Kita tahu bahwa Rene Descartes (w.1650) sebagai bapak filsafat modern sekaligus pendiri aliran rasionalisme di Barat. Aliran ini berpendapat bahwa penggunaan prosedur tertentu dari akal saja yang dapat menemukan pengetahuan secara baik dan tidak mungkin keliru. Kita tidak akan menemukan pengetahuan yang secara mutlak dalam pengalam indera. Pengetahuan harus dicari dalam akal pikiran (in the real of the meand).
Rasionalisme dalam Islam berbeda dengan rasionalisme yang ada di Barat. Rasionalisme Islam biasanya dinisbatkan pada aliran teologi yang paling banyak menggunakan rasio dalam menentukan hukum Islam. Sebut saja Mu’tazilah. Muhammad Iqbal menyebutkan bahwa Mu’tazilah menggangap agama hanya sebagai sebuah badan aqidah dan kenyataan vital. Mereka mengabaikan cara-cara tanpa konsepsi dalam mencari kebenaran. Mereka mengecilkan dalam arti agama hanya dalam konsepsi wilayah logika semata yang berakhir pada sikap negatif (Muhammad Iqbal, 1964: 2-3).
Kritik yang dilontarkan oleh Muhammad Iqbal terhadap aliran Mu’tazilah lantaran dalam beragama mereka hanya menggunakan prinsip-prinsip aqliyah semata dalam memahami agama. Dengan begitu, hal-hal yang bersifat pengalaman beragama (religious experience) yang hanya dapat dialami dan dikenali dengan metode intuisi tidak dibenarkan oleh aliran Mu’tazilah. Kelihatnnya Muhammad Iqbal mengartikan rasionalisme secara longgar, ini dengan bukti George Wilhelm Friedric Hegel (w. 1831) dimasukkan dalam tokoh rasionalisme.
Iqbal sangat berutang budi banyak kepada Hegel. Namun, ia sadar rasionalisme Hegel sepenuhnya bertentangan dengan nalar-nalar Islami. Akhirnya ia memutuskan keluar dari aliran rasionalisme Hegel. Setelah ia berhasil keluar dari aliran rasionalisme Hegel, kemudian ia mengkritik melalui sajaknya sebagai berikut: Walaupun gagasan-gagasannya// Disiapkan sebagai baju pengantin// Yang pikirannya melambung tinggi ?// Ia adalah ayam karena kelewat bernafsu// Membanynagkan tak punya pasangan.
Kritiknya Iqbal terhadap Hegel dapat dipahami bahwa rasionalisme tidak memberikan tempat kepada empirisme yang dilambangkan pada “pikirannya melambung tinggi” sehingga tidak melihat fenomena-fenomena yang ada. Rasionalisme Hegel tidak ada artinya karena “tak punya pasangan”. Lambang itu berarti pula antara indra dan intuisi yang ada pada diri manusia tidak dibutuhkan bagi Hegel. Itu sebabnya Iqbal mengatakan Hegel tidak mempunyai pasangan.
Dalam kajian filsafat sejarah, Hegel lebih dikenal sebagai seorang idealisme, tetapi sama Muhammad Iqbal digolongkan sebagai seorang rasionalis. Hegel memang seorang idealis, ia terkenal dalam kancah kefilsafatan karena kegemilangannya menciptakan metode dialektik dalam kerangka berpikir yang sepenuhnya merupakan kerja logika (Danusiri, 1996:28). Melalui dialektika Hegel seseorang mampu memahami realitas dengan pandangan idealis. Jadi, tidak salah jika Iqbal memasukan Hegel dalam ranah rasionalis, karena ia menyoroti kerangka berpikir Hegel.
Sebenarnya Iqbal sepakat dengan rasionalisme yang dikembang oleh Immanuel Kant (w. 1804) mengenai keterbatasan akal. Dalam bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Iqbal mengatakan bahwa kritiknya tentang akal murni telah menunjukan pula batas kekuasaan akal manusia serta memperkecil seluruh karya kaum rasionalis itu menjadi timbunan puing-puing. Akan tetapi Iqbal menolak sikap Immanuel Kant yang hanya berhenti pada keterbatasan akal. Iqbal memahami bahwa pendirian Immanuel Kant menggiring pada pernyataan ketidakmungkinan adanya sesuatu yang bersifat metafisis.
Bagi Immanuel Kant sesuatu yang bersifat metafisis itu tidak mungkin. Akibat pendapat seperti ini, Iqbal maka menegasikan betapa pentingnya arti dari suatu agama. Transendensi seseorang terhadap sesuatu yang metafisis hubungan dengan Tuhan, dianggap sebagai sesuatu yang tidak bermakna. Untuk itu, Iqbal menanggapi pemikiran Immanuel Kant sangat memadai, bersifat realis dan bukan rasionalis dalam buku filsafatnya itu. Karena filsafat Iqbal adalah filsafat realis, bukan idealis ataupun serpihan rasionalis.
Dengan demikian, dapat dipahami pula bagaimana penyelidikan Immanuel Kant tidak dilanjutkan dalam ranah agama yang bersifat metafisis. Iqbal melanjutkan penyelidikannya melalui pengalaman keagamaan. Iqbal dan Immanuel Kant sebenarnya berangkat dari pernyataan yang sama “Aku dapat” tetapi hasil akhir yang didapat dari keduanya berbeda. Dalil itu oleh Immanuel Kant dijadikan sebagai objektifikasi untuk benda-benda yang bersifat material. Untuk itu ia menolak dari sesuatu yang mendasar “what can we know ?”.
Iqbal, sebagaimana Immanuel Kant melakukan hal yang sama dan menemukan sebagaimana keterbatasan akal. Kemudian Iqbal mengguakan perangkat lain berupa intuisi untuk menembus objek-objek metafisis seperti pengalaman kedaimainan mutlak dalam Tuhan yang diperoleh oleh seorang sufi. Karena intensnya pengalaman batin, Iqbal menyatakan, di samping berada di luar filsafat, maka tidak dapat dijangkau oleh psikologi meskipun bagian terluar dari pengalaman batin.
Iqbal dalam sajaknya berkata: Hanya manusia sejati yang berani// Berani bermuka-muka dengan Tuhan sendiri// Apakah Mi’raj itu ? hanya mencari seroang saksi// Yang akhirnya meneguhkan kenyataanmu (Muhammad Iqbal, 1985:198). Dengan ini Iqbal menegaskan bahwa seorang saksi yang kesaksiannya membuatmu abadi. Karena rasionalisme tidak mengacuhkan pada hal-hal yang bersifat metafisis seperti fakta pengalaman keagamaan, Iqbal menyatakan bahwa rasionalisme mempunyai andil dalam menyempurnakan sikap tidak beriman.
Tentu saja rasionalisme yang mendukung kekufuran itu bukan rasionalisme dalam Islam yang diwakili oleh aliran Mu’tazilah. Pernah Iqbal menyatakan bahwa agama adalah badan aqidah bagi aliran Mu’tazilah, tetapi tidak sedikitpun Iqbal bersimpatik dengan aliran ini. Dalam kasus Mihnah misalnya Iqbal menyatakan bahwa Mu’tazilah merusak sendi-sendi Islam dari dalam. Dengan begitu Mu’tazilah salah dalam memaksakan pahamnya kepada masyarakat Islam. mereka mungkin lupa atau tidak menyadari bahwa pikiran masyarat yang terdiri dari individu-individu tidak bisa diseragamkan.