Senin, Mei 6, 2024

Kultur Priayi, Lemahnya Inovasi Para Pegawai Negeri

Sandry Windiharto
Sandry Windiharto
Fungsional Analis Kebijakan pada Kementerian Keuangan.

Innovation. Terpuruk.” Begitulah tweet singkat Profesor Arief Anshory Yusuf, guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, pertengahan bulan lalu. Di bawah cuitan tersebut, turut disematkan image tangkapan layar yang menunjukkan jebloknya peringkat inovasi Indonesia dalam Global Innovation Index 2020. Inovasi Indonesia secara overall berada pada peringkat 85 dari 131 negara di dunia dan ada di urutan ke-7 dari sepuluh negara ASEAN. Sebuah posisi yang tidak bisa dibanggakan.

Peringkat inovasi tersebut juga dibagi lagi dalam tujuh aspek penilaian yaitu institusi, sumber daya manusia, infrastruktur, kecanggihan pasar, kecanggihan bisnis, keluaran pengetahuan dan teknologi, serta keluaran kreatif. Sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), perhatian saya langsung tertuju pada aspek pertama yakni aspek institusi yang meliputi penilaian pada kualitas pelayanan publik, konsistensi, serta kemampuan pemerintah dalam menyusun dan mengimplementasikan kebijakan. Pada aspek institusi ini, posisi Indonesia lebih memprihatinkan lagi. Terperosok diperingkat 111 dunia. Jauh tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia yang berada di peringkat 40 dunia atau bahkan Brunei Darussalam diperingkat 25 dunia.

Kondisi ini mengingatkan saya pada penelitian mengenai peran inovasi dalam mendorong kinerja pemerintah daerah yang saya lakukan tahun lalu. Hasil penelitian itu menunjukkan masih lemahnya inovasi para aparat pemerintah daerah dalam mendorong kinerja institusinya. Ruang lingkup penelitian ini memang relatif kecil karena hanya pada level pemerintah provinsi, namun dengan rilis peringkat inovasi institusi Indonesia yang sangat rendah tersebut, hasil penelitian ini menurut saya masih relevan untuk didiskusikan.

Lemahnya inovasi para pegawaiNaikan Gaji Pegawai Negeri, Mengurangi Korupsi? pemerintah daerah tersebut saya duga karena adanya pengaruh faktor kultur priayi. Mengapa kultur tersebut bisa berpengaruh dalam inovasi? Karena meskipun bukan satu-satunya variabel penting dalam inovasi, namun kultur atau budaya berkontribusi signifikan untuk menjelaskan perbedaan utama dalam perilaku masyarakat, dalam hal ini aparat pemerintahan daerah.

Pada era dimana budaya lokal masih mendominasi tatanan sosial kemasyarakatan, pegawai pemerintah digolongkan dalam kelas masyarakat priayi, yakni kelas sosial dalam masyarakat yang kedudukannya dianggap terhormat. Sadar atau tidak, kultur priayi ini hingga sekarang masih mewarnai perilaku dan cara kerja para aparat di lingkup pemerintahan daerah. Secara umum kultur priayi menuntut para pegawai berperilaku alus lahir dan batin. Alus secara lahir diterapkan melalui formalisasi perilaku sosial yakni dengan adanya cara-cara formal dalam melakukan hal-hal dengan menyembunyikan perasaan yang sebenarnya dari orang lain. Contoh sederhananya adalah berkata “tidak” meskipun sebenarnya “ingin”, dan berkata “sudah” meskipun sesungguhnya “belum”. Selain itu ada semacam etiket dalam kultur priayi yang membuat individu tidak mungkin memberikan perasaan yang tidak menyenangkan kepada orang lain. Ini terkait erat dengan tuntutan priayi agar alus secara batin yakni dengan bersikap nrima terhadap gangguan dari luar yang sebenarnya tidak menyenangkan perasaannya.

Kultur priayi kontra produktif dengan inovasi yang identik dengan perubahan. Kultur tersebut akan cenderung menghambat pemikiran out of the box dalam menghadapi permasalahan ditata kelola pemerintahan. Ketika pegawai menghadapi situasi yang tidak nyaman pada organisasinya, kultur tersebut akan membuat pegawai berupaya meredamnya secara pribadi karena tuntutan priayi untuk bersikap sabar dan nrima terhadap suatu kondisi. Para pegawai juga akan enggan untuk mencoba hal baru dan takut mengambil risiko dengan suatu usulan ide baru karena akan berpotensi menimbulkan gangguan pada sistem dan kebiasaan yang sudah berjalan. Budaya nrima juga mengurangi peluang beda pendapat dan argumentasi untuk menghindari benturan dengan rekan kerja, atasan, bawahan maupun para pemangku kepentingan. Padahal inovasi akan muncul dari lingkungan yang mengedepankan keterbukaan, saling percaya, keberanian bereksperimen, dan keberanian mengambil risiko.

Contoh lain pengaruh kultur priayi di institusi pemerintahan adalah pada pola interaksi atasan dan bawahan. Etiket dalam kultur ini mengatur perilaku yang wajib diadopsi oleh individu dalam berinteraksi dengan individu lain yang memiliki level lebih tinggi, termasuk di dalamnya mengatur bagaimana bentuk linguistik yang tepat. Dalam berkomunikasi dengan pimpinan, bawahan harus menggunakan bentuk bahasa yang tingkatannya lebih halus dibanding saat berkomunikasi dengan pegawai yang levelnya sama. Bawahan juga harus merendahkan diri secara sopan pada atasannya serta menjaga diri agar selalu patuh dan taat terhadap pimpinan. Perilaku ini oleh Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java disebut sebagai perilaku andhap-asor.

Model interaksi atasan dan bawahan tersebut secara tidak langsung akan menghambat peluang munculnya inovasi secara bottom-up. Selain itu budaya pengambilan risiko (risk-taking culture) yang merupakan salah satu pilar inovasi akan sangat sulit terbangun karena bawahan akan cenderung menghindari risiko melakukan kesalahan di mata pimpinan. Dengan kondisi ini, ruang untuk bertindak di luar kebiasaan pun hampir tidak ada sehingga memperkecil terobosan-terobosan yang muncul dari bawahan. Padahal yang namanya inovasi bisa muncul dari level manapun. Tidak jarang pemikiran-pemikiran segar dan out of the box muncul dari level terbawah dalam organisasi, atau justru dari individu-individu yang baru masuk dalam institusi.

Begitulah kultur priayi menjadi satu benang merah yang berkontribusi dalam lemahnya inovasi di level pemerintah daerah. Kultur yang menghambat inovasi para penggerak roda pemerintahan ini sudah sepatutnya perlu menjadi perhatian dari para pengambil kebijakan. Bukan rahasia lagi jika novasi menjadi satu pisau tajam bagi suatu negara untuk bergerak cepat mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu jika kita lekas berbenah, bukan tidak mungkin di tahun-tahun mendatang peringkat inovasi institusi kita tak akan terpuruk lagi. Semoga.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi tempat penulis bekerja.

Sandry Windiharto
Sandry Windiharto
Fungsional Analis Kebijakan pada Kementerian Keuangan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.