Kumbh Mela termasuk perayaan keagamaan terbesar di India yang berkaitan dengan mitologi Dewa Wisnu. Kita bisa melihat secara utuh perihal euforia keagamaan Kumbh Mela dengan berziarah ke Sungai Gangga. Warga India nampak menunjukan suka cita saat menjalani puncak ritual dengan berendam dan membasuh anggota tubuh dengan mengabaikan protokoler kesehatan. Hingga kemudian berakhir petaka yakni gelombang kedua Covid-19 varian B1617 dengan karakter lebih menular dan mematikan.
Pada awal Mei secara mengejutkan Worldmeters menyebutkan jumlah kasus positif Covid-19 di India mencapai rekor 400 ribu lebih, dengan total kematian harian mencapai 3.523. Secara keseluruhan, total kasus Covid-19 mencapai 19.164.969 dengan total angka kematian mencapai 211.853. Konsekuensinya tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan di India lumpuh total. WHO sempat menyebutkan India menyumbang sebanyak 46 persen kasus Covid-19 di dunia.
Belakangan ini (19/5), jumlah kasus harian Covid-19 di India mengalami penurunan sebanyak 267.000 kasus. Meskipun kasus harian mengalami penurunan yang cukup signifikan, kondisi tersebut tak sejalan dengan kasus kematian yang mencapai 4.529. Secara keseluruhan angka kematian mencapai 303.720 kasus. Angka tersebut menjadi rekor kematian tertinggi sejak pandemi melanda di negara tersebut.
Bagaimana dengan di Bali, kawasan dengan mayoritas warganya beragama Hindu di Indonesia? Pertengahan Maret 2020 secara resmi terdapat kasus Covid-19 pertama yang saat itu terdiri 2 WNA yang sudah meninggal dunia dan 2 WNI. Beberapa minggu kemudian setelah pengumuman tersebut, muncul penambahan kasus Covid-19 di beberapa desa di Kota Denpasar seperti Desa Panjer, Padang Sambian, dan Ubung masuk sebagai kawasan zona merah pertama di Provinsi Bali.
Sejak penetapan zona merah pada tiga desa tersebut, yang menarik seluruh pecalang atau petugas keamanan desa adat disiagakan untuk berjaga di jalur-jalur strategis lalu lintas warga. Ini diperkuat dengan peraturan walikota yang berisi batas operasional restoran termasuk pusat perbelanjaan dengan batas waktu sampai pukul 8 malam. Bagi warga Denpasar yang tidak memiliki kepentingan, dilarang untuk keluar rumah. Hasilnya, pukul 8 malam saat itu sudah Denpasar terlihat sepi dari mobilitas masyarakat.
Saya sempat tinggal untuk sementara waktu di sana untuk menikmati liburan Nyepi di Bali yang jatuh pada tanggal 25 Maret 2020. Menariknya, sebelum puncak Hari Raya Nyepi, warga Hindu di Bali tidak melakukan perayaan ogoh-ogoh yang identik dengan kerumunan massal. Padahal saat itu sebagian besar warga Hindu di Bali sudah menyelesaikan pembuatan ogoh-ogoh (replika patung raksasa dengan ketinggian mencapai lima meter lebih) yang mampu menghabiskan dana mencapai puluhan juta.
Gubernur Bali, I Wayan Koster, saat itu juga memperpanjang hari libur sampai tanggal 27 Maret. Warga Bali menyebutnya dengan local lockdown. Masyarakat asli Bali maupun para pendatang di sana menunjukan ketaatan yang luar biasa dengan melanjutkan suasana Nyepi meski Nyepi sudah usai. Selama dua hari libur tambahan tersebut, jalanan terlihat sepi tanpa ada mobilitas masyarakat.
Nyepi tahun ini juga nyaris persis seperti Nyepi tahun lalu. Tidak ada arak-arakan ogoh-ogoh yang biasa diarak oleh warga Bali sebagai simbol melawan hawa nafsu. Masyarakat Bali mampu menahan euforia keagamaan menjelang Nyepi. Meski sesungguhnya terbesit ingin mengulangi kemeriahan perayaan ogoh-ogoh sebelum membenamkan diri dengan Nyepi.
Bahkan Bali yang saat itu diprediksi sebagai daerah yang diprediksi sebagai daerah dengan tiga besar dengan kasus tertinggi tidak terbukti. Dugaan tersebut berdasarkan bahwa Bali sebagai daerah destinasi wisata internasional unggulan di Indonesia. Saat ini dari 34 provinsi di Indonesia, Bali berada di luar 10 besar provinsi dengan kasus Covid-19.
Ini disebabkan karena kesadaran yang tinggi warga Bali. Selain itu, kesigapan aparatur negara sampai pada level desa cukup aktif melakukan sosialisasi dengan melibatkan desa adat dan pecalang atau petugas keamanan desa. Bali termasuk salah satu kawasan di Indonesia yang cukup ketat menerapkan prokes di perbatasan bagi pendatang yang ingin masuk menggunakan transportasi darat, air, dan udara. Pemeriksaan prokes melalui dokumen kesehatan di ketiga jalur tersebut sampai sekarang masih konsisten dilakukan.
Menjelang Idulfitri yang tepat jatuh 13 Mei lalu, banyak ditemui masyarakat yang tetap melakukan mudik meski pemerintah sudah mengumumkan pelarang mudik pada 6-17 Mei. Survei yang dilakukan Kementerian Perhubungan, tercatat setidaknya sebanyak 1,5 juta orang melakukan mudik ke kampung halaman. Angka tersebut jauh dari situasi normal dengan potensi jumlah pemudik mencapai 33 juta.
Angka 1,5 juta pemudik tetap tidak bisa dianggap sepele dibandingkan dengan bahayanya potensi penularan Covid-19. Sebelum larangan mudik diumumkan, pemerintah sempat melakukan tes acak terhadap 6.724 pemudik. Hasilnya cukup mengejutkan, sebanyak 4000-an pemudik terkonfirmasi positif. Hal tersebut dapat menjadi gambaran kecil tentang potensi pergerakan dan penularan di daerah asal pemudik. Artinya sebanyak lebih dari 50 persen pemudik dinyatakan positif Covid-19 berpotensi menjadi ancaman penularan dengan metode transmisi lokal untuk kerabat di kampung halaman.
Selain daerah asal pemudik, kota-kota besar di sekitar kawasan ibukota (Jabodetabek) juga berpotensi besar terdapat tambahan kasus baru. Sebagaimana temuan dari Korlantas Polri dari sebanyak 118 ribu orang yang terjaring dalam tes antigen secara acak dari 15-22 Mei, setidaknya sebanyak 524 orang dinyatakan reaktif Covid-19.
Kita juga dapat berkaca sebagaimana yang pernah terjadi pada momen libur Lebaran tahun lalu. Terjadi lonjakan kasus Covid-19, baik secara harian maupun komulatif mingguan sebanyak 64-93 persen yang disebabkan mobilitas masyarakat saat mudik meskipun terjadi penuruna secara signifikan. Angka tersebut muncul dalam rentang waktu 10-14 hari sejak libur Idulfitri. Tren kenaikan ini kasus Covid-19 di Indonesia dapat dirasakan belakangan ini.
Pada pertengahan bulan Mei angka kasus positif Covid-19 masih berada pada kisaran 4.000-an. Kini menjelang akhir bulan Mei, terjadi tren kenaikan mencapai 5.000-an temuan kasus baru. Artinya puncak tren kenaikan tersebut berpeluang terjadi dari akhir Mei sampai awal Juni. Di sejumlah kabupaten/kota di provinsi di Pulau Jawa juga mengalami kenaikan level zona merah seperti Sleman, Bantul, Cirebon, Kudus, dan lain sebagainya setelah ditemukan klaster Lebaran beberapa hari terakhir ini.
Selain itu potensi penambahan kasus baru dari pemudik saat arus balik, hal lain yang cukup mengkhawatirkan adalah peristiwa kerumunan massal di masa liburan dengan beberapa di antaranya mengabaikan prokes seperti yang terjadi di pantai Pangandaran Jawa Barat dan beberapa objek wisata di Jakarta seperti Taman Impian Jaya Ancol, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan Taman Margasatwa Ragunan, dapat berpotensi terjadinya penambahan kasus Covid-19 klaster objek wisata.
Kelengahan India selama Kumbh Mela dan kearifan lokal selama Nyepi di Bali, bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita agar gelombang kedua Covid-19 tidak turut menerjang Indonesia seperti negara lain yang sudah mendahuluinya.