Selasa, Mei 13, 2025

Kritik Representasi Politik: Pisau Post-Modernisme

Galang Geraldy
Galang Geraldy
Dosen Ilmu Politik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
- Advertisement -

Dalam gemuruh perdebatan politik hari ini, dari ruang parlemen yang penuh retorika hingga kolom komentar media sosial yang hiruk-pikuk, satu pertanyaan lama terus menghantui: Siapa yang benar-benar mewakili kita? Pertanyaan ini bukan sekadar soal teknis elektoral—tentang siapa yang dipilih atau partai mana yang menang—melainkan menyentuh akar terdalam dari filsafat politik: apa makna representasi, dan bagaimana ia bekerja dalam dunia yang semakin kompleks dan terfragmentasi.

Berangkat dari negara-kota (polis) Athena pada abad ke-5 SM, demokrasi dijalankan secara langsung oleh warga negara laki-laki bebas. Mereka berkumpul di Agora untuk mengambil keputusan publik secara kolektif. Aristoteles, dalam Politics, menggambarkan politik sebagai bagian dari kehidupan etis: warga bukan sekadar subjek hukum, tapi pelaku aktif dalam menentukan arah kota (polis).

Namun, demokrasi langsung juga menuai kritik. Plato, dalam Republic, menganggap demokrasi rentan dikuasai oleh orator populis yang membingungkan antara opini dan pengetahuan. Ia menganjurkan konsep “filsuf-raja” yang memerintah dengan kebijaksanaan. Kritik ini menjadi fondasi awal kegelisahan terhadap bentuk keterwakilan massa.

Seiring tumbuhnya negara-bangsa dan populasi yang meluas, demokrasi langsung menjadi tidak praktis. Hal ini sejalan dengan lahirnya era modern ditandai oleh runtuhnya otoritas absolut monarki dan gereja, bangkitnya rasionalitas dan individualisme, serta munculnya revolusi-revolusi besar seperti Revolusi Prancis (1789) dan Revolusi Amerika (1776). Di tengah pergolakan ini, lahirlah kebutuhan akan bentuk pemerintahan baru yang berbasis pada kehendak rakyat, namun realistis secara teknis—maka diperkenalkanlah demokrasi representatif, sebuah inovasi politik modern yang tumbuh dari pemikir abad modern.

Dimulai dari Hobbes dari anggapan bahwa dalam “keadaan alamiah”, manusia saling bermusuhan (homo homini lupus), maka urgensinya membuat kontrak sosial dan menyerahkan kedaulatan kepada penguasa tunggal (Leviathan). Locke kemudian menawarkan versi lebih liberal, dimana kontrak sosial memberi rakyat hak untuk memilih pemimpin, dan apabila pemimpin menyimpang dari kehendak rakyat, mereka berhak menggantinya.

Ia meletakkan dasar penting bagi legitimasi perwakilan politik, terutama melalui pemilu (Two Treatises of Government, 1689). Ini yang kemudian menjadi peletak politik yang prosedural melalui pemilu berkala, kebebasan berpartai, rotasi kekuasaan, dan institusi hukum yang netral. Sebagaimana Joseph Schumpeter (1942), bahwa demokrasi sebagai “metode institusional untuk mencapai keputusan politik melalui kompetisi terbuka untuk memperoleh suara rakyat.”

Hal ini diperkuat oleh Dahl dalam Who Governs? (1961) bahwa demokrasi modern dijalankan melalui kompetisi antar kelompok kepentingan dalam sistem pluralis hanya bisa di selesaikan melalui representasi bersifat tidak langsung. Namun kondisi ‘keteraturan’ ini bukannya tanpa celah, justru sistem politik tengah dan terus mengalami distorsi di era kontemporer.

Kritik Representasi dan Demokrasi Prosedural

Adalah C. Wright Mills, dalam The Power Elite (1956) yang menyebut bahwa demokrasi hanya ilusi, karena struktur kekuasaan sejatinya tersentralisasi. Kritik ini menunjukkan adanya potret kekuasaan terpusat di tangan elit ekonomi, militer, dan politik—yang saling bertaut dan membentuk “sirkuit kekuasaan” yang tidak tersentuh oleh kehendak rakyat biasa.

Bahwa dalam praktiknya, perwakilan politik dikendalikan oleh elite kecil (oligarki) yang memiliki akses terhadap kekuasaan ekonomi, militer, dan media. Pemerintah yang terpilih justru sering kali lebih dekat dengan elit dan penguasa modal ketimbang dengan rakyat telah memilih mereka. Krisis representasi politik ini yang kemudian memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga perwakilan, seperti parlemen dan partai politik. Di dalam situasi itu, Katz, R. & Mair, P (1995) pun menyebutkan kecenderungan partai politik menjadi kartel kekuasaan, bukan agen aspirasi rakyat.

Konstelasi ini sejatinya telah dibaca oleh para pemikir postmodern dengan kritik tajam terhadap struktur perwakilan konvensional yang bersifat rasional, institusional, dan prosedural—dimediasi oleh lembaga formal seperti parlemen, partai, dan pemilu. Model representasi modern yang berbasis pada mandat dan delegasi dipandang terlalu mekanistik, mengasumsikan bahwa wakil dapat “mengangkut” kehendak rakyat secara utuh. Misalnya, wacana “suara rakyat”, “generasi muda” dan segala terminologi politik identitas lainnya yang sering kali dikapitalisasi oleh elitis yang mengklaim berbicara atas nama rakyat, generasi muda dan atribut etnosentrisme lainnya.

- Advertisement -

Dialektika wacana itu yang menarik pemikir sekaliber Laclau dan Mouffe dalam buku Hegemony and Socialist Strategy menggagas “representasi hegemonik”: tak ada representasi yang absolut, semua bersifat sementara, dibentuk melalui perjuangan diskursif. Baginya, politik adalah arena kontestasi makna, bukan hanya agregasi preferensi.

Di tangan aktor-aktor haluan postmodern, mereka menggugat fondasi-fondasi “formal-prosedural” yang dianggap membonsai sekaligus mendegradasi realitas sosial dan politik yang plural. Jacques Derrida (1976), sebagai aktor utama dekonstruksi menolak klaim netralitas representasi.

Baginya, setiap representasi adalah interpretasi, bukan cermin dari realitas objektif. Lebih jauh, representasi politik bukanlah refleksi realitas sosial, tetapi konstruksi yang selalu bersifat parsial dan eksklusif. Lalu Michael Foucault (1980) dalam analisa diskursus, menunjukkan bahwa representasi adalah efek dari relasi kuasa untuk mengklasifikasikan, mendefinisikan, dan membungkam. Siapa yang disebut ‘masyarakat miskin’, misalnya, menjadi sangat politis sebagai komodifikasi representasi politik.

Chantal Mouffe, dalam The Democratic Paradox (2000) juga memandang perwakilan tidak lagi dipandang sebagai hubungan langsung antara wakil dan yang diwakili, tetapi sebagai konstruksi diskursif yang sarat kekuasaan dan bias identitas. Sementara itu, Jacques Rancière dalam Hatred of Democracy (2005) mengingatkan bahwa demokrasi sejati tidak terletak pada lembaga-lembaga, tetapi ketika yang “tak terlihat” dan “tak terwakili”—kaum miskin, minoritas, pekerja informal— terlibat di ruang publik. Disitulah letak ketidakpuasan rakyat terhadap sistem politik modern.

Maka, acapkali kemudian kritik terhadap reprsentasi formal (hasil pemilu) terekam melalui aksi-aksi demonstrasi yang diagregatori oleh aktivis lingkungan, kelompok mahasiswa, pegiat demokrasi dan berbagai elemen NGO (Non Government Organization) lainnya.

Sebagai penutup, tulisan ini sejatinya membawa pada sebuah spektrum pemikiran bahwa perwakilan politik hari ini harus ditinjau ulang: bukan terjebak pada demokrasi prosedural dan institusi formal, tetapi sebagai proses sosial yang tumbuh dalam ruang diskursif dan praksis keseharian warga. Melalui deliberasi dan forum politik warga, terbukalah ruang bagi dialektika ide serta wacana kebijakan—sebuah manifestasi konkret dari bekerjanya ruang perwakilan politik yang melahirkan wajah dan ide politik representatif.

Galang Geraldy
Galang Geraldy
Dosen Ilmu Politik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.