Rabu, April 24, 2024

Kritik untuk Kritikan Zaadit dan BEM UI

M. Faruq Ubaidillah
M. Faruq Ubaidillah
Kolumnis, suka bincang politik, pendidikan, filsafat, budaya dan agama. Menjunjung tinggi kebebasan berpikir.

Kartu kuning beberapa minggu ini menjadi berita trending di media daring mulai dari yang pro-Jokowi hingga yang kontra. Dinding facebook saya juga penuh dengan ulasan-ulasan pro-kontra mengenai kartu kuning ini. Entah apa yang membuat media semarak memberitakan hal ‘sepele’ seperti ini. Kata sepele sengaja saya beri tanda petik karena bisa jadi ada yang tidak menganggapnya begitu, tetapi serius.

Adalah Zaadit, ketua BEM UI, yang mengangkat buku kuning yang kemudian disebut kartu itu kepada presiden Jokowi dalam kunjungannya ke UI beberapa waktu lalu. Kunjungan ini dalam rangka menyampaikan orasi di acara Dies Natalis UI yang ke-68. Dalam sesi berfoto itulah Zaadit mengangkat kartu kuning ini dan sontak paspampres beserta media menyorotnya. Maka, jadilah Zaadit ‘artis dadakan’ hingga saat ini.

Tulisan kali ini akan mengkritik kritikan Zaadit dan BEM UI atas kinerja Jokowi akhir-akhir ini. namun begitu, perlu kita ingat dalam kurun waktu tiga tahun, Jokowi telah berhasil membangun berbagai macam infrastruktur di seluruh pelosok negeri secara masif. Beberapa ‘prestasi’ pembangunan Jokowi ini di antaranya adalah: pembangunan jalan tol, program sejuta rumah, bendungan dan waduk, skytrain, bandara, dsb.

Masih banyak pembangunan infrastuktur lain yang dilakukan Jokowi dalam usahanya meratakan keadilan pembangunan di Indonesia. Bagi beberapa kalangan, apa yang dilakukan Jokowi ini berdampak baik bagi elektabilitasnya dan kepercayaan serta kepuasaan masyarakat untuk memilih Jokowi kembali pada Pilpres tahun 2019 yang akan datang, meskipun surveinya belum berada di angka stabil yaitu 60 persen (survei LSI, 2017).

Tentu Jokowi tidak tingal diam melihat hasil survei ini. Meski terlihat santai, Jokowi diam-diam juga melakukan manuver ‘politik santun’ yang sedikit ‘nakal’ bagi peneliti politik dan aktivis mahasiswa. Beberapa kebijakan mengganti menteri yang dilakukan Jokowi cenderung banyak dikritik. Masuknya Idrus Marham dan Airlangga yang juga menjadi pengurus partai Golkar ke dalam kabinet Jokowi cukup banyak menuai kritik. Tidak hanya itu, masuknya Jenderal TNI (purn) Moeldoko dan Agum Gumelar menambah kritikan terhadap sikap Jokowi mendekati tahun politik 2019 nanti. Masih ada beberapa manuver politik Jokowi yang mendapatkan kritik, di samping keberhasilannya membangun berbagai macam infrastruktur dari Sabang hingga Merauke.

Zaadit, BEM UI, dan Kartu Kuning

Bagi kalangan aktivis mahasiswa, Jokowi bukanlah ‘dewa’. Ia manusia biasa yang patut untuk diberi kartu kuning. Menurut Zaadit, yang dilaporkan berbagai macam media massa, kartu kuning ini bertanda peringatan bagi Jokowi atas tragedi yang terjadi di Asmat Papua dan beberapa kebijakannya yang dianggap cenderung ‘oligarki’, layaknya zaman Orde Baru dahulu.

Zaadit berpendapat bahwa adanya gizi buruk di Asmat Papua adalah kesalahan Jokowi yang tidak memperhatikan aspek sosial warga Asmat tersebut. Padahal angka dana otonomi khusus Papua cukup tinggi, berkisar sekitar 11.67 triliun. Kondisi gizi buruk tersebut tertunya tidaklah sebanding dengan dana yang dimiliki pulau paling timur di Indonesia ini.

BEM UI di bawah kepemimpinan Zaadit juga menyoroti kebijakan pemerintah dalam mengusulkan anggota TNI/Polri untuk menjadi pejabat gubernur Sumut selama masa kampanye. Tidak hanya itu, adanya draf peraturan baru terhadap organisasi mahasiswa di kampus, bagi Zaadit, akan merusak kebebasan aktivisme mereka selama ini. Inilah yang membuat Zaadit berani mengangkat kartu kuning untuk Jokowi saat mengahdiri upacara ulang tahun UI yang ke-68 beberapa hari yang lalu.

Menariknya, Jokowi menganggap sikap Zaadit adalah hal yang biasa. Jokowi tidak tersinggung sedikit pun. Malahan, Jokowi ingin memberangkatkan BEM UI untuk ikut ke Asmat dalam kegiatan sosial nantinya. Namun hal itu ditolak mereka.

Apa yang dilakukan Zaadit ini bagi saya pribadi bukanlah sesuatu yang harus digembar-gemborkan. Mahasiswa aktivis tidak semuanya realistis terhadap apa yang sebenarnya sedang terjadi di negeri ini. Boleh saja mereka mengkritik, namun belum tentu kritikan itu berlandaskan pemahaman empiris di lapangan.

Kritik tentang kondisi gizi buruk di Asmat, misalnya, lebih tepat ditujukan kepada gubernur Papua, bukan presiden. Gubernur lebih tahu dan bertanggung jawab atas apa yang sedang terjadi di daerahnya. Jokowi sebagai seorang presiden tentu tidak banyak memperhatikan satu daerah saja.

Yang kedua, kritik Zaadit tentang pelaksana tugas gubernur dari kalangan TNI/Polri juga miskin argumen. Ia hanya beralasan hal tersebut akan menghidupkan kembali dwi fungsi TNI/Polri. Pendapat Zaadit bersama BEM UI, sekali lagi jika itu yang mereka pikirkan, terlalu sempit. Di zaman yang sudah maju seperti sekarang, yang namanya dwi fungsi sudah dihapuskan pertama kali oleh KH. Abdurrahman Wahid. Jadi media dan semua orang dapat mengawal peraturan ini seketat-ketatnya.

Terakhir, draft peraturan baru tentang organisasi mahasiswa di kampus masih belum disahkan. Kritikt untuk draft ini terlalu dini dialamatkan oleh Zaadit dan BEM UI. Saya tidak habis pikir apa saja yang didiskusikan mereka jika kritikannya hanya mengenai draft peraturan yang masih belum terjadi, disahkan.

Yang dilakukan Zaadit telah berhasil melambungkan namanya di media. Dia dan BEM UI banyak menjadi sorotan mereka yang pro-Jokowi dan kontra-Jokowi. Menurut saya, ini sebuah proses ‘bargaining’ politik bagi Zaadit yang terlihat dari beberapa media yang mulai mengaitkannya kepada PKS. Namun begitu, kritikan harus solid dan tidak cacat dari segi argumen.

Dari sini dapat kita baca bahwa kerancuan berpikir aktivis mahasiswa perlu sesekali dikritisi juga oleh sesama mahasiswa. Yang dilakukan Zaadit secara demokratis tidak bermasalah, namun secara akademis cacat. Lebih baik Zaadit dan BEM UI mengkritik dengan tulisan dan data yang akurat atau terjun langsung ke Asmat Papua seperti yang dilakukan teman-teman muda NU, ketimbang kartu kuning, karena negeri ini bukan lapangan sepak bola!

Sekali lagi, negeri ini bukan lapangan sepak bola!

M. Faruq Ubaidillah
M. Faruq Ubaidillah
Kolumnis, suka bincang politik, pendidikan, filsafat, budaya dan agama. Menjunjung tinggi kebebasan berpikir.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.