumbuhkan motivasi melalui kegiatan pembelajaran yang lebih demonstrative. Syarat minimal ini mutlak dipenuhi. Semoga kurikulum merdeka menjadi pelecut semangat “Indonesia Bisa”.

John L Hobamatan
John L Hobamatan
Direktur Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) HANDAL Kupang, Penulis Lepas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.